UU RI NO 11 TAHUN 1994

Posted by Unknown on Thursday, October 26, 2017


UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 1994
TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN
JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : 
a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan
perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang
perekonomian, termasuk perkembangan bentuk-bentuk dan praktek
penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
b. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan
perekonomian dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan
yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara, dan agar lebih dapat diciptakan kepastian
hukum dan kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek perpajakan bagi
bentuk bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus
berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian terhadap Undangundang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah
beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
mewah;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang
Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59 , Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3567);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf i, huruf k sampai dengan
huruf p, huruf r sampai dengan huruf w, diubah, dan ditambah dengan
huruf x, sehingga Pasal 1 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
" Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang didalamnya
berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;
b. Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun
barang tidak berwujud;
c. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud pada huruf b
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini;
d. Penyerahan Barang Kena Pajak :
1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah:
a) penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian ;
b) pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa
beli dan perjanjian leasing;
c) penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau
melalui juru lelang;
d) pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
e) persedian Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas
perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
f) penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau
sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
g) penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah:
a) penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
b) penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c) penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
angka 1) huruf f) dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh
ijin pemusatan tempat pajak terutang;
d) penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk
usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva
perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas
Barang Kena Pajak;
e) Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;
f) Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud pada huruf e yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini;
g) Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf f, termasuk Jasa Kena
Pajak yang digunakan untuk kepentingan sendiri atau Jasa Kena Pajak
yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pengusaha Kena Pajak;
h) Import adalah setiap kegiatan memasukan barang dari luar Daerah
Pabean ke dalam Daerah Pabean;
i) Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean;
j) Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual barang tanpa
mengubah bentuk atau sifatnya;
k) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean;
l) Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada
huruf k yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang
undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
m) Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah
bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru
atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya
alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan
kegiatan tersebut;
n) Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual atau Penggantian atau
Nilai Impor atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang;
o) Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut
Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak;
p) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi Jasa karena penyerahan
Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang
undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
q) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor
Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut
Undang-undang ini;
r) Pembeli adalah orang pribadi atau badan atau instansi Pemerintah yang
menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak
dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena
Pajak tersebut;
s) Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan atau instansi Pemerintah
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak
dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa
Kena Pajak tersebut;
t) Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak atau oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena
impor Barang Kena Pajak;
q) Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
penerimaan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaataan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena
Pajak;
v) Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak;
w) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir;
x) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai adalah orang pribadi, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada orang pribadi, badan, atau instansi
Pemerintah tersebut."
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 2 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2
(1) Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga
pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak itu dilakukan.
(2) Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
1) Pengusaha mempunyai pernyertaan langsung atau tidak langsung
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha
lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang
disebut terakhir; atau
2) Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih
Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik
langsung maupun tidak langsung; atau
3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu
derajat."
3. Ketentuan Pasal 3 dihapus.
4. Menambah BAB baru di antara BAB II tentang Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak dan BAB III tentang Objek Pajak dan Kewajiban Pencatatan
yang dijadikan BAB IIA tentang Kewajiban Mempunyai Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Kewajiban Memungut, Menyetor,
dan Melaporkan Pajak yang Terutang, yang berbunyi sebagai berikut :
"BAB IIA
KEWAJIBAN MEMPUNYAI NOMOR PENGUKUHAN
PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KEWAJIBAN
MEMUNGUT , MENYETOR , DAN
MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG"
5. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 3 dan Pasal 4 yang dijadikan
Pasal 3A dalam BAB IIA tentang Kewajiban Mempunyai Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Kewajiban Memungut, Menyetor,
dan Melaporkan Pajak yang Terutang, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib mempunyai Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang.
(2) Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 huruf e
wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan."
6. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 4.
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean
oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak."
7. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 4 dan Pasal 5 yang dijadikan
Pasal 4A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan Kewajiban Pencatatan,
yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 4A
Jenis Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan jenis Jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang tidak dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."
8. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 5
(1) Di samping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
a. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada
waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh
Pengusaha yang penghasilkan atau pada waktu impor."
9. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 5 dan Pasal 6 yang dijadikan
Pasal 5A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan Kewajiban Pencatatan,
yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 5A
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak
tersebut yang tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
10. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 6
(1) Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat semua jumlah
harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
(2) Dalam pembukuan itu harus dicatat secara terpisah dan jelas, jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang dan/atau jasa yang terutang
pajak, yang mendapat fasilitas berupa pajak yang terutang tidak
dipungut, yang dikenakan tarif 0% (nol persen), yang mendapat
fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan pajak, dan yang tidak
dikenakan pajak.
(3) Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Perubahan Kedua
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan, wajib membuat catatan
nilai peredaran bruto secara teratur yang menjadi Dasar Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai, sepanjang terutang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa."
11. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah
0% (nol persen).
(3) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen)
dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)."
12. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah serendah-rendahnya
10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen).
(2) Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan
pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri
Keuangan."
13. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan ditambah dengan ayat (9) sampai dengan
ayat (14), sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 9
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
Pajak.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak keluaran, maka selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan pada Masa
Pajak berikutnya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan
yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan
untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha
yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur
pada ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep,
station wagon, van, dan kombi;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti
pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya pada
bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan,
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
(10) Apabila pada akhir tahun buku terdapat kelebihan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas kelebihan Pajak
Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian.
(11) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak
melakukan ekspor Barang Kena Pajak, atas kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan
permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak, sepanjang Pajak
Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak yang diekspor.
(12) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, atas
kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak,
sepanjang Pajak Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
(13) Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (10), ayat (11), dan ayat (12)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(14) Apabila terjadi perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha
atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan
perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak, maka :
a. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang
telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
perubahan bentuk usaha atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penggabungan usaha atau oleh Pengusaha Kena Pajak
yang mengalihkan seluruh aktiva perusahaan, tetap dapat
dikreditkan dan tidak harus dibayar kembali oleh Pengusaha Kena
Pajak tersebut;
b. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang
belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak lama, dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang baru, sepanjang
Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya perubahan bentuk
usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva
perusahaan."
14. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 10
(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dengan Dasar
Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu
perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah,
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan
Undang undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dibayar pada waktu perolehan Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut."
15. Ketentuan Pasal 11 diubah, dan ditambah dengan ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pada saat impor
Barang Kena Pajak atau pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, saat terutangnya
pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) Atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, terutangnya pajak terjadi pada saat
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut mulai dimanfaatkan
di dalam Daerah Pabean.
(4) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh orang pribadi atau
badan di dalam Daerah Pabean ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), saat terutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran."
16. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan ditambah
dengan ayat (4), sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
beriku :
"Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih sebagai
tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena
Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
(4) Bagi orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Derah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d
dan huruf e, terutangnya pajak terjadi di tempat orang pribadi atau
badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak."
17. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diubah, dan ayat (8)
dihapus, sehingga Pasal 13 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a atau huruf f dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.
(2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan
takwim.
(3) Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada
saat pembayaran.
(4) Saat pembuatan bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian,
dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
meliputi :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, serta nomor dan tanggal
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Macam, jenis, kuantum, harga satuan, jumlah Harga Jual atau
Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Tanggal penyerahan atau tanggal pembayaran;
g. Nomor dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;
h. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangi Faktur
Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen-dokumen tertentu
sebagai Faktur Pajak
(7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang
persyaratannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak."
18. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 14
(1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak
yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara."
19. Ketentuan Pasal 15 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 16 dihapus
21. Menambah BAB baru di antara BAB V tentang Saat dan Tempat Pajak
Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak dan BAB VI tentang Ketentuan
Lain-lain, yang dijadikan BAB VA tentang Ketentuan Khusus, yang
berbunyi sebagai berikut :
"BAB VA
KETENTUAN KHUSUS"
22. Menambah 4 (empat) ketentuan baru di antara Pasal 16 dan Pasal 17 yang
dijadikan Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, dan Pasal 16D dalam Bab VA
tentang Ketentuan Khusus, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 16A
(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 16B
(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang
tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu
ataupun untuk selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak,
untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau peyerahan Jasa Kena
Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Derah Pabean.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan.
Pasal 16C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak
lain yang batasan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar
pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
23. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17
Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan berkenaan
dengan pelaksanaan Undang-undang ini, yang secara khusus belum diatur
dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan
perundang-undangan lainnya."
Pasal II
Dengan berlakunya Undang-undang ini :
a. penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang telah diberikan sebelum berlakunya Undang-undang
ini, akan berakhir sesuai dengan jangka waktu penundaan yang telah
diberikan, paling lambat tanggal 31 Desember 1999;
b. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi
Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan
yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung
berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau
perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan tersebut sampai dengan
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha
pertambangan berakhir.
Pasal III
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984."
Pasal IV
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 61
- 19 -
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 1994
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN
JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
U M U M
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu
menempatkan perpajakan sebagai perwujudan salah satu kewajiban kenegaraan dalam rangka
kegotong-royongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan
perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang berlaku sejak tahun1984, sebagai pengganti Undang
undang Pajak Penjualan Tahun 1951, merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak atas
konsumsi di dalam negeri.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan
globalisasi di berbagai bidang, disadari bahwa banyak bentuk-bentuk aktivitas yang aspek
perpajakannya belum diatur atau belum cukup diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983. Selain itu, Undang-undang tersebut belum sepenuhnya menampung amanat dalam Garis
Garis Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu, maka dipandang sudah saatnya untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, serta
kemampuan masyarakat, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan yang
sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya;
c. Menciptakan iklim perekonomian yang menunjang peningkatan penanaman modal,
mendorong ekspor, mendorong terciptanya lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang
pelestarian lingkungan hidup, menunjang pengembangan usaha nasional terutama usaha kecil
dan tradisional serta menunjang kebijakan lainnya;
d. Mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dalam masyarakat;
e. Pelaksanaan pemungutan pajak yang mudah dan sederhana sehingga dapat mendorong
kepatuhan Wajib Pajak;
f. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih,
peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan
prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan
ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam
penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 perlu diatur kembali ketentuan-ketentuan
mengenai pajak atas konsumsi di dalam negeri, dengan pokok-pokok sebagai berikut:
a. Sesuai dengan sistemnya, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam Daerah
Pabean, baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa;
b. Dengan pertimbangan keadaaan ekonomi, sosial, dan budaya, tidak semua jenis barang dan
jasa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut
beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan;
d. Pertambahan nilai tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur
perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau dalam
memberikan pelayanan jasa;
e. Semua biaya yang berkaitan dengan menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan
barang atau dalam memberikan pelayanan jasa merupakan unsur pertambahan nilai yang
menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
f. Dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat yang
berpenghasilan rendah dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi serta dalam upaya
mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dalam masyarakat, maka atas penyerahan
dan/atau atas impor barang-barang berwujud yang tergolong mewah, selain dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang hanya dipungut
pada sumbernya yaitu pada pabrikan atau pada waktu barang diimpor;
g. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa adanya Pajak
Pertambahan Nilai dan dikenakan hanya sekali;
h. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak adalah tarif tunggal, sehinga mudah dalam pelaksanaannya dan
tidak memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang
berbeda;
i. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak menganut sistem tarif tunggal dan diterapkan
sesuai dengan kelompok barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
j. Dalam rangka mendorong ekspor khususnya ekspor non migas, atas ekspor Barang Kena
Pajak dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang
terkandung dalam Barang Kena Pajak yang diekspor dapat dikompensasi atau diminta
kembali;
k. Orang pribadi atau badan yang menghasilkan barang, mengimpor barang, memperdagangkan
barang dan/atau menyerahkan jasa yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya adalah Pegusaha. Pengusaha yang melakukan penyerahan barang dan/atau
penyerahan jasa yang dikenakan pajak adalah Pengusaha Kena Pajak;
l. Pengusaha Kena Pajak diwajibkan utuk melaporkan usahanya dan mempunyai Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, kecuali bagi Pengusaha Kecil yang batasannya
ditetapkan Menteri Keuangan. Namun agar tidak menghambat kegiatan usahanya, kepada
Pengusaha Kecil tersebut juga diberikan kebebasan memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
m. Pengenaan pajak dilaksankan berdasarkan sistem Faktur, sehingga atas penyerahan barang
dan/atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan
barang dan/atau penyerahan jasa yang terutang pajak. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan
pajak yang bagi Pengusaha yang dipungut pajak dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak
yang terutang;
n. Dalam upaya meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dan dalam rangka
mengamankan penerimaan negara, maka orang pribadi tertentu atau badan tertentu atau
instansi Pemerintah tertentu ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang atas penerimaan Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dari
Pengusaha Kena Pajak, meskipun pada hakekatnya kewajiban pemungutan, penyetoran, dan
pelaporan pajak ada pada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
o. Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada Negara selisih antara Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa
Kena Pajak dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada penjual Barang Kena Pajak
dan/atau pemberi Jasa Kena Pajak;
p. Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Modal dapat dikreditkan sebagaimana
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan
usaha yang penyerahannya terutang pajak, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang
berdasarkan ketentuan Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan diberlakukan
ketentuan khusus pengkreditan Pajak Masukan;
q. Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak ternyata lebih
besar daripada Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut, maka kelebihan Pajak Pertambahan
Nilai dikompensasikan sedangkan yang dikembalikan hanyalah kelebihan Pajak Pertambahan
Nilai untuk Masa Pajak pada akhir tahun buku Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
Apabila kelebihan pajak tersebut disebabkan karena ekspor atau karena dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka kelebihan pajak tersebut dapat diminta kembali
pada setiap Masa Pajak;
r. Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang
peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak
lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan -kebijakan lain,
perlu diberikan perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut
harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-undang perpajakan yaitu
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang
teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Karena itu setiap pemberian
kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus tetap mengacu pada
kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud
dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan
terutama untuk keberhasilan sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam
skala nasional.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Huruf a
Yang dimaksud dengan Wilayah Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan
perundang-undangan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antara lain hak atas Merek Dagang,
Hak Paten, dan Hak Cipta.
Huruf c
Pada dasarnya semua barang dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undangundang
ini.
Huruf d
1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak :
a) Perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi jual beli, tukar
menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan
penyerahan hak atas barang.
b) Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan
karena perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah penyerahan yang disebabkan
oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Meskipun pengalihan
atau penyerahan hak atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran
Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena
penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah dari penjual kepada pembeli
atau dari lessor kepada lessee, maka Undang-undang ini menentukan bahwa
penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian
ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas
Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya
perjanjian.
c) Yang dimaksud dengan pedagang perantara ialah orang pribadi atau badan yang
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan
perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat
upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan juru
lelang di sini adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
d) Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri,
pengurus, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai
pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang
untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
e) Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan
dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena
Pajak. Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan tersebut, hanya dikenakan Pajak pertambahan Nilai apabila
memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.
f) Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, yaitu
tempat melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai
pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka Undang-undang ini menganggap
bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini
termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan sejenisnya.
g) Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah
dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk
dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya
penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika Barang
Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan
kepada pemilik Barang Kena Pajak, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat
menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-undang ini. Penyerahan Barang
Kena Pajak secara konsinyasi oleh Pengusaha Kecil, sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
tersebut dalam angka 2 sebagai berikut :
a) Cukup jelas
b) Cukup jelas
c) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat usaha, baik
sebagai pusat maupun cabang-cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak
tersebut telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Direktur
Jenderal Pajak, maka pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat usaha ke
tempat usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali
pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat-tempat terutang.
d) Apabila terjadi perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan
seluruh aktiva perusahaan yang mengakibatkan juga terjadinya perubahan pihak yang
berhak atas Barang Kena Pajak, maka peristiwa tersebut diperlakukan sebagai tidak
terjadi penyerahan Barang Kena Pajak.
Huruf e
Dalam pengertian jasa termasuk antara lain jasa angkutan, jasa borongan, jasa persewaan
barang, jasa hiburan, jasa biro perjalanan, jasa perhotelan, jasa notaris, jasa pengacara, jasa
akuntan, jasa konsultan, dan jasa kantor administrasi. Pengertian jasa meliputi juga
pelayanan yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan dengan bahan dan
petunjuk dari pemesan. Sebagai contoh, penjahit yang hanya menerima pesanan membuat
pakaian tanpa menyediakan bahan. Karena bahan disediakan oleh pemesan, maka penjahit
tersebut dianggap hanya melakukan penyerahan jasa yang imbalannya sebesar upah jahit
yang diminta atau diterima dari pemesan atau pelanggan.
Huruf f
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang
undang ini.
Huruf g
Pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan sendiri atau pemberian Jasa Kena Pajak
secara cuma-cuma termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak, dengan
pertimbangan untuk mempertahankan adanya perlakuan yang sama sebagaimana halnya
pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan sendiri atau penyerahan barang secara
cuma-cuma oleh Pengusaha Kena Pajak.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Dalam pengertian perdagangan termasuk kegiatan tukar-menukar barang.
Huruf k
Pengusaha dapat berbentuk usaha perseorangan atau badan yang dapat berupa perseroan
terbatas, perseroan komanditer, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi,
perkumpulan koperasi, yayasan, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk usaha lainnya.
Pengertian Pengusaha dibatasi pada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
usaha dalam lingkungan perusahan atau pekerjaan. Dalam hal instansi Pemerintah
melakukan kegiatan usaha yang bukan dalam rangka melaksanakan tugas umum
pemerintahan, maka instansi Pemerintah tersebut dalam pengertian bentuk usaha lainnya
dan diperlakukan sebagai Pengusaha.
Huruf l
Pengusaha Kecil yang dalam Undang-undang ini batasannya didasarkan pada jumlah
peredaran bruto usaha (omset) dalam satu tahun diperkenankan untuk memilih dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka hak dan
kewajibannya sama seperti Pengusaha Kena Pajak pada umumnya.
Huruf m
Perubahan bentuk atau sifat barang terjadi karena adanya atau dilakukannya suatu proses
pengolahan yang menggunakan satu faktor produksi atau lebih, termasuk kegiatan :
- merakit :
menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi
atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabotan rumah tangga, dan
sebagainya;
- memasak :
mengolah barang dengan cara memanaskan. Pengertian memanaskan termasuk merebus,
membakar, mengasap, memanggang, dan menggoreng, baik dicampur dengan bahan
lain atau tidak;
- mencampur :
mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) menghasilkan satu atau lebih barang lain;
- mengemas :
menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan
dan/atau untuk meningkatkan kekuatan pemasarannya;
- membotolkan :
memasukan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara
tertentu;
- menambang :
mengambil hasil sumber kekayaan alam dari permukaan atau dari dalam tanah, baik di
darat maupun di laut;
- menyediakan makanan dan minuman yang dilaksanakan oleh usaha katering;
dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu, atau
menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Huruf n
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak.
Dalam hal penerapan Harga Jual atau Penggantian atau Nilai Impor atau Nilai Ekspor akan
menimbulkan ketidakadilan atau karena Harga Jual atau Penggatian sukar ditetapkan, maka
Menteri Keuangan dapat menentukan Nilai Lain sebagai dasar Pengenaan Pajak.
Huruf o
Seluruh biaya yang diminta seharusnya diminta oleh penjual yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak seperti biaya pengiriman, biaya garansi, komisi, premi
asuransi, biaya pemasangan, biaya bantuan teknik, dan biaya-biaya lainnya, termasuk
dalam Harga Jual. Tidak termasuk dalam Harga Jual adalah Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas barang Mewah yang dipungut pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak. Yang dapat dikurangkan dari Harga Jual adalah potongan harga seperti potongan
tunai atau rabat, sepanjang masih dalam batas kebiasaan pedagang yang baik, dan
tercantum dalam Faktur Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak selain menerbitkan Faktur
Pajak juga menerbitkan faktur penjualan, maka potongan harga yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut juga potongan harga yang tercantum dalam faktur penjualan. Tidak
termasuk dalam pengertian potongan harga adalah bonus, premi, komisi, atau balas jasa
lainnya, yang diberikan dalam rangka menjualkan Barang Kena Pajak.
Huruf p
Cukup jelas
Huruf q
Nilai Impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost
Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan
semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean.
Huruf r
Yang dimaksud dengan pembeli termasuk lembaga-lembaga negara.
Huruf s
Yang dimaksud dengan penerima jasa termasuk lembaga-lembaga negara.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, atau pengimpor Barang Kena
Pajak membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau pengimpor Barang Kena Pajak,
yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Huruf v
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib
memungut Pajak Pertambahan Nilai. Pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
inilah yang dinamakan Pajak Keluaran.
Huruf w
Nilai Ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya harga yang tercantum dalam
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Huruf x
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan serta dalam rangka mengamankan penerimaan negara, orang pribadi
tertentu, badan tertentu, atau instansi Pemerintah tertentu dapat ditunjuk sebagai Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Pengaruh hubungan istimewa seperti dimaksud dalam Undang-undang ini ialah adanya
kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur
Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga jual atau
Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku
dipasaran bebas.
Ayat (2)
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
- faktor kepemilikan atau penyertaan;
- adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat
pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
a) Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
Contoh :
Kalau PT. A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikan saham oleh
PT. A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT. B tersebut mempunyai
50% (lima puluh persen) saham PT. C, maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B
secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25% (dua puluh lima
persen). Dalam hal demikian, antara PT. A, PT. B, dan PT. C dianggap terdapat
hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
PT. D, maka antara PT. B, PT. C, dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas juga dapat terjadi antara orang pribadi
dan badan
b) Hubungan antara pengusaha seperti digambarkan pada huruf a dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat
hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih
perusahaan berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama. Demikian juga
hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan pengusaha yang
sama tersebut.
c) Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan ke samping satu derajat dengan kakak dan adik. Yang dimaksud dengan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri,
sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat
adalah ipar. Apabila antara suami istri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan, maka hubungan antara suami istri tersebut termasuk dalam pengertian
hubungan istimewa menurut Undang-undang ini.
Angka 3
Ketentuan Pasal 3 yang mengatur tentang Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dihapus dan
dipindahkan ke dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 3A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak
diwajibkan :
a. mempunyai Nomor PengukuhanPengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang;
d. melaporkan penghitungan pajak.
Ayat (2)
Pengusaha Kecil dikecualikan dari kewajiban untuk melaksanakan Undang-undang ini.
Namun, apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak, maka Undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak, dari luar Daerah pabean, harus dipungut oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Angka 6
Pasal 4
Huruf a
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
- barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak
berwujud,
- penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,
- penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang
bersangkutan.
Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor barang. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a, maka siapa pun
yang memasukan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan
apakah dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau tidak, tetap
dikenakan pajak.
Huruf c
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
- penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,
- penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang
bersangkutan.
Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang
Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean juga dikenakan pajak.
Contoh :
Pengusaha "A" yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang
dimiliki Pengusaha "B" yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek
tersebut oleh Pengusaha "A" di dalam Daerah Pabean, terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak "C" di
Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha "B" yang berkedudukan di
Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut, terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf f
Penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean
dikenakan pajak menurut Undang-undang ini.
Angka 7
Pasal 4A
Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut :
a. barang hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil kehutanan, yang dipetik langsung, diambil
langsung, atau disadap langsung, dari sumbernya, seperti padi- padian, kelapa sawit, karet;
b. barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, atau penangkaran, yang diambil
langsung dari sumbernya, seperti sapi potong, unggas;
c. barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan, yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti ikan tuna, teripang, udang;
d. barang hasil pertambangan dan pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti
crude oil, garam;
e. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti beras,
garam beryodium;
f. beberapa jenis barang, karena untuk menghindar pengenaan pajak berganda dengan yang
dipungut oleh Pemerintah Daerah, misalnya Pajak Pembangunan I dan Pajak Tontonan;
g. surat-surat berharga;
h. listrik, kecuali untuk perumahan mewah;
i. air bersih yang disalurkan melalui pipa (air PAM).
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut :
a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, seperti dokter umum, dokter spesialis;
b. jasa di bidang pelayanan sosial, seperti panti asuhan, jasa pemakaman;
c. jasa di bidang pengiriman surat;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
e. jasa di bidang keagamaan, seperti pemberian khotbah atau dakwah;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian, seperti pementasan kesenian tradisional;
h. jasa di bidang penyiaran, seperti penyiaran radio dan televisi yang bukan bersifat iklan;
i. jasa di bidang angkutan umum, seperti angkutan umum di darat dan di laut;
j. jasa di bidang tenaga kerja, seperti jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja;
k. jasa di bidang perhotelan;
l. jasa telepon umum coin-box dan jasa telegram.
Angka 8
Pasal 5
Ayat (1)
Dengan pertimbangan bahwa :
- perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi,
- perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah,
- perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional,
- perlu untuk mengamankan penerimaan negara,
maka atas penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh produsen atau atas
impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, di samping dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Pengenaan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah terhadap impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta
tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya
sekali saja. Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap suatu
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah
suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan
tidak dikenai pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang terutang. Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu
kali saja yaitu pada waktu :
a. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah,
atau
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan pajak.
Angka 9
Pasal 5A
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli,
maka Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dari Barang Kena
Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi :
a. Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha
Kena Pajak Penjualan,
b. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang
Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dikreditkan,
c. Biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena
Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasikan) dalam harga perolehan harta tersebut.
Angka 10
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai saja
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 11
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor atau
dikonsumsi di luar Daerah Pabean, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%
(nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang
yang diekspor tetap dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan
Nilai menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima
belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat ini, dikemukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara.
Angka 12
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa
pengelompokan tarif, yaitu tarif terendah sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif tertinggi
50% (lima puluh persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada
pengelompokan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang atas penyerahannya
dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah
Pabean, dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen).
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Pasal 5 ayat (1), maka pengelompokan barang-barang yang terkena Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan
masyarakat yang mempergunakan barang-barang tersebut, di samping didasarkan pula
pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang
tinggi dikenakan terhadap barang-barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan barang-barang yang dikonsumsinya perlu dibatasi. Dalam hal
terhadap barang-barang yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, maka tarif yang dipergunakan adalah tarif yang
rendah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 9
Ayat (1)
Cara menghitung pajak terutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga Jual,
Penggantian, atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7
ayat (1). Pajak yang terutang ini merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak.
Contoh :
a. Pengusaha Kena Pajak "A" menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp
25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
= 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran,
yang dipungut oleh Pengusaha kena Pajak "A"
b. Pengusaha Kena Pajak "B" melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian Rp 20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp 20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran,
yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "B"
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
Rp 15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
Ayat (2)
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan atau
impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran yang dipungut Pengusaha Kena Pajak pada waktu menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pengkreditan Pajak masukan terhadap Pajak Keluaran
tersebut di atas dilakukan dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (3)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke Kas Negara menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan. Dapat terjadi dalam suatu Masa Pajak terdapat Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak masukan tersebut tidak
dapat diminta kembali, tetapi dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun
apabila perusahaan tersebut bubar sebelum tahun buku berakhir, maka kelebihan bayar
tersebut dapat diminta kembali pada saat pembubaran perusahaan. Pengembalian atas
kelebihan pembayaran tersebut baru diberikan setelah dilakukan pemeriksaan.
Contoh :
Masa Pajak Mei 1995 :
Pajak Keluaran = Rp. 2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp. 4.500.000,00 (-)
Pajak yang lebih bayar = Rp. 2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut tidak dapat diminta kembali, tetapi dapat
dikompensasikan pada Masa Pajak Juni 1995.
Masa Pajak Juni 1995 :
Pajak Keluaran = Rp. 3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp. 2.000.000,00 (-)
Pajak yang kurang bayar = Rp. 1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak
Mei 1995 = Rp. 2.500.000,00 (-)
Pajak yang lebih dibayar Juni 1995 = Rp. 1.500.000,00
Apabila perusahaan tersebut pada bulan Juni 1995 bubar, maka kelebihan pembayaran
pajak dalam bulan Juni 1995 baru dapat dikembalikan setelah dilakukan pemeriksaan.
Ayat (5)
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan
barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan
penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat
mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu :
- penyerahan terutang pajak = Rp. 25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp. 2.500.000,00
- penyerahan tidak terutang pajak = Rp. 10.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp. NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan :
- Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang
berkaitan dengan penyerahan yang terutang
pajak = Rp. 1.500.000,00
- Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang
berkaitan dengan penyerahan yang tidak
terutang pajak = Rp. 800.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran
sebesar Rp 2.500.000,00 hanya sebesar RP 1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan
barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Menteri Keuangan dapat melimpahkan
wewenang untuk menetapkan pedoman tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu :
- penyerahan terutang pajak = Rp. 35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp. 3.500.000,00
- penyerahan tidak terutang pajak = Rp. 15.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang
berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp 2.500.000,00, sedangkan Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp 2.500.000,00 tidak
seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 3.500.000,00.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat melimpahkan wewenang untuk menetapkan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat ini kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi untuk
pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha
adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar Pajak Masukan
dapat dikreditkan, juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan
dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu,
meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan
kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan,
yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(7). Oleh karena Faktur Pajak Sederhana merupakan Faktur Pajak yang isinya tidak
mencantumkan secara lengkap hal-hal yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), maka Faktur
Pajak Sederhana hanya merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan tidak
dapat dipakai sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas
ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh
kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Di
samping itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk
melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga
sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh :
Dalam Surat Pemberitahuan Masa dilaporkan :
Pajak Keluaran = Rp. 10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp. 8.000.000,00
Dari hasil periksaan diketahui :
Pajak Keluaran = Rp. 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp. 11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan sebesar Rp 11.000.000,00
tetapi tetap sebesar Rp 8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa.
Dengan demikian, penghitungan hasil pemeriksaan :
Pajak Keluaran = Rp. 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp. 8.000.000,00 (-)
Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan = Rp. 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat Pemberitahuan = Rp. 2.000.000,00 (-)
Masih kurang bayar = Rp. 5.000.000,00
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain
karena Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak
yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan apabila dilakukan tidak melampaui bulan ke
tiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut
telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. kedua cara
pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan
belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) ke dalam harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap
Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Ayat (10)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan pada ayat (4),
dikompensasikan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak berikutnya. Namun demikian,
apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi dalam Masa Pajak pada akhir tahun buku, maka
kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Ayat (11)
Dalam rangka mendorong ekspor, atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), yang disebabkan karena ekspor, dapat diajukan permohonan
pengembaliannya pada setiap masa Pajak.
Ayat (12)
Mengingat Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, sehingga Pajak Masukan dari Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
merupakan pajak yang lebih dibayar, maka atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), yang disebabkan karena pemungut pajak oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, dapat diajukan permohonan pengembaliannya pada setiap Masa Pajak.
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak membebani Pajak Pertambahan Nilai atas
perusahaan yang melakukan perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau
pengalihan seluruh aktiva perusahaan. Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf d angka 2) huruf d), penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan
bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, maka :
a. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang telah dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan Barang Kena Pajak tersebut, tidak harus
dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut.
b. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang belum dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan Barang Kena Pajak tersebut, dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan Barang Kena Pajak
tersebut sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya perubahan bentuk usaha
atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan.
Angka 14
Pasal 10
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang adalah dengan
mengalikan Harga Jual atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 8.
Ayat (2)
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut pada setiap tingkat penyerahan,
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat
dikreditkan. Oleh karena itu, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditambahkan ke
dalam harga Barang Kena Pajak yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai
ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak (PKP) "A" mengimpor Barang Kena Pajak dengan Nilai Impor Rp
5.000.000,00. Barang Kena Pajak tersebut, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,
misalnya juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 20%. Dengan
demikian, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang atas impor Barang Kena Pajak tersebut adalah :
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp. 5.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai
10 % x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 500.000,00
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
20 % x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Kemudian, PKP "A" menggunakan Barang Kena Pajak tersebut sebagai bagian dari suatu
Barang Kena Pajak lain yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10%
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 35%. Oleh karena Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang telah dibayar atas Barang Kena Pajak yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 dapat
ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang dihasilkan oleh PKP "A" atau
dibebankan sebagai biaya. Kemudian, PKP "A" menjual Barang Kena Pajak yang
dihasilkannya kepada PKP "B" dengan Harga Jual Rp 50.000.000,00. Maka, penghitungan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang adalah :
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp. 50.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai
10 % x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
35 % x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 17.500.000,00
Dalam contoh ini, PKP "A" dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp
500.000,00 di atas terhadap Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00. Sedangkan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan,
baik dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00 maupun dengan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp. 17.500.000,00.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya menganut prinsip akrual, artinya
terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat
penyerahan Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak, meskipun atas
penyerahan tersebut belum atau belum sepenuhnya diterima pembayarannya. Dalam hal
tertentu, Menteri Keuangan dapat menentukan saat lain sebagai saat terutangnya pajak.
Saat lain terutangnya pajak diperlukan dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan
atau dapat menimbulkan ketidakadilan. Saat terutangnya pajak diperlukan antara lain
dalam hal terjadi perubahan ketentuan, yaitu untuk menentukan ketentuan mana yang
diberlakukan atas surat transaksi yang ketentuannya mengalami perubahan.
Ayat (2)
Berbeda dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal pembayaran
diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak,
terutangnya pajak terjadi pada saat penerimaan pembayaran. Apabila pembayaran
dilakukan sebagian-sebagian atau merupakan pembayaran uang muka sebelum dilakukan
penyerahan, pajak yang terutang dihitung berdasarkan pembayaran sebagian atau
pembayaran uang muka tersebut. Pajak yang terutang pada saat pembayaran sebagian atau
pembayaran uang muka diperhitungkan dengan pajak yang terutang pada saat dilakukan
penyerahan.
Ayat (3)
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya pajak terjadi pada saat orang
pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini dihubungkan dengan kenyataan
bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
tersebut berada di luar Daerah Pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat terutangnya pajak tidak lagi dikaitkan dengan
saat penyerahaan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal pembayaran
dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa
Kena Pajak, terutangnya pajak terjadi pada saat pembayaran. Apabila pembayaran
dilakukan sebagian-sebagian atau merupakan pembayaran uang muka sebelum dimulainya
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak, pajak yang
terutang dihitung berdasarkan pembayaran sebagian atau pembayaran uang muka tersebut.
Pajak yang terutang pada saat pembayaran sebagian atau pembayaran uang muka
diperhitungkan dengan pajak yang terutang pada saat dimulainya pemanfaatan.
Angka 16
Pasal 12
Ayat (1)
Pengertian Pengusaha Kena Pajak menurut ketentuan dalam ayat ini adalah Pengusaha
yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan/atau huruf c
dan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf f.
Perlu diperhatikan bahwa untuk Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan/atau huruf c, pengertian Pengusaha Kena Pajak
meliputi baik Pengusaha yang telah terdaftar dan telah mempunyai Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum mempunyai
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan khusus untuk Pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak, pengertian Pengusaha Kena Pajak meliputi hanya
Pengusaha yang telah terdaftar dan mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, maka setiap tempat tersebut merupakan tempat
terutangnya pajak, dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak
mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja satu kantor
Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk tempat-tempat pajak terutang tersebut cukup
memiliki satu Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha,
maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih
satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak. Direktur Jenderal Pajak sebelum
memberikan keputusan perlu melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan antara lain
bahwa :
- kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak untuk semua
tempat kegiatan usaha hanya dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha,
- administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada
satu atau lebih tempat kegiatan usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 13
Ayat (1)
Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha Kena Pajak, karena Faktur
Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara kerja (mekanisme) pengkreditan
Pajak Pertambahan Nilai. Untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu Faktur Pajak.
Ayat (2)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan
beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu
Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan.
Pembuatan Faktur Pajak Gabungan tidak memerlukan ijin Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (4)
Mengingat dalam dunia usaha dimungkinkan pembuatan faktur penjualan dilakukan
setelah terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan saat Faktur Pajak harus
dibuat.
Demikian pula, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengatur keseragaman
bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak.
Dalam ayat ini yang dimaksud dengan pengaturan pengadaan Faktur Pajak adalah
pengaturan mengenai siapa yang mengadakan formulir Faktur Pajak dan persyaratan yang
harus dipenuhi. Misalnya, pengadaan formulir Faktur pajak dapat diadakan atau dicetak
sendiri oleh Pengusaha dengan bentuk, ukuran, dan persyaratan teknis administratif lainnya
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara
formal maupun secara materil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar, dan
ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menandatanganinya. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini
dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Faktur Pajak yang
pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini disebut. Faktur Pajak Standar.
Ayat (6)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak
dapat menentukan dokumen-dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha sebagai
pengganti Faktur Pajak Standar. Ketentuan ini diperlukan karena :
1) Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas
dan memenuhi persyaratan administratif sebagai Faktur Pajak. Misalnya, kuitansi
pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.
2) Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang
seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean. Misalnya dalam hal impor Barang
Kena Pajak, dokumen impor tertentu dapat ditetapkan sebagai pengganti Faktur Pajak.
Ayat (7)
Untuk menampung kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir dan kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya, Direktur Jenderal Pajak
dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau tanda bukti pembayaran yang memenuhi
persyaratan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat
digunakan sebagai sarana untuk pengkreditan Pajak
Masukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf e.
Faktur Pajak Sederhana sedikit-dikitnya harus memuat :
1) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, serta nomor dan tanggal Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
2) Macam, jenis, dan kuantum;
3) Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak
dicantumkan secara terpisah;
4) Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Angka 18
Pasal 14
Ayat (1)
Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur
Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari
pemungutan pajak yang tidak semestinya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 19
Ketentuan Pasal 15 yang mengatur tentang kewajiban melaporkan penghitungan pajak dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa, dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun1994.
Angka 20
Ketentuan Pasal 16 yang mengatur tentang jangka waktu pengembalian kelebihan pajak,
dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 9
Tahun 1994.
Angka 21
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 16A
Ayat (1)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang
dipungutnya. Meskipun demikian, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tetap berkewajiban untuk melaporkan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16 B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan ditetapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan
berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar -benar diperlukan harus mengacu pada
kaidah di atas dan perlu dijaga didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya terutama untuk berhasilnya
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk :
1. Mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Kawasan Berikat dan
Entreport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) atau wilayah lain dalam Daerah
Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
2. Menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain dalam
bidang perdagangan dan investasi
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tetapi tidak
dipungut diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat
dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang akan tetapi tidak
dipungut.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "A" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari
Negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekedar ditunda).Untuk memproduksi Barang
Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "A" menggunakan Barang Kena Pajak lain
dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun
sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa
Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "A" membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "A" kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran, walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai tidak pungut dari Negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga
Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari
Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B"
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku,
bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu
membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak
"B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas
dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pajak
Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Pasal 16 C
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai;
2. untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak
yang membeli bangunan dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan
gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri.
Dengan demikian, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengenakan Pajak Pertambahan
Nilai atas semua kegiatan membangun sendiri. Untuk mencegah pengenaan pajak terhadap
konsumsi masyarakat yang berpenghasilan rendah, maka ditetapkan batasan yang dapat
menghindarkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri oleh
masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Pasal 16D
Penyerahan mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau aktiva lain yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang
memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan.
Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya
Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan
administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Angka 23
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal II
Huruf a
Fasilitas berupa penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang telah diberikan sebelum berlakunya Undang-undang ini, tetap
dapat dinikmati oleh Pengusaha sampai dengan habisnya jangka waktu penundaan tersebut.
Untuk kepastian hukum perlu ada pembatasan yaitu berakhir paling lambat pada tanggal 31
Desember 1999.
Huruf b
Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang diatur secara khusus dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut berakhir. Dengan
demikian, semua ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini baru diberlakukan untuk
Kontrak Bagi hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
yang dibuat setelah berlakunya Undang-undang ini.
Pasal III
Cukup jelas
Pasal IV
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3568

Previous
« Prev Post

Related Posts

October 26, 2017

0 komentar:

Post a Comment