UU RI NO 21 TAHUN 1992

Posted by Unknown on Monday, October 23, 2017


UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 1992

TENTANG  :  P E L A Y A R A N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : 
a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk
memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan nasional,
dan mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pelayaran bagi Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
merupakan salah satu moda transportasi, tidak dapat dipisahkan dari moda-moda
transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan
mampu mengadaptasi kemajuan dimasa depan mempunyai karakteristik, mampu
melakukan pengangkutan secara massal,menghubungkan, dan menjangkau seluruh
wilayah melalui perairan, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan
peranannya baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan
penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayaran yang ada pada
saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman,ilmu pengetahuan
dan teknologi;
d. bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan pelayaran sesuai dengan
perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna
dan berdaya guna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai pelayaran dalam
Undang-undang.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang -Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYAR-AN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan ;
1. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan,
serta keamanan dan keselamatannya;
2. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga
mekanik,tenaga angin,atau ditunda,termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,kendaraan
dibawah permukaan air,serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah;
3. Perairan Indonesia adalah perairan yang meliputi laut wilayah, perairan kepulauan perairan
pedalaman sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), serta perairan
daratan;
4. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai
tempat kapal bersandar,berlabuh,naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra-dan antar-moda transportasi;
5. Alur pelayaran adalah bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman,
lebar dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari ;
6. Sarana bantu navigasi pelayaran adalah sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami yang
berada diluar kapal yang berfungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan
kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan
berlayar;
7. Telekomunikasi pelayaran adalah setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda,
gambar, suara dan informasi dalam bentuk apapun melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem
elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan
pelayaran;
8. Pekerjaan bawah air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi,konstruksi atau kapal yang
dilakukan dibawah air atau pekerjaan dibawah air yang bersifat khusus;
9. Kerangka kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau kandas atau terdampar dan telah
ditinggalkan;
10. Kelaiklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan
pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal,
serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar diperairan tertentu;
11. Awak kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan diatas kapal oleh pemilik atau operator
kapal untuk melakukan tugas diatas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku
sijil;
12. Nakhoda kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum diatas kapal dan
mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
13. Pemimpin kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas kapal
untuk jenis dan ukuran tertentu serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu, berbeda
dengan yang dimiliki oleh nakhoda;
14. Anak buah kapal adalah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin kapal ;
15. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara dan/atau swasta dan/atau
koperasi.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri sendiri.
Pasal 3
Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar arus
perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran
nasional, dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan
nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional.

BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 4
Undang-undang ini berlaku untuk pelayaran di perairan Indonesia dan kapal-kapal berbendera Indonesia
yang berada diluar perairan Indonesia.

BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 5
(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pembinaan pelayaran dilakukan
dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk :
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara masal melalui perairan dengan
selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdayaguna, dengan biaya yang
terjangkau oleh daya beli masyarakat ;
b. meningkatkan penyelenggaraan pelayaran sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi
secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ;
c. mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional yang tangguh di perairan, serta
didukung industri perkapalan yang andal, sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan baik
di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri ;
d. meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatan
pelayaran ;
e. terwujudnya sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti
perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran.
(3) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Pelaksanaan pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang ini dengan memperhatikan Undang-undang lain yang berkaitan serta
konvensi internasional di bidang pelayaran.

BAB V
KENAVIGASIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
Kenavigasian meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana bantu navigasi pelayaran,
telekomunikasi pelayaran, hidrografi, alur dan perlintasan, pemanduan, penanganan kerangka kapal,
salvage, dan pekerjaan bawah air, untuk kepentingan keselamatan pelayaran.
Bagian Kedua
Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
dan Telekomunikasi Pelayaran
Pasal 8
(1) Pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran dan telekomunikasi
pelayaran dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Untuk kepentingan tertentu, badan hukum Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran dengan izin dan persyaratan yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
(3) Pengoperasian sarana bantu navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran dilaksanakan oleh
petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan kecakapan.
(4) Untuk menjamin keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran dan telekomunikasi
pelayaran ditetapkan zona-zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi dan bangunan tersebut.
(5) Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dapat dikenakan biaya penggunaan sarana bantu
navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan berita marabahaya, meteorology, dan siaran
tanda waktu standar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .
Pasal 10
(1) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab atas setiap kerusakan dan hambatan yang
disebabkan oleh pengoperasian kapalnya pada sarana bantu navigasi pelayaran, telekomunikasi
pelayaran, serta fasilitas alur pelayaran di sungai dan danau, kecuali ;
a. apabila kerusakan tersebut diakibatkan oleh keadaan yang tidak dapat dielakkan atau keadaan
memaksa ;
b. apabila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena
kesalahannya.
(2) Pemilik dan/atau operator kapal yang karena kesalahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memperbaiki dan/atau mengganti sehingga fasilitas tersebut berfungsi seperti semula.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 11
Dilarang merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana bantu
navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran serta fasilitas alur pelayaran di sungai dan danau di
bawah yurisdiksi nasional Indonesia.
Bagian Ketiga
Alur dan Perlintasan
Pasal 12
Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia, Pemerintah :
a. menetapkan alur-alur pelayaran, pembangunan, pengope-rasian serta pemeliharaannya;
b. menetapkan sistem rute ;
c. menetapkan tata cara berlalu lintas;
d. melaksanakan survei dan pemetaan hidrografi untuk pemutakhiran data pada buku petunjuk
pelayaran dan peta laut.
Pasal 13
(1) Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan :
a. setiap bangunan atau instalasi harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan;
b. setiap kegiatan atau hal yang dapat mem-bahayakan wajib ditetapkan zona keselamatan dan
diumumkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lajut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Pemerintah menetapkan alur-alur laut kepulauan untuk perlintasan yang sifatnya terus-menerus, langsung,
dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
Pasal 15
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal selama selama berlayar wajib mematuhi aturan-aturan yang
berkaitan dengan tata cara berlalu lintas, alur-alur pelayaran, sistem rute, sarana bantu navigasi
pelayaran, dan telekomunikasi pelayaran yang diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal dari kapal yang berada di pelabuhan yang patut diduga melanggar
aturan-aturan yang ditetapkan pada ayat (1), oleh pejabat pemerintah yang berwenang dapat
diwajibkan untuk menempatkan jaminan pembayaran hukuman denda yang mungkin dikenakan
atasnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemanduan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan keselamatan pelayaran, pada daerah perairan tertentu ditetapkan sebagai
perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa.
(2) Pelayanan pemanduan dilaksanakan oleh petugas yang telah memenuhi persyaratan kesehatan,
kecakapan serta pendidikan dan pelatihan.
(3) Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab nakhoda atau
pemimpin kapal.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2). dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Kerangka Kapal, Salvage, dan
Pekerjaan Bawah Air
Pasal 17
(1) Pemilik kapal dan / atau nakhoda atau pemimpin kapal, wajib melaporkan kerangka
kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada instansi yang berwenang.
(2) Kerangka kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang keberadaannya mengganggu
keselamatan berlayar diberi tanda dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pemilik kapal bertanggung jawab dan wajib menyingkirkan kerangka kapal dan/atau
muatannya yang mengganggu keselamatan berlayar.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diasuransikan.
(3) Pemerintah berwenang mengangkat, menyingkirkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari
kerangka kapal dan /atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang telah
ditentukan, pemilik belum melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(4) Pemerintah dapat menguasai dan mengangkat kerangka kapal dan/atau muatannya yang
dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak diketahui pemiliknya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya dan terhadap kapal
dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.
(2) Setiap pekerjaan bawah air harus memenuhi persyaratan teknis yang berkaitan dengan keselamatan
berlayar.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pemilik kapal yang lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan pelayaran wajib membayar ganti rugi kepada pihak
yang mengalami kecelakaan.
(2) Izin Usaha Pelayaran dapat dicabut apabila pemilik kapal tidak melaksanakan tanggung jawab dan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

BAB VI
KEPELABUHANAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 21
(1) Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelengaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran,
keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar,
serta tempat perpindahan intra dan/atau antar-moda.
(2) Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi
antara kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan.
(3) Pelaksanaan kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (2) meliputi
fungsi keselamatan pelayaran, bea dan cukai, imigrasi, karantina, serta keamanandan ketertiban.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Jenis Pelabuhan
Pasal 22
(1) Pelabuhan terdiri dari pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
(2) Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayaran masyarakat umum.
(3) Pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
Bagian Ketiga
Penetapan Lokasi
Pasal 23
(1) Penggunaan bagian tertentu daerah daratan dan/atau perairan untuk pelabuhan, wajib memenuhi
persyaratan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pelabuhan Umum
Pasal 24
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, ditetapkan daerah lingkungan kerja
pelabuhan dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.
(2) Terhadap tanah yang ditetapkan sebagai daerah lingkungan kerja pelabuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
(1) Pembangunan pelabuhan umum dilaksanakan berdasarkan persyaratan teknis kepelabuhanan,
kelestarian lingkungan, dan memperhatikan keterpaduan intra dan antarmoda transportasi serta
wajib memperoleh izin dari Pemerintah.
(2) Pengoperasian pelabuhan umum dapat dilaksanakan setelah pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) selesai dilaksanakan serta memenuhi persyaratan dan mendapat izin dari Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pelabuhan umum dilaksanakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Badan Hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pelabuhan umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha milik negara yang melaksanakan
pengusahaan pelabuhan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 27
(1) Usaha kegiatan penunjang pelabuhan di pelabuhan umum dilakukan oleh badan hukum Indonesia
dan/atau warga negara Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Suatu tempat tertentu di daratan dapat ditetapkan sebagai tempat yang berfungsi sebagai pelabuhan
umum dengan memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pelabuhan Khusus
Pasal 29
(1) Untuk menunjang kegiatan tertentu dapat dibangun pelabuhan khusus yang dioperasikan untuk
kepentingan sendiri, yang merupakan satu kesatuan tatanan kepelabuhanan nasional.
(2) Untuk membangun dan mengoperasikan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memiliki izin dari Pemerintah.
(3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diperoleh setelah dipenuhi persyaratan teknis
kepelabuhanan, keselamatan pelayaran, dan kelestarian lingkungan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Dilarang menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu
dengan izin Pemerintah.
Bagian Keenam
Pelabuhan Yang Terbuka Bagi
Perdagangan Luar Negeri
Pasal 31
(1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri dapat ditetapkan pelabuhan yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri.
(2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi daerah, kepentingan pengembangan kemampuan angkutan
laut nasional, pengembangan ekonomi nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketujuh
T a r i f
Pasal 32
Ketentuan mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa pelabuhan yang diberikan di pelabuhan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab
Pasal 33
(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan dipelabuhan umum bertanggung
jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan
yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan
pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan umum yang diakibatkan oleh kapalnya.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan tangggung jawab atas ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), pemilik dan/atau operator kapal wajib memberikan jaminan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Penyelenggara pelabuhan umum bertanggung jawab terhadap kerugian pengguna jasa atau pihak
ketiga lainnya karena kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan.
(2) Pengguna jasa pelabuhan atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak mengajukan
tuntutan ganti rugi.

BAB VII
PERKAPALAN
Bagian Pertama
Kelaiklautan Kapal
Pasal 35
(1) Pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya wajib memenuhi
persyaratan keselamatan kapal.
(2) Keselamatan kapal ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian.
(3) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberikan sertifikat
keselamatan kapal oleh Pemerintah.
(4) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah serta
dapat dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal, kapal ukuran tertentu dapat memanfaatkan hasil
pemeriksaan klasifikasi.
(2) Pengklasifikasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum Indonesia
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
Setiap kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), wajib
dipelihara sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
Pasal 38
(1) Perubahan atas sebuah kapal yang mempengaruhi rincian dan identitas yang ada dalam sertifikat dan
surat-surat kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal 50 ayat
(1), wajib dilaporkan kepada pejabat pemerintah yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 39
(1) Berdasarkan pertimbangan kondisi geografi dan Meteorologi, ditetapkan daerah pelayaran
tertentu.
(2) Setiap kapal yang beroperasi di daerah pelayaran sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal sesuai dengan daerah pelayarannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 40
(1) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan dan selama berada di pelabuhan wajib mematuhi
peraturan-peraturan untuk menjaga ketertiban dan kelancaran lalu lintas kapal di pelabuhan, yang
pengawasannya dilakukan oleh syahbandar.
(2) Setiap kapal yang akan berlayar wajib memiliki Surat Izin Berlayar yang dikeluarkan oleh
syahbandar setelah memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 41
Atas perintah pengadilan, pejabat pemerintah yang berwenang dapat melakukan penahanan terhadap
kapal yang sedang berada di pelabuhan Indonesia.
Pasal 42
(1) Dalam keadaan tertentu, kepada suatu kapal dapat diberikan keringanan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dengan tetap mempertimbangkan terjaminnya
kelaiklautan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Surat Izin Berlayar tidak diberikan pada kapal atau dicabut apabila ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 66 ayat (1)
dan ayat (2), dan Pasal 87 ayat (1) dilanggar.
Bagian Kedua
Peti Kemas
Pasal 44
(1) Setiap Peti kemas yang akan dipergunakan sebagai bagian dari alat angkut , wajib memenuhi
persyaratan kelaikan peti kemas.
(2) Pemuatan peti kemas ke dalam kapal wajib memenuhi persyaratan pemuatan untuk menjamin
kelaiklautan kapal.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuran, Pendaftaran, dan
Kebangsaan Kapal
Pasal 45
(1) Sebelum digunakan dalam pelayaran setiap kapal wajib diukur.
(2) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan surat ukur untuk
kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3 atau yang dinilai sama dengan itu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 46
(1) Kapal yang telah diukur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat didaftarkan di
Indonesia yang dilakukan oleh pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal.
(2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia adalah :
a. kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3 atau yang dinilai sama dengan
itu; dan
b. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(3) Pendaftaran kapal dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberi-kan surat tanda pendaftaran yang
berfungsi pula sebagai bukti hak milik kapal.
(5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang tanda pendaftaran.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
(1) Sebagai pengganti surat tanda pendaftaran kapal yang hilang atau musnah dapat diberikan
surat tanda pendaftaran kapal baru sebagai pengganti.
(2) Surat tanda pendaftaran pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan oleh
pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal pada tempat kapal didaftarkan berdasarkan
penetapan pengadilan negeri.
Pasal 48
Pengalihan hak milik atas kapal wajib dilakukan dengan cara balik nama di tempat kapal tersebut
didaftarkan.
Pasal 49
(1) Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hipotek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .
Pasal 50
(1) Kapal yang didaftar di Indonesia dapat memperoleh Surat Tanda Kebangsaan kapal Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 51
(1) Kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan, dapat diberikan Surat Tanda Kebangsaan
Kapal Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1) Kapal Indonesia wajib mengibarkan bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaan kapal.
(2) Kapal yang bukan kapal Indonesia dilarang mengibarkan bendera Indonesia sebagai tanda
kebangsaannya.
Pasal 53
(1) Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan secara jelas identitas kapalnya .
(2) Kapal yang berlayar diperairan Indonesia dengan mengi-barkan lebih dari satu bendera sebagai
tanda kebangsaan, dianggap tidak mempunyai identitas kapal.
Pasal 54
(1) Kapal Indonesia dilarang mengibarkan bendera kebangsaan negara lain sebagai pengganti tanda
kebangsaan Indonesia.
(2) Dalam hal kapal Indonesia berlayar ke negara lain dan kebiasaan internasional atau peraturan
negara yang dituju mensyaratkan mengibarkan bendera negara tersebut, maka kapal Indonesia wajib
mengibarkan bendera Indonesia dan dapat mengibarkan bendera Indonesia dan dapat mengibarkan
bendera negara yang dituju secara bersamaan.
Bagian Keempat
Nakhoda, Pemimpin Kapal,
dan Anak Buah Kapal
Pasal 55
(1) Nakhoda merupakan pimpinan di atas kapal yang memiliki wewenang penegakan hukum dan
bertanggung jawabatas keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan
yang menjadi kewajibannya.
(2) Pemimpin kapal merupakan pimpinan di atas kapal dan bertanggung jawab atas keselamatan,
keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan yang menjadi kewajibannya .
(3) Di samping kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) nakhoda diberi tugas dan
kewenangan khusus, yaitu;
a. membuat catatan setiap kelahiran ;
b. membuat catatan setiap kematian;
c. menyaksikan dan mencatat surat wasiat.
(4) Nakhoda atau pemimpin kapal wajib memenuhi persyarat- an pendidikan dan pelatihan,
kemampuan dan keterampilan, serta kesehatan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal dan anak buah kapal berbendera Indonesia harus warga negara
Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan atas izin
Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 57
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal, wajib berada di kapal selama berlayar, kecuali dalam keadaan yang
sangat memaksa.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang akan berlayar, wajib memastikan bahwa kapalnya telah
memenuhi persyaratan kelaiklautan.
(3) Nakhoda atau pemimpin kapal berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila mengetahui
kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Nakhoda atau pemimpin kapal wajib memperhatikan dan memelihara kondisi kapalnya tetap laik laut
untuk berlayar.
(5) Pemilik atau operator kapal wajib memberikan keleluasaan kepada nakhoda atau pemimpin kapal
untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 58
Untuk tindakan penyelamatan, nakhoda atau pemimpin kapal berhak menyimpang dari rute yang telah
ditetapkan dan mengambil tindakan lainnya yang diperlukan.
Pasal 59
(1) Dalam hal nakhoda yang bertugas di kapal yang sedang berlayar untuk sementara atau untuk
seterusnya tidak mampu melaksanakan tugas, maka mualim I menggantikannya dan pada pelabuhan
berikut yang disinggahinya diadakan penggantian nakhoda.
(2) Apabila mualim I, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mampu menggantikan
nakhoda, maka mualim lainnya yang tertinggi dalam jabatan sesuai dengan sijil dapat menggantikan,
dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantian nakhoda.
(3) Dalam hal penggantian nakhoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disebabkan
halangan sementara maka penggantian tidak mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab nakhoda
kepada pengganti sementara.
(4) Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan menggantikan nakhoda kapal maka pengganti
nakhoda di tunjuk oleh dewan kapal.
(5) Dalam hal penggantian nakhoda disebabkan halangan tetap maka nakhoda pengganti sementara
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat
(3).
Pasal 60
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal untuk kapal tertentu, wajib menyelenggarakan buku harian kapal.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal wajib melaporkan buku harian kapal kepada pejabat pemerintah
yang berwenang dan/atau atas permintaan pihak-pihak yang berwenang untuk memperlihatkan
buku harian kapal dan/atau memberikan salinannya.
(3) Buku harian dan keterangan yang dicatat di dalamnya dapat dijadikan sebagai alat bukti
dipengadilan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 61
(1) Dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa disijil dan tanpa memiliki
kemampuan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
(1) Anak buah kapal wajib mentaati perintah nakhoda atau pemimpin kapal secara tepat dan cermat dan
dilarang meninggalkan kapalnya tanpa izin nakhoda atau pemimpin kapal.
(2) Dalam hal anak buah kapal mengetahui bahwa perin-tah yang diterimanya tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka yang bersangkutan berhak mengadukan kepada pejabat pemerintah
yang berwenang.
(3) Hubungan kerja antara awak kapal dengan pemilik atau operator kapal serta hak dan kewajibannya
diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 63
(1) Nakhoda berwenang mengenakan tindakan disiplin atas pelanggaran yang dilakukan setiap anak
buah kapal yang :
a. meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda;
b. tidak kembali ke kapal pada waktunya;
c. tidak melaksanakan tugas dengan baik;
d. menolak perintah penugasan;
e. berperilaku tidak tertib;
f. berperilaku tidak layak terhadap seseorang.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 64
(1) Selama perjalanan kapal, nakhoda dapat mengambil tidakan terhadap setiap orang secara tidak
sah berada diatas kapal.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
PENCEMARAN OLEH KAPAL
Pasal 65
(1) Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah atau bahan lain apabila tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
(1) Setiap kapal yang dioperasikan wajib dilengkapi dengan peralatan pencegahan pencemaran sebagai
bagian dari persyaratan kelaiklautan kapal.
(2) Setiap nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau anak buah kapal wajib mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perauran
Pemerintah.
Pasal 67
(1) Setiap nakhoda atau pemimpin kapal wajib menang-gulangi pencemaran yang bersumber dari
kapalnya.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal wajib segera melaporkan kepada pejabat pemerintah yang berwenang
terdekat atau instansi yang berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut mengenai
terjadinya pencemaran laut yang disebabkan oleh kapalnya atau oleh kapal lain atau apabila melihat
adanya pencemaran di laut.
(3) Pejabat pemerintah yang berwenang segera meneruskan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) kepada instansi yang berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut di pelabuhan
untuk penanganan lebih lanjut.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 68
(1) Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari
kapalnya
(2) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemilik atau operator
kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IX
ANGKUTAN
Bagian Pertama
Usaha Angkutan
Pasal 69
(1) Usaha angkutan di perairan, diselenggarakan berdasarkan izin Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan
hukum Indonesia yang bergerak khusus di bidang usaha angkutan di perairan.
(3) Usaha angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan Pasal 79 dapat juga
diselenggarakan oleh warga negara Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Untuk menunjang usaha tertentu dapat dilakukan kegiatan angkutan laut, serta angkutan sungai dan
danau untuk kepentingan sendiri.
(2) Kegiatan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh badan hukum
Indonesia atau warga negara Indonesia dengan izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Usaha Penunjang Angkutan
Pasal 71
(1) Untuk menunjang usaha atau kegiatan angkutan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70
dapat diselenggarakan usaha penunjang angkutan laut serta angkutan sungai dan danau.
(2) Usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Badan Hukum
Indonesia atau warga negara Indonesia dengan izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 72
Ketentuan mengenai jenis dan struktur tarif usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Laut Dalam Negeri
Pasal 73
(1) Penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera
Indonesia.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimak-sud dalam ayat (1) maka dalam keadaan
dan persyaratan tertentu, Pemerintah dapat menetapkan penggunaan kapal berbendera asing untuk
angkutan laut dalam negeri yang dioperasikan oleh Badan Hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 70 ayat (2)
Pasal 74
(1) Pola penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu baik intramaupun
antar-moda yang merupakan satu kesatuan tatanan transpotasi nasional.
(2) Angkutan laut dalam negeri diselenggarakan dengan trayek tetap dan teratur serta dapat pula
dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 75
Struktur dan golongan tarif penumpang angkutan laut dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Keempat
Angkutan Laut Luar Negeri
Pasal 76
(1) Penyelenggaraan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan/atau perusahaan angkutan laut asing.
(2) Penyelenggaraan angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tujuan
agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pelayaran Rakyat
Pasal 77
(1) Pelayaran rakyat sebagai usaha rakyat yang bersifat tradisional, merupakan bagian dari usaha
angkutan di perairan, mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
(1) Pembinaan pelayaran rakyat dilaksanakan dengan tujuan agar kehidupan usaha dan peranan
pentingnya tetap terpelihara sebagai bagian dari tatanan angkutan di perairan
(2) Pengembangan pelayaran rakyat dilaksanakan untuk :
a. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha dan lapangan kerja;
b. terwujudnya pengembangan sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha
pelayaran.
(3) Pembinaan dan pengembangan pelayaran rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Angkutan Sungai Dan Danau, dan
Angkutan Penyeberangan
Pasal 79
(1) Penyelenggaran angkutan sungai dan danau, dan angkutan penyeberangan, di dalam negeri dilakukan
dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia.
(2) Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau, dan ang-kutan penyeberangan, antara negara
Republik Indonesia dengan negara asing, dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah
negara Republik Indonesia dengan Pemerintah negara asing yang bersangkutan.
Pasal 80
(1) Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau disusun secara terpadu intra-dan antar-moda yang
merupakan satu kesatuan tatanan transportasi nasional.
(2) Angkutan sungai dan danau diselenggarakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur yang
dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 81
(1) Penetapan lintasan angkutan penyeberangan dilakukan dengan memperhatikan pengembangan
jaringan jalan dan/atau jaringan jalan kereta api yang tersusun dalam satu kesatuan tatanan
trasportasi nasional.
(2) Angkutan penyeberangan diselenggarakan dengan menggunakan trayek tetap dan tertatur.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 82
Struktur dan golongan tarif penumpang dan barang untuk angkutan sungai dan danau, dan angkutan
penyeberangan, ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pelayanan Angkutan Untuk
Penyandang Cacat
Pasal 83
(1) Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam
angkutan di perairan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Angkutan Perintis
Pasal 84
(1) Pemerintah menyelenggarakan angkutan perintis berupa angkutan diperairan yang menghubungkan
daerah-daerah terpencil dan belum berkembang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Wajib Angkut
Pasal 85
(1) Perusahaa angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang setelah disepakati
perjanjian pengangkutan.
(2) Karcis penumpang dan dokumen muatan merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan.
Bagian Kesepuluh
Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 86
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh
pengoperasian kapalnya berupa :
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut ;
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut ;
c. keterlambatan angkutan penumpang, dan/ atau barang yang diangkut ;
d. kerugian pihak ketiga.
(2) Jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, c dan d bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dapat dibebaskan sebagai atau
seluruh dari tanggung jawabnya.
(3) Perusahaan angkutan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pengangkutan Barang Khusus dan
Barang Berbahaya
Pasal 87
(1) Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib memenuhi persyaratan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KECELAKAAN KAPAL
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
Bagian Pertama
Kecelakaan Kapal
Pasal 88
Nakhoda atau pemimpin kapal bertanggung jawab atas kecelakan kapal, kecuali dapat dibuktikan lain.
Pasal 89
(1) Setiap orang yang ada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya terjadi kecelakaan, dalam batasbatas
kemampuannya wajib memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada
pejabat yang ber wenang terdekat atau pihak lain.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya bagi keselamatan berlayar wajib
mengambil tindakan pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal itu kepada pihak lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 90
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar wajib memberikan pertolongan dalam batas
kemampuannya kepada setiap orang atau kapal yang ditemukan berada dalam bahaya di perairan dan
orang-orang yang berada di menara suar.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang terlibat dalam tubrukan dengan kapal lain wajib
memberikan pertolongan kepada penumpang, awak kapal, dan kapal yang terlibat dalam tubrukan
tersebut.
Pasal 91
(1) Nakhoda kapal wajib melaporkan kepada pejabat pemerin-tah yang berwenang terdekat setiap
keadaan yang mungkin merupakan bahaya terhadap keselamatan berlayar di dalam atau di dekat
perairan di bawah yurisdiksi Indonesia atau di laut lepas yang diketahuinya.
(2) Pemimpin kapal wajib melaporkan kepada pejabat pemerintah yang berwenang atau kepada
pelabuhan atau pejabat yang ditunjuk terdekat, terhadap setiap keadaan yang mungkin merupakan
bahaya keselamatan berlayar, di dalam atau dekat perairan di bawah yurisdiksi Indonesia.
Pasal 92
Nakhoda atau pemimpin kapal yang berada di perairan Indonesia wajib melaporkan kepada pejabat
pemerintah yang berwenang, setiap kecelakaan yang melibatkan kapalnya atau kapal lain yang
diketahuinya, yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerusakan pada alur atau bangunan
di perairan yang berkaitan atau yang dapat mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan berlayar.
Pasal 93
(1) Terhadap setiap kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oleh pejabat pemerintah yang berwenang
untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan.
(2) Terhadap hasil pemeriksaan tersebut pada ayat (1) dapat diadakan pemeriksaan lanjutan untuk
diambil keputusan oleh lembaga yang ditunjuk untuk itu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pencarian dan Pertolongan
Pasal 94
(1) Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang
mengalami musibah di perairan Indonesia.
(2) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara wajib membantu
usaha pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah di perairan
Indonesia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lajut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB XI
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 95
(1) Pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pelayaran dilaksanakan dengan tujuan agar
tercipta tenaga kerja yang profesional.
(2) Pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimak-sud dalam ayat (1) mancakup perencanaan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan pasar kerja dan
perluasan kesempatan berusaha.
Pasal 96
(1) Untuk mewujudkan tenaga kerja professional di bidang pelayaran diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan oleh lembaga pendidikan yang memenuhi persyaratan dan mendapat izin dari Pemerintah.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan,
perkembangan ilmu dan teknologi serta persyaratan internasional.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 97
(1) Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing wajib memenuhi ketentuan perundangundangan
yang berlaku baik nasional maupun internasinal.
(2) Pemerintah menetapkan tata cara perlindungan terhadap pelaut Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memperluas penampungan tenaga kerja, Pemerintah mendorong tumbuhnya pasar kerja di
bidang pelayaran.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 99
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan
perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran dimaksud dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimasud dalam ayat (1) berwenang untuk :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang pelayaran;
b. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi dan orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan dan/atau menyita alat-alat yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
d. melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digu-nakan melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau sehubungan dengan tindak pidana
dibidang pelayaran .
f. membuat dan menandatangani berita acara peme-riksaan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak
pidana di bidang pelayaran.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 100
(1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak
berfungsinya sarana bantu navigasi pelayaran dan fasilitas alur pelayaran di sungai dan danau
dibawah yurisdiksi nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan
pidana :
a. penjara paling lama 12 (dua belas ) tahun jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal
berlayar ;
b. penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun, jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal
berlayar dan perbuatan itu berakibat kapal tenggelam atau terdampar ;
c. penjara seumur hidup atau penjara untuk waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun,
jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan berakibat matinya seseorang.
(2) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan tidak berfungsinya sarana bantu navigasi
pelayaran dan fasilitas alur pelayaran di sungai dan danau di bawah yurisdiksi nasional Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan pidana :
a. penjara paling lama 4 empat bulan 2 (dua) minggu atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah), jika hal itu
mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar ;
b. penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah), jika hal itu mengakibatkan kapal
tenggelam atau terdapar;
c. penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun jika
hal itu mengakibatkan matinya seseorang
(3) Barangsiapa karena tindakannya mengakibatkan rusak atau tidak berfungsinya telekomunikasi
pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang
yang berlaku di bidang telekomunikasi.
Pasal 101
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dengan tata cara berlalu
lintas, alur-alur pelayaran, sistem rute, sarana bantu navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran
selama berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 102
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal yang memasuki perairan wajib pandu, tetapi tidak menggunakan
tenaga pandu, tanpa izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
4.000.000,- (empat juta rupiah).
(2) Barangsiapa yang melaksanakan pemanduan tidak memenuhi persyaratan atau kewenangan yang
telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4.000.000,- (empat Juta rupiah).
Pasal 103
Pemilik kapal dan/atau nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan kerangka kapalnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah).
Pasal 104
(1) Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal-nya dan/atau muatannya yang mengganggu
keselamatan berlayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- ( dua puluh
empat juta rupiah).
(2) Pemilik kapal yang tidak melakukan kewajiban mengasuransikan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
(3) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan kapal lain mengalami
kecelakaan atau menimbulkan kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
Pasal 105
(1) Barangsiapa membangun pelabuhan umum, tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dipidana dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp.48.000.000,- (empat puluh delapan juta rupiah).
(2) Barangsiapa mengoperasikan pelabuhan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah rupiah) .
Pasal 106
Barangsiapa membangun dan mengoperasikan pelabuhan khusus tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda setinggitingginya
Rp.48.000.000,- (empat puluh delapan juta rupiah) .
Pasal 107
Barangsiapa menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum tanpa memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 108
Barangsiapa yang tidak malaporkan kepada pejabat pemerintah yang berwenang tentang perubahan yang
dilakukan terhadap sebuah kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal 109
Nakhoda atau pemimpin kapal yang melayarkan kapalnya melampaui daerah pelayaran yang ditentuan
sesuai dengan kelaiklautan kapalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000.- (enam juta
rupiah).
Pasal 110
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak mematuhi peraturan-peraturan untuk menjaga ketertiban
dan kelancaran lalu lintas kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud Pasal 40 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,-
(enam juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang berlayar tanpa memiliki Surat Izin Berlayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda setinggi-tingginya Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 111
Barangsiapa menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut yang tidak memenuhi persyaratan
kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 112
Pemilik kapal yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (5) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan denda setinggi-tingginya
Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 113
Barangsiapa menerima pengalihan hak milik atas kapal dan tidak melakukan balik nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya 10 (sepuluh ) kali lipat dari biaya balik nama
yang ditentukan.
Pasal 114
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak memenuhi ketentuan mengenai pengibaran bendera kebangsaan
kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 54 ayat (1) , dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun 4 (empat ) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 32.000.000,- (tiga puluh dua juta
rupiah).
Pasal 115
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak berada di atas kapal atau meninggalkan kapalnya tanpa
alasan yang sangat memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui
bahwa kapal tersebut tidak laiklaut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.6.000.000,- (enam juta
rupiah)
(3) Pemilik atau operator kapal yang menghalang-halangi keleluasaan nakhoda atau pemimpin kapal
untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,-
(delapan belas juta rupiah).
Pasal 116
Nakhoda atau pemimpin kapal untuk kapal dengan ukuran tertentu yang tidak menyelenggarakan buku
harian atau tidak melaporkan buku harian kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang atau tidak
memperlihatkan kepada pihak-pihak yang berwenang atas permintaan dan untuk memperoleh salinannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 117
(1) Pemilik atau operator kapal yang mempekerjakan awak kapal di kapal tanpa disijil dan tanpa
memiliki kemampuan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggitingginya
Rp. 12.000.000,0 (dua belas juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang mempekerjakan anak buah kapal di kapal tanpa disijil dan tanpa
memiliki kemampuan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya
Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 118
Anak buah kapal yang tidak menaati perintah nakhoda atau pemimpin kapal atau meninggalkan kapal
tanpa izin nakhoda atau pemimpin kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 119
(1) Barangsiapa yang melakukan pembuangan limbah atau bahan lain dari kapal yang tidak memenuhi
persyaratan sebagamana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan
hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 120
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan penanggulangan
pencemaran yang bersumber dari kapalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 48.000.000,- (empat
puluh delapan juta rupiah).
Pasal 121
Pemilik atau operator kapal yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 122
Barangsiapa menyelenggarakan usaha angkutan diperairan, kegiatan angkutan, atau usaha penunjang
angkutan tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (2) , Pasal 71
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 123
Barangsiapa tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
6.000.000,-(enam juta rupiah rupiah).
Pasal 124
(1) Setiap orang yang ada di atas kapal yang mengetahui dikapalnya terjadi kecelakaan, dalam batasbatas
kemampuannya tidak memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya bagi keselamatan berlayar dan tidak
mengambil tindakan pencegahan atau menyebarluaskan berita kepada pihak-pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.8.000.000,- (delapan juta rupiah).
Pasal 125
(1) Nakhoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar, tetapi tidak memberikan pertolongan sesuai
dengan kemampuannya kepada setiap orang atau kapal yang ditemukan berada dalam bahaya di
perairan dan orang-orang yang berada di menara suar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang kapalnya terlibat dalam tubrukan dengan kapal lain dan
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan kepada penumpang, awak kapal, dan kapal yang
terlibat dalam tubrukan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 ( empat) tahun.
Pasal 126
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan setiap keadaan yang mungkin merupakan bahaya
terhadap keselamatan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
Pasal 127
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan setiap kecelakaan yang melibatkan kapalnya atau
kapal lain yang diketahuinya, yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerusakan pada alur
atau bangunan di perairan atau yang dapat mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan berlayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pasal 128
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara yang tidak membantu
usaha pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 94 ayat (2), walaupun telah diberitahukan secara patut oleh pejabat pemerintah yang
berwenang, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 129
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1), ayat (2) huruf c dan ayat (3),
Pasal 104 ayat (3), Pasal 105, Pasal 106, Pasal 114, Pasal 115 ayat (1), Pasal 118, Pasal 119, Pasal
120, dan Pasal 125 ayat (2) adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 101, Pasal
102, Pasal 103, Pasal 104 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 115 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 116, Pasal 117, Pasal 121, Pasal
122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125 ayat (1), Pasal 126, Pasal 127, dan Pasal 128 adalah
pelanggaran.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 130
Pada tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan mengenai pelayaran
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 131
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
(1) Indische Scheepvaartswet, Staatsblad tahun 1936 Nomor 700 ;
(2) Loodsdienst Ordonnatie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 62 ;
(3) Scheepmeetings Ordinnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 210 ;
(4) Binnenscheepen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 289 ;
(5) Zeebrieven en Scheepspassen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 492 ;
(6) Scheepen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 66 ;
(7) Bakengeld Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 468 ;
dinyatakan tidak berlaku,
Pasal 132
Undang-undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 17 September 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Di undangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 September 1992
MENTERI / SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
P E N J E L A S A N
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1992
TENTANG
P E L A Y A R A N
Umum
Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai
negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua
benua dan du samudera, oleh karena itu mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis
dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, trasportasi memiliki posisi
yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus
tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor wilayah.
Transpotasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan
kesatun bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara dan meningkatkan
ketahanan nasional, serta mempererat hubungan antar bangsa.
Pentingnya trasportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek
kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas
manusia dan barang dalam negeri serta dari dan ke luar negeri.
Di samping itu, traspotarsi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan
pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Menyadari peran transportasi, maka pelayaran sebagai salah satu moda transpotasi, penyelenggaraan
harus ditata dalam satu kesatua sistem transpotasi nasonal secara terpadu dan mampu mewujudkan
penyediaan jasa trasportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuan dan tersedianya pelayanan angkutan
yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efesien dengan biaya yang wajar serta
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pelayaran yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dengan
memperlihatakan sifatnya yang padat modal, sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas,
baik didalam negeri maupun ke dan dari luar negeri.
Mengingat penting dan strategisnya peranan pelayaran yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka
pelayaran dikuasai oleh negara yang pembiayaannyadilakkanoleh Pemerintah.
Dalam kenyataannya berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan produk Pemerintah
Hindia Belanda yang tebesar di berbagai bentuk peraturan antara lain di bidang kenavigasian, perkapalan,
kepelabuhanan, dan angkutan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi .
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah Undang-undang tentang Pelayaran, yang merupakan
penyempurnan dan kodifikasi, agar penyelenggaraan pelayaran dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya
kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa bahari, dengan
mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi antara pusat dan daerah serta
antara instansi , sector, dan antar unsur terkait serta pertahanan keamanan negara.
Dengan diundangkannya Undang-undang tentang Pelayaran ini maka ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Undang-undang lain yang berkaitan denganpelayaran antara lain Kitab Undag-undang Hukum
Dagang (Wet Boek Van KoophandelI. Undang-undang Nomo 4 Prp Tahun 19960 tentang Perairan
Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Poko Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convension on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukm laut). Undang-undang Nomor 9 Tahun
1985 tentang Perikanan, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, merupakan
Undang-undang yang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Undang-undang ini.
Di samping itu berbagai konvesni internasonal lainnya yang telah diartifikasi oleh Indonesia, merupakan
ketentuan yang harus dilaksanakan sesuai dengan kepentingan nasional.
Dalam Undang-undng ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan
operasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Pengertian tentang angkutan di perairan meliputi angkutan laut, angkutan sungai dan danau dan
angkutan penyebrangan.
Angkutan laut meliputi angkutan laut dalam negeri termasuk pelayaran rakyat, dan angkutan laut
dari dan ke luar negeri.
Angkutan sungai dan danau meliputi angkutan di waduk, rawa, anjir, kanal, dan terusan.
Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang
menghubungkan jaringan jalan atau jarinan jalur kereta api yang terputus karena adanya perairan.
Dalam pengertian angkutan di perairan terdapat angkutan yang bersifat perintis.
Angka 2
Yang dimaksud dengan :
a. kapal yang digerakkan dengan tenaga mekani adalah kapal yang mempunyai alat
penggerak mesin, misalnya kapal motor, kapal uap, kapal dengan tenaga matahari, dan kapal
nuklir
b. kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal layar;
c. kapal yang ditunda adalah kapal yang bergerak dengan menggunakan alat penggerak kapal
alain;
d. kenderaan berdaya dukung dinamis adalah jenis kapal yang dapat dioperasikan di
permukaan air atau di atas permuakaan air dengan menggunakan daya dukung dinamis yang
diakibatkan oleh kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu sendiri, misalnya jet foil, hidro
foil, hovercraft, dan kapal-kapal cepat lainnya yang memenuhi criteria terentu;
e. kendeaan dibawah permukaan air adalah jenis kapal yang mampu bergerak di bawah
permukaan air;
f. alat apung dan banguan terapung yang tidak berpindah-pindah adalah alat apung dan
bangunan terapung yang tidak mempunyai alat penggerk sendiri, serta ditempatkan di suatu
lokasi perairan tertentu dan dan tidak berpindah-pindah untuk waktu yang sama, misalnya
hotel terapung, tongkang akomodasi (acomodation barge) untuk menunjang kegiatan lepas
pantai dan tongkang penampung minyak (oil storage barge), serta unit-unit pemboran lepas
pantai berpindah (mobile offshore drilling units/modu).
Angka 3
Yang dimaksud perairan daratan antara lain sungai, danau, waduk, kanal, dan terusan.
Angka 4
Cukup Jelas
Angka 5
Alur pelayaran terdiri dari alur pelayarn di laut. Sungai dan danau. Dalampengertian alur
pelayaran di sungai termasuk seluruh fasilitas antara lain berupa kolam pemindahan kapal (lock),
bendung pengatur kedalaman alur (navigation barrage), dan bangunan untuk pengangkat kapal
(ship lift).
Angka 6
Cukup Jelas
Angka 7
Cukup Jelas
Angka 8
Pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus misalnya penggunaan peralatan bawah air yang
dioperasikan dari permukaan air.
Pekerjaan pengerukan tidak temasuk pekerjaan bawah air.
Angka 9
Termasuk pengertian kerangka kapal adalah sebagian atau bagian dari kerangka kapal yang
terpisah.
Angka 10
Yang dimaksud dengan keselamatan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
material, konstruksi, bangunan, peresmian dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta
perlengkapan termasuk radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan
pemeriksaan dan pengujian.
Angka 11
Cukup Jelas
Angka 12
Cukup Jelas
Angka 13
Yang dimaksud jenis dan ukuran kapal tertentu adalah kapal dengan ukuran lebih kecil dari 100
M3 untuk kapal motor dan lebih kecil dai 300 M3 untuk kapal tanpa motor dengan konstruksi
sederhana yang berlayar di perairan terbatas.
Kapal tersebut tidak perlu dipimpin oleh seorang nakhoda, namun cukup dipimpin oleh
pemimpin kapal yang memiliki persyaratan yang lebih ringan dari keterampilan yang harus
dimiliki oleh nakhoda.
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perairan wajib pandu adalah suatu wilayah perairan yang karena kondisi
perairannya wajib dilakukan pemanduan bagi kapal berukuran isi kotor tertentu.
Yang dimaksud dengan perairan pandu luar biasa yaitu suatu wilayah perairan yang karena kondisi
perairannya tidak wajib dilakukan pemanduan.
Penggunaan fasilitas pemanduan dapat diberikan atas permintaan nakhoda atau pemimpin kapal.
Penetapan perairan wajib pandu dan perairn pandu luar biasa bertitik tolak pada kondosi perairan
yang bersangkutan yang dinilai berdasarkan pada kriteria/aspek yang dapat mempengaruhi
keselamatan pelayaran, berupa kondisi cuaca, kondisi arus, rintangan alam lainnya, dan kondisi
kepadatan lalu-lintas kapal yang menuju suatu daerah pelabuhan.
Ayat (2)
Pandu adalah petugas pelaksana pemanduan yaitu seorang pelaut nautis yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Pemerintah.
Ayat (3)
Pelayaran pandu di atas kapal merupakan bantuan kepada nakhoda atau pemimpin kapal untuk
dapat mengambil tindakan yang tepat dalam rangka menjamin keselamatan berlayar, dan keputusan
akhir tetap berada di tangan nakhoda.
Petugas pandu bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemanduan sehingga apbila melakukan
kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya dapat dikenakan tindakan administrative.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dan bertanggung jawab atas pelaksanaan
fungsi keselamatan pelayaran.
Ayat (2)
Pemberian tanda dan pengumuman dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kecelakaan akibat
adanya kerangka kapal tersebut.
Biaya pengadaan dan pemasangan tanda kerangka kapal tersebut dibebankan kepada pemilik kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Tanggung jawab dan kewajiban pemilik sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dikenakan
kepada operator apabila hal tersebut jelas-jelas disebut dalam perjanjian antara operator dengan
pemilik kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penguasaan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang
tidak diketahui pemiliknya dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan
pengangkatan guna menjamin keselamatan berlayar.
Ayat (5)
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain mengenai pemberian tanda, penetapan batas
waktu, tata cara penyingkiran, pembebanan biaya, penguasaan kerangka kapal dan/atu muatannya.
Pasal 19
Ayat (1)
Kerangka kapal yang berada di alur pelayaran wajib di lakukan salvage, sedangkan kerangka kapal
yang tidak berada di alur pelayaran apabila tidak merupakan bahaya bagi keselamatan berlayar tidak
wajib dilakukan salvage tetapi harus diutamakan oleh instansi yang berwenang dan bertanggung
jawab atas pelaksanaan fungsi keselamatan pelayaran.
Termasuk kegiatan salvage menyangkut juga kegiatan pengangkatan kerangka kapal dan/atau
muatannya yang tidak ditujukan untuk memelihara alur pelayaran, misalnya salvage untuk
pengangkatan benda-benda berharga.
Ayat (2)
Pekerjaan bawah air antara lain berupa pembangunan, pemasangan konstruksi dan/atau instalasi
yang dilakukan di bawah air.
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain izin usaha, persyaratan pelaksanaan kegiatan salvage,
persyaratan pekerjaan bawah air, dan persyaratan penyelaman.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pencabutan izin usaha pelayaran dilakukan sebagai upaya terakhir setelah melalui upaya pemberian
peringatan-peringatan secara patut kepada yang bersangkutan.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk menjamin kelancarn berbagai kegiatan dipelabuhan yang dilaksanakan berbagai pihak, maka
diperlukan koordinasi yang meliputi kegiatan pemerintah dan kegiatan pelayanan jasa.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud pelabuhan umum dalam ketentuan ini meliputi pelabuhan untuk melayani angkutan
laut, angkutan sungai dan danau dan angkutan penyeberangan.
Termasuk dalam pengetian ini adalah pelabuhan umum yang dipergunakan untuk membongkar dan
memuat komoditi sejenis, misalnya pelabuhan umum batu bara, atau yang dipergunakan untuk
melayai kapal sejenis misalnya pelabuhan untuk kapal pelayaran rakyat, pelabuhan marina, dan lain
sebagainya.
Pelabuhan perikanan sebagai prasarana pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dalam aspek keselamatan pelayaran
diberlakukan ketetuan Undang-undang ini.
Ayat (3)
Cukup jela
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku untuk setiap pelabuhan, baik pelabuhan umum maupun pelabuhan khusus.
Penggunaan suatu wilayah tertentu untuk pelabuhan harus dapat mewujudkan tatanan pelabuhan
nasional yang mampu menunjang angkutan di perairan. Untuk itu dalam menetapkan persyaratan
harus dipertimbangkan antara lain tata ruang, pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan,
keamanan dan keselamatan pelayaran.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini meliputi kegiatan
perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pengusahaan , perawatan, pengawasan, dan
pengendalian.
Yang dimaksud daerah lingkungan kerja pelabuhan adalah wilayah perairan dan daratan pada
pelabuhan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
Yang dimaksud daerah lingkungan kepentingan pelabuhan adalah perairan di sekeliling daerah
lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
Ayat (2)
Daerah lingkungan kerja yang diberikan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah untuk wilayah daratan. Sesuai ketentuan yang berlaku , pemberian suatu hak
atas tanah tergantung pada subyek dan rencana pemanfaatannya, antara lain jika tanah tersebut
akan digunakan untuk pelabuhan yang dikelola oleh Pemerintah atau diusahakan oleh badan
usaha milik negara yang seluruh modalnya dikuasai oleh Pemerintah dapat diberikan hak
pengelolaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud persyaratan teknis meliputi persyaratan yang berkaitan dengan konstruksi
dermaga, pengaruh kondisi hidrografi, topografi, kondisi tanah, penempatan sarana bantu naigasi,
alur dan kolam pelabuhan, serta tata letak peralatan dipelabuhan umum.
Ayat (2)
Persyaratan pengoperasian pelabuhan umum antara lain meliputi :
a. dilakukan oleh Pemerintah atau bekerja sama dengan badan usaha milik negara ;
b. untuk kepentingan umum ;
c. menjamin kelancaran arus barang dan penumpang ;
d. menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran ;
e. menjamin kelestarian lingkungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pengertian penyelenggaran pelabuhan umum oleh Pemerintah semata-mata berkaitan dengan
tanggung jawab Pemerintah untuk melindungi kepentingan umum serta terwujudnya suatu tatanan
pelabuhan nasional.
Ayat (2)
Keikutsertaan badan hukum Indonesia dalam bekerjasama dengan badan usaha milik negara dalam
penyelengaraan pelabuhan umum antara lain tehadap kegiatan jasa unit terminal peti kemas di
pelabuhan, lapangan penumpukan, penundaan, dan lain sebagainaya. Sedagkan kegiatan
peneydiaan jasa kolam pelabuhan dalam rangka keselamatan hanya dapat dilakukan oleh badan
usaha milik negara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Kegiatan penunjang pelabuhan adalah :
a. tidak termasuk dalam kegiatan pokok pelabuhan ;
b. merupakan kegiatan yang menunjang kelancaran operasional pelabuhan, dan apabila kegiatan
tersebut tidak ada, dalam keadaan tertentu akan mempengaruhi kelancaran operasional
pelabuhan ;
c. merupakan kegiatan yang dapat membantu kelancran operasioal pelabuhan tetapi jika
tidak ada, tidak akan menggangu kelancaran operasional pelabuhan.
Usaha kegiatan dimaksud meliputi antara lain penampungan limbah (rception facilities)
,perkantoran, pertokoan, dan penyediaan fasilitas umum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Suatu tempat tertentu di daratan yang berfungsi sebagai pelabuhan yang dimakud dalam
ketentuan ini hanya memiliki wilayah daratan dan tidak memiliki wilayah perairan sebagai
tempat untuk bertambat dan/atau berlabuh bagi kapal.
Terhadap tempat tersebut diberlakukan ketentuan-ketentuan atas huum yang berlaku di pelabuhan
antara lain mengenai tata laksana dan ketentuan umum tentang ekpor dn impor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini antara lain meliputi kegiatan di
bidang pertambangan, peranian, dan pariwisata.
Pelabuhan khusus merupkan pelabuhan yang penyelenggaraannya tidak untuk memberikan
pelayanan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan khusus merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara berurutan dan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, sehingga hasil pelaksanaan
pembangunan akan menentukan pemberian izi operasi bagi pelabuhan khusus yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dipandang perlu oleh Pemerintah untuk
memanfaatkan keberadaan pelabuhan khusus untuk melayani kepentingan umum, misalnya bencana
alam, tidak berfungsiya pelabuhan umum terdekat.
Pasal 31
Ayat (1)
Pengertian perdagangan luar negeri dalam ketentuan ini meliputi segala kegiatan lalu lintas barang,
jasa dan/atu penmpang.
Pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri meliputi pelabuhan umum dan pelabuhan
khusus yang dapat disinggahi kapal-kapal berbendera Indonesia dan/atau asing yang berlayar dari
atau ke luar negeri.
Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa kapal-kapal berbendera asing dimaksud tidak
melakukan angkutan antar pulau.
Ayat (2)
Kepentingan nasional lainnya meliputi antara lain pertahanan dan keamanan nasional
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 32
Dengan berdasarkan pada jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah,
penyelenggara pelabuhan menetapkan tarif dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
untuk kelangsungan dan pengembangan usaha pelabuhan dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan, dan kepentingan pengguna jasa pelabuhan.
Pasal 33
Ayat (1)
Apabila terjadi perselisihan , penyelesaian hukum terhadap tanggung jawab untuk menangani
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dilaksanakan melalui gugatan perdata sesuai
ketentuan dalam Hukum Acara Perdata.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan pula untuk memungkinkan pemilik dan/atau operator kapal agar
kegiatan operasi kapalnya tetap dapat berlangsung.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila terjadi perselisihan, penyelesaian hukum terhadap tuntutan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini dilaksanakan melalui gugatan perdata sesuai ketentuan dalam Hukm
Acara Perdata.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengadaan kapal adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun
kapal bangunan baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia.
Pembangunan kapal adalah pembutan kapal baru di dalam negeri maupun di luar negeri yang
langsung berbendera Indonesia.
Pengejaan kapal merupakan tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan, perbaikan, dan
perawatan kapal..
Perlengkapan kapal adalah bagian-bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat-alat
penolong,penemu dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika kapal, dan peta-peta serta
publikasi mautik, serta perlengkapan pengamatan meteorology untuk kapal dengan ukuran dan
daerah pelayaran tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kapal yang telah diperiksa dan diuji dan apabila memenuhi persyaratan keselamatan kapal
diberikan sertifikat sebagai tanda bukti. Untuk kapal-kapal ukuran tertentu dan karena sifat
pelayarannya tidak memerlukan sertifikat, tidak diberikan sertifikat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia dalam ketentuan ini adalah badan klasifikasi.
Ayat (5)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara pengadaan,
pengembangan, pengerjaan, pemeriksaan, dan pengujian kapal, bentuk dan jenis sertifikat
keselamatan kapal.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia dalam ketentuan ini adalah badan hukum
klasifikasi.
Ayat (3)
Cukp jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cuku jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cuku jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) dan ayat (2)
Kewenangan dan tanggung jawab syahbandar menurut Undang-undang ini terbatas pada ayat (1)
dan ayat (2) Pasal 40.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 41
Terdapat dua kemungkinan alasan penahanan atas kapal berdasarkan perintah pengadilan yaitu karena
:
a. kapal yang bersangkutan terkait dengan suatu perkara pidana ;
b. Kapal yang bersangkutan terkait dengan suatu perkara perdata.
Penahanan kapal karena suatu perkara pidana disebabkan adanya kecurigaan bahwa kapal tersebut
digunakan untuk meaksanakan suatu tidak pidana. Sedangkan penahan kapal karena perkara
perdata dilakukan sebagai sita jaminan sehubungan dengan adanya suatu gugatan perdata terhadap
pemilik dan/atau operator kapal yang bersangkutan .
Pejabat pemerintah yang berwenang melaksanakan penahanan tersebut berdasarkan perintah
tertulis dari pengadilan sehingga tuntutan ganti rugi dari pemilik atau operator kapal yang
mungkin timbul akibat penahanan kapal tersebut.
Pasal 42
Ayat (1)
Pemberian keringanan tersebut bersifat sementara dan diberikan atas pertimbangan khusus, antara
lain untuk percobaan berlayar, kepentingan umum yang mendesak atau untuk berlayar menuju
lokasi perbaikan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukp jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Penentuan persyaratan kelaikan petikemas yang meliputi pengujian., pemeriksaan , sertifikasi,
dan pemberian tanda lulus uji, dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, baik
nasional maupun internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Pengukuran dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk menentukan tonase kapal
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka penerbitan surat ukur kapal dan untuk
menentukan aturan-aturan yang harus ditetapkan bagi kapal tersebut, seperti penentuan status
hukum kapal tersebut sebagai barang bergerak atau barang tidak bergerak.
Ayat (2)
Pada dasarnya surat ukur hanya diterbitkan untuk pengukuran kapal dengan ukuran isi kotor
sekurang-kurangnya 20 M3 atau yang dinilai sama dengan ukuran ini, sedangkan pengukuran
kapal kurang dari 20 M3 dipergunakan untuk penerbitan surat-surat kapal atau atas permintaan
pemilik dapat diterbitkan surat ukur.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini secara khusus menegaskan bahwa sistem pendaftaran yang dianut di Indonesia adalah
sistem pendaftaran tertutup yang menetapkan bahwa hanya kapal yang dimiliki oleh warga
negara atau badan hukum Indonesia yang didirian menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia dapat didaftarkan di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan surat tanda pendaftaran kapal adalah grosse akte yang merupakan salinan
pertama dari asli (minute) akte.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain ketentuan mengenai pejabat pendaftar dan
pencatat balik nama kapal, tata cara pendaftaran, bentuk surat tanda pendaftaran, pembuatan tanda
pendaftaran, pemasangan tanda pendaftaran, penyampaian berita acara pemasangan tanda
pendaftaran.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai syarat dan tata cara pembebanan hipotek.
Sedangkan pelaksanaan pembebanan hipotek atas kapal dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Ayat (1)
Tanda kebangsaan kapal dalam ketentuan ini menentukan hukum nasional yang berlaku di atas
kapal di manapun kapal tersebut berada, yang diberikan sesuai dengan ukuran kapal.
Ayat (2)
Dalam peraturan pemerintah diatur antara lain mengenai tata cara penerbitan dan jenis surat tanda
kebangsaan
Pasal 51
Ayat (1)
Kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan adalah kapal yang diinginkan oleh
instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas pemerintahan
lainnya misalnya penelitian di laut, pemasangan sarana bantu navigasi pelayaran, dan lain
sebagainya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan identitas kapal adalah nama kapal dan pelabuhan tempat kapal didaftar
yang dicantumkan pada badan kapal, berbendera kebangsaan uang dikibarkan pada buritan kapal
sesuai dengan surat tanda kebangsaan yang diberikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh nakhoda dalam hal ini bersifat sementara dan terbatas
dalam arti selama kapal berlayar dan terhadap tindakan-tindakan yang akan mengganggu
keselamatan, keamanan, dan ketertiban di atas kapal.
Kewenangan penegakan hukum tersebut antara lain berupa tindakan memasukkan ke dalam sel dan
lain-lain.
Yang dimaksud dengan pelayar adalah semua orang yang ada di atas kapal kecuali, nakhoda.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pelayar adalah semua orang yang ada di atas kapal, kecuali pemimpin
kapal.
Ayat (3)
Catatan atau keterangan tentang kelahiran dan/atau kematian yang dibuat oleh nakhoda bersifat
sementara yang selanjutnya akan merupakan dokumen untuk pembuatan akte yang asli sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jlas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan yang sangat memaksa dalam ketentuan ini adalah situasi darurat
terancamnya jiwa dan keselamatan nakhod atau pemimpin kapal tanpa ada kemungkinan upaya
lain untuk menyelamatkan. Dalam keadaan kecelakaan kapal, nakhoda atau pemimpin kapal hanya
dapat meninggalkan kapal setelah melaksanakan seluruh kewajibannya dan merupakan orang
terakhir yang meninggalkan kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 58
Tugas nakhoda adalah membawa kapal dari tempat tolak ke tempat tujuan dengan aman dan selamat.
Dalam hal dijumpai keadaan yang mungkin membahayakan keselamatan berlayar, nakhoda dapat
menyimpang dari rute dan/atau garis-garis haluan (track) yang telah ditetapkan, walaupun tindakan
tersebut akan menambah biaya operasional dan lama perjalanan.
Yang dimaksud dengan tidakan lainnya yang diperlukan adalah tindakan penyelamatan bagi kapal
maupun jiwa manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan mualim I adalah perwira kapal yang bertugas di bidang navigasi kapal
dengan pangkat paling tinggi setelah nakhoda.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan nakhoda berhalangan sementara adalah keadaan nakhoda yang secara fisik
untuk sementara tidak mampu melaksnakan tugasnya selama berlayar.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan dewan kapal adalah suatu dewan yang dibentuk di atas kapal yang terdiri
dari para perwira kapal, dengan tugas memberikan nasehat kepada nakhoda atau pengganti
nakhoda sementara.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Buku harian kapal adalah buku harian yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan dan hal-hal lain yang dipandang perlu oleh nakhoda atau
pemimpin kapal.
Buku harian terdiri dari sebuah buku atau lebih sesuai dengan ukuran kapal, antara lain buku
harian dek, buku harian mesin, dan buku harian radio.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai pejabat pemerintah yang berwenang,
jenis serta ukuran kapal yang harus memiliki dan menyelenggarakan buku harian, jenis , ukuran,
dan bentuk buku harian, hal-hal yang dicatat dalam buku harian serta cara mencatatnya.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan disijil adalah dimasukkan ke dalam daftar awak kapal yang disebut buku
sijil.
Buku sijil merupakan buku yang berisi daftar awak kapal yang bekerja di atas kapal sesuai dengan
jabatannya yang dinyatakan oleh pegawai pencaftaran awak kapal dan setelah memenuhi
persyaratan tertentu.
Yang dimaksud dengan memiliki kemampuan adalah meiliki sertifikat pelaut serta sertifikat
pengukuhan (kewenangan untuk menduduki jabatan tertentu di atas kapal yang diberikan oleh
Pemerintah ).
Yang dimaksud dengan memiliki dokumen pelaut adalah memiliki buku pelaut dan perjanjian
kerja laut serta sertifikat keterampilan pelaut untuk anak buah kapal.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai sijil, persyaratan jabatan di atas kapal,
pengukuhan, dan dokumen pelaut.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peaturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan bidang
ketenagakerjaan dan perjanjian kerja laut serta perturan lainnya.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai pejabat pemerintah yang berwenang.
Pasal 63
Ayat (1)
Kewenangan nakhoda untuk mengenakan tindakan disiplin adalah untuk mengambil tindakan
seketika yang sangat diperlukan demi tegaknya disiplin dan ketertiban di atas kapal.
Yang dimaksud dengan seseorang dalam butir f, adalah setiap orang yang berada di kapal
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah ketentuan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan tidak menutup kemungkinan terhadap ketentuan di luar
Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang mengatur mengenai masalah ini.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Pembuangan limbah atau bahan lain yang tidak memenuh persyaratan dapat terjadi antara lain,
karena :
a. melakukan pembuangan (dumping) tidak sesuai dengan perauran yang berlaku ;
b. melakukan pembuangan tanpa menggunakan peralatan pencegahan pencemaran
c. melakukan pembuangan muatan dengan sengaja ;
d. melakukan pembuangan dengan menggunakan peralatan pencegahan pencemaran yang tidak
berfungi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Kewajiban untuk melengkapi peralatan pencegahan pencemaran di kapal disesuaikan dengan jenis
dan ukuran kapal serta daerah operasional kapal yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain sanksi administrative terhadap nakhoda atau
pemimpin kapal dan/atau anak buah kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wajib menanggulangi oleh nakhoda ataunpemimpin kapal adalah
melakukan penanggulangan dengan peralatan penanggulangan yang dimiliki oleh kapal tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan anggung jawab pemilik atau opertor kapal adalah tanggung jawab terhadap
aspek perdata seperti penggantian kerugian atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya
pencemaran baik kerugian langsung maupun tidak langsung.
Mengenai pembebanan tanggung jawab tergantung pada perjanjian yang diadakan antara pemilik
dengan operator kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Usaha tersebut harus sungguh-sunguh mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha tertentu adalah usaha diluar usaha angkutan di perairan seperti
usaha di bidang industri, pertambangan, perikanan, serta kegiatan atau kepentingan khusus seperti
penelitian, kegiatan sosial dan sebagainya. Kegiatan angkutan yang dilakukan tersebut merupakan
bagian usaha dan hanya terbatas untuk menunjang kegiatan pokok dan tidak melayani kepentingan
pihak ketiga.
Ayat (2)
Kegiatan angkutan yang dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan bagian dari tatanan angkutan di perairan
secara nasional.
Berdasarkan hal tersebut maka penyelenggaraannya perlu diatur dan dikendalikan sehingga tetap
merupakan satu kesatuan di dalam tatanan angkutan di perairan secara nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Usaha menunjang angkutan adalah usaha yang bersifat menunjang kelancaran proses perpindahan
barang dari pengirim ke penerima barang antara lain ekspedisi muatan kapal laut, bongkar muat,
angkutan Bandar dan lain sebagainya sesuai perkembangan teknologi.
Ayat (2)
Cukp jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 72
Dalam penetapan jenis dan struktur tarif usaha penunjang bagi usaha atau kegiatan angkutan di
perairan, Pemerintah mempertimbangkan kelancaran lalu lintas angkutan dan perkembangan serta
kepentingan dunia usaha dan kesejahteraan tenaga kerja.
Yang dimaksud dengan jenis tarif adalah jenis tarif yang diberlakukan terhadap barang antara lain
untuk barang-barang umum (general cargo), peti kemas, dan barang curah cair yang memerlukan
penanganan dan peralatan khusus misalnya dengan konveyor, pipa.
Yang dimaksud dengan struktur tarif adalah komponen tarif yang diperhitungkan sebagai pedoman
besaran tarif antara lain asuransi, produktiiivitas peralatan. Aministrasi, kesejahteraan tenaga kerja, dan
upah tenaga kerja.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dalam keadaan tertentu adalah belum terpenuhinya kebutuhan ruang kapal bagi
angkutan laut dalam negeri dan jika dalam kurun waktu tertentu ruang kapal sudah terpenuhi
maka angkutan laut dalam negeri dilaksanakan oleh kapal berbendera Indonesia.
Untuk mengatasi keadaan demikan maka Pemerintah dapat memberikan kelonggaran syarat bendera
(dispensasi) penggunaan kapal asing yang dioperasikan secara nyata oleh badan hukum Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) Pasal 70 ayat (2), dengan memperhatikan kepentingan
kapal berbendera Indonesia.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 75
Dalam penetapan struktur dan golongan tarif penumpang angkutan laut dalam negeri, Pemerintah
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan laut dalam negeri.
Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas,
termasuk tarif untuk angkutan laut perintis.
Dengan berpedoman kepada struktur dan golongan tarif tersebut penyelenggara angkutan laut dalam
negeri menetapkan tarif penumpang yang berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha
angkutan laut dalam negeri dalam rangka meningkatkan mutu pelayaran.
Pasal 76
Ayat (1)
Sebagai konsekuensi dalam hubungan internasional, maka penyelenggaraan usaha angkutan laut dari dan
ke luar negeri dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau perusahaan angkutan laut luar negeri (asing)
baik melalui waah kerja sama maupun secara sendiri-sendiri.
Ayat (2)
Meskipun angkutan laut dari dan ke luar negeri dapat dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut
luar negeri (asing) , namun perlu diupayakan agar perusahaan angkutan laut nasional yaitu badan
hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh pangsa muatan yang wajar
dari angkutan tersebut.
Yang dimaksud dengan pangsa muatan yang wajar dalam ketentuan ini tidak selalu dalam arti
memperoleh bagian pangsa sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perudang-undangan yang
berlaku misalnya dalam perjanjian bilateral, konvensi internasional yang diartifikasi oleh
Indonesia dan peraturan lainnya.
Khusus untuk barang-barang milik Pemerintah perlu diupayakan pengangkutannya dilaksanakan oleh
perusahaan pelayaran nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Pelayaran rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional untuk menyelenggarakan usaha
angkutan di perairan dengan mempergunakan perahu layar dan/atau perahu layar bermotor dengan
ukuran tertentu.
Sifat tradisional tersebut, mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang tidak hanya terdapat pada
cara pengelolaan usaha serta pengelolanya misalnya mengenai hubungan kerja antar pemilik kapal
dengan awak kapal, tetapi juga pada jenis dan bentuk kapal yang digunakan. Hal-hal tersebut perlu
dilestarikan dan dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Usaha rakyat dalam ketentuan ini adalah usaha yang penyelenggaraannya dilakukan oleh warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan mendorong usaha-usaha yang bersifat
koperatif.
Penyelenggaraan pelayaran rakyat tersebut dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera
Indonesia .
Yang dimaksud dengan karakteristik tersendiri yaitu antara lain sebagai berikut :
a. ukuran kapal yang terbatas ;
b. tenaga penggeraknya angin dengan menggunakan layar atau mesin dengan tenaga yang
terbatas ;
c. pengawakan yang mempunyai kualifikasi berbeda dengan kualifikasi yang ditetapkan bagi
kapal-kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ;
d. lingkup operasinya dapat menjangkau daerh-daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas
pelabuhan dan kedalaman air yang rendah serta negara-negara yang berbatasan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya memberikan pelindungan terhadap
kelangsungan usaha pelayaran rakyat, tanpa mengurangi pembinaan terhadap unsur-unsur
angkutan lainnya di perairan.
Ayat (2)
Pengembangan pelayaran rakyat dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk bimbingan,
pelatihan, dan pengaturan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 82
Dalam menetapkan struktur dan golongan tarif angkutan penumpang dan/atau barang bagi angkutan
sungai dan danau serta angkutan penumpang dan/atau kendaraan bagi angkutan penyeberangan,
Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan penelenggara angkutan sungai
dan danau, dan angkutan penyeberangan.
Pemerintah menetapkan tarif yang beorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas,
termasuk tarif untuk angkutan penyeberangan perintis.
Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut penyelenggara angkutan tarif yang
berorientasi kepada kelangsungandan pengembangan usaha angkutan dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan.
Pasal 83
Ayat (1)
Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit dimaksudkan agar
mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan dengan baik.
Yang dimaksud pelayanan khusus dalam ketentuan ini dapat berupa penyediaan jalan khusus di
pelabuhan dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang
disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang
pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini misalnya penumpang yang menggunakan kursi
roda karena lumpuh, cacat kak, tuna netra dan sebagainaya.
Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah oang yang menderita
penyakit menular sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup
Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan daerah terpencil dan belum berkembang yaitu daerah yang masih sulit
dijangkau oleh sarana transportasi.
Penyelenggaraan angkutan ke dan dari daerah terpencil biasanya secara komersial kurang
menguntungkan sehingga penyelenggara angkutan pada umumnya tidak tertarik untuk melayani
rute-rute demikian.
Oleh sebab itu guna mengembangkan daerah daerah dan menembus isolasi, angkutan ke dan dari
daerah-daerah demikian diselenggarakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan penyelenggara
angkutan di perairan baik swasta maupun koperasi yang dapat diberi kemudahan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak membedakan perlakuan tehadap
pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian pengangkutan
yang disepakati.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Huruf a
Tanggung jawab perusahaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah
kematian atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam
pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakan pada saat naik ke atau turun dari
kapal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk dalam pengertian
lukanya penumpang adalah cacat fisik dan/atau cacat mental.
Huruf b
Tanggung jawab tersebut sesuai dengan perjanjian pengangutan dan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Huruf c
Tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan pelayanan alam batas-batas
kelayakan sesuai kemampuan perusahaan angkutan di perairan kepada penumpang selama
menunggu keberangkatan dalam hal terjadi kelambatan pemberangkatan karena kelalaian
perusahaan angkutan tersebut.
Ketentuan ini perlu mempetimbangkan agar jangan sampai menghambat pengembanagn
perusahan angkutan di perairan yang masih tergolong usaha ekonomi lemah.
Huruf d
Yang dimaksud pihak ketiga adalah orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan
pengoperasian kapal tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat
pengoperasian kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Barang khusus dan barang berbahaya adalah barang-barang yang karena sifatnya dapat
mengancam keselamatan manusia, harta benda, dan lingkungan, sesuai yang tercantum dalam
peraturan-peraturan yang berlaku antara lain :
a. Safety of Life at Sea (SOLAS) 74 ;
b. Code of Safe practise for buk cargoes ;
d. Gran regulator
e. Code of Safe practice for ship carrying timber deck cargoes.
Yang dimaksud dengan barang khusus adalah jenis barang yang karena sifatnya dan ukurannya
memerlukan penanganan khusus, misalnya kayu logs, barang curah, batangan rel, ternak, ikan
beku, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan barang khusus adalah jenis barang yang karena sifatnya dapat dikelompokkan
sebagai barang berbahaya, misalnya barang yang mudah terbakar (BBM), bahan kimia, radio aktif dan
sebagainya.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan dibuktikan lain dalam ketentuan ini adalah nakhoda atau pemimpin kapal
berdasarkan pembuktian telah melakukan upaya dan melaksanakan kewajiban berdasarkan Undangundang
ini.
Pasal 89
Ayat (1)
Kecelakaan di kapal adalah suatu kejadian di kapal yang bersangkutan yang dapat mengancam
keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia.
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk
menindaklanjuti proses penanggulangan kecelakaan dan pelaporan selanjutnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bahaya bagi keselamatan kapal adalah keadaan yang dapat membahayakan
kapal yang sedang berlayar seperti antara lain cuaca buruk, kerangka kapal, sarana bantu navigasi
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga dalam ayat ini adalah lembaga pemerintah, bukan lembaga
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman , Lembaga tersebut berwenang melakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mengambil keputusan atas kecelakaan kapal :
a. kapal tenggelam ;
b. kapal terbakar ;
c. kapal tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat ;
d. kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda ;
e. kapal kandas dan rusak berat.
Lembaga dimaksud bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi berupa hukuman administrative
yang berkaitan dengan profesi kepelautan, yang pada saat Undang-undang ini ditetapkan disebut
Mahkamah Pelayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 94
Ayat (1)
Pencarian dan pertolongan (search and rescue) yang dilakukan Pemerintah yaitu segala daya dan
upaya yang dapat diusahakan untuk menyelematkan jiwa manusia di perairan Indonesia.
Ayat (2)
Kewajiban setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara
dimaksudkan untuk membantu sebatas kemampuannya sebagai pensi search an rescue (SAR) guna
keberhasilan operasi pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah di
perairan Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1),
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian pelaut Indnesia adalah tenaga-tenaga yang bekerja dalam bidang
pelayaran.
Ayat (2)
Cukup jeas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Penyidikan dan penyelesaian hukum selanjutnya atas penyidikan yang dilakukan oleh Pegawai
Negeri Sipil tertentu dan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 19981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas

Previous
« Prev Post

Related Posts

October 23, 2017

0 komentar:

Post a Comment