UU RI NO 6 TAHUN 1996

Posted by Unknown on Tuesday, October 31, 2017


UNDANG UNDANG NO. 6 TAHUN 1996

TENTANG  :  PERAIRAN INDONESIA

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 6 TAHUN 1996 (6/1996)
Tanggal : 8 AGUSTUS 1996 (JAKARTA)
Sumber : LN 1996/73; TLN 3647

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa
Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi
tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan
Negara Republik Indonesia;
b. bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi
hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas
dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut);
c. bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara
kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada
huruf b;
d. bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan
hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan,
yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia
dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan
Nusantara, maka perlu mencabut Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan Undangundang
yang baru;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERAIRAN INDONESIA.
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu
atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
2. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah di-kelilingi
oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air
pasang.
3. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan
perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah
yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulaupulau,
perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu
kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan keamanan, dan politik yang
hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
4. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan
kepulauan dan perairan pedalamannya.
5. Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat
tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada
surut yang terendah.
6. Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah
yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air
surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.
7. Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding
sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan
tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengkungan pantai
semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk
kecuali apabila luasnya adalah seluas atau lebih luas daripada luas
setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut
lekukan tersebut.
8. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau
pesawat udara asing di atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan
pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk
transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak
terhalang melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial
yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia lainnya.
9. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea
Tahun 1982, sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut).
Pasal 2
(1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan.
(2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-
pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara
Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan
Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik
Indonesia.
BAB II
WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
Pasal 3
(1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman.
(2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil
laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak
pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai.
(4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak
pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia,
termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada
sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7.
Pasal 4
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut
teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di
atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar
laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Pasal 5
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis
pangkal lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis
pang-kal biasa atau garis pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada
garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari
kepulauan Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3%
(tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang
mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan
tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua
puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya
telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara
permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut
tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang
tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
garis air rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai
yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau
yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Pasal 6
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dicantumkan dalam peta dengan skala atau
skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat
pula dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas
memerinci datum geodetik.
(2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik
koordinat geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta
dengan skala atau skala-skala yang memadai atau daftar titik-titik
koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta
mendepositkan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut
pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 7
(1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan
pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup
pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
(2) Perairan pedalaman terdiri atas :
a. laut pedalaman; dan
b. perairan darat.
(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah
bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi
laut dari garis air rendah.
(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah
segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah,
kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang
terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Pasal 8
Batas luar laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal yang ditarik
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia
menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain
yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan
kepulauannya.
(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) termasuk sifat, ruang lingkup, dan
daerah berlakunya hak dan kegiatan tersebut, atas permintaan dari
salah satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan persetujuan
bilateral.
(3) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh dialihkan atau
dibagi kepada negara ketiga atau warga negaranya.
(4) Kabel telekomunikasi bawah laut yang telah dipasang oleh negara atau
badan hukum asing yang melintasi perairan Indonesia tanpa
memasuki daratan tetap dihormati.
(5) Pemerintah Indonesia mengizinkan pemeliharaan dan penggantian
kabel-kabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) setelah diterimanya
pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai letak dan
maksud untuk memperbaiki dan mengganti kabel-kabel tersebut.
Pasal 10
(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan
dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis
batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat
pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing
negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang
menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua
negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
BAB III
HAK LINTAS BAGI KAPAL-KAPAL ASING
Bagian Pertama
Hak Lintas Damai
Pasal 11
(1) Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia.
(2) Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial dan perairan ke-pulauan
Indonesia untuk keperluan:
a. melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman
atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas
pela-buhan di luar perairan pedalaman; atau
b. berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
(3) Lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terusmenerus,
langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau
buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang
normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami
kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat
udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan bendera
kebangsaan.
Pasal 16
Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan
lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila me-laksanakan
hak lintas damai harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan
pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian inter-nasional.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dagang, kapal
perang dan kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan niaga
dan bukan niaga dalam melaksanakan hak lintas damai melalui perairan
Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Pasal 18
(1) Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan
adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya untuk
melakukan transit yang terus-menerus, langsung, dan secepat
mungkin serta tidak terhalang.
(2) Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara
pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut
kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian
dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian
laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan
pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut
kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Pemerintah Indonesia menentukan alur laut, termasuk rute penerbangan
di atasnya, yang cocok digunakan untuk pelaksanaan hak
lintas alur laut kepulauan oleh kapal dan pesawat udara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan juga dapat menetapkan
skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui alur laut.
(2) Alur laut dan rute penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersam-bungan
mulai dari tempat masuk rute hingga tempat ke luar melalui perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berhimpitan dengannya.
(3) Apabila diperlukan, setelah diadakan pengumuman sebagaimana
mestinya, alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah
ditetapkan sebelumnya dapat diganti dengan alur laut dan skema
pemi-sah lalu lintas lainnya.
(4) Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah lalu
lintas, Pemerintah Indonesia harus mengajukan usul kepada organisasi
internasional yang berwenang untuk mencapai kesepa-katan bersama.
(5) Pemerintah menentukan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah
lalu lintas dan menetapkannya pada peta-peta yang diumumkan.
(6) Kapal asing yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi
alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah
ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai alur laut dan skema pemisah lalu
lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peratur-an
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Hak Lintas Transit
Pasal 20
(1) Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan
pelayaran dan penerbangan semata- mata untuk tujuan transit yang
terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial
Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia lainnya.
(2) Hak lintas transit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi,
hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 21
(1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi,
Pemerintah Indonesia dapat menetapkan alur laut dan skema pemisah
lalu lintas untuk pelayaran di lintas transit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema
pemisah lalu lintas transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Hak Akses dan Komunikasi
Pasal 22
(1) Apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia terletak di
antara dua bagian wilayah suatu negara tetangga yang langsung
berdampingan, Indonesia menghormati hak-hak yang ada dan kepentingan-
kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional
oleh negara yang bersangkutan di perairan tersebut melalui
suatu perjanjian bilateral.
(2) Pemerintah Indonesia menghormati pemasangan kabel laut dan
mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel yang sudah ada
dengan pemberitahuan terlebih dahulu sebagaimana mestinya.
 BAB IV
PEMANFAATAN, PENGELOLAAN, PERLINDUNGAN,
DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN PERAIRAN INDONESIA
Pasal 23
(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkung-an
perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan
nasional yang berlaku dan hukum internasional.
(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian ling-kungan
perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan,
perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan
koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB V
PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM
DI PERAIRAN INDONESIA
Pasal 24
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara
di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelang-garannya,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional
lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang ber-laku.
(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal
asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
(3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu
badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
 BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Selama Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) belum ditetapkan, maka pada Undang-undang ini dilampirkan
peta ilustratif dengan skala atau skala-skala yang menggambarkan
wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat
geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang
ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan berlakunya Undang-udang ini, Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA
I. UMUM
Berdasarkan fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, secara geografis adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu, pada
tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan
suatu pernyataan (deklarasi) menge-nai Wilayah Perairan Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut :
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan
Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman
atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing
dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu
kedaulatan dan kese-lamatan Negara Indonesia.
Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari
garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau
Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan
Undang-undang".
Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, mengandung makna bahwa
Negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan
air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai "Negara Kepulauan".
Negara kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut mengakibatkan
suatu perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik
Indonesia karena laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau,
tetapi pemersatu yang menjadikan kese-luruhannya suatu kesatuan yang
utuh.
Deklarasi yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia
mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kedaulatan Negara Republik
Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena perairan
Indonesia di sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan
internasional yang bebas dimanfaatkan oleh siapa saja.
Selain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan
Pemerintah ini didasarkan pula bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Kebijaksanaan tersebut juga ingin
memberikan bentuk nyata kepada kesatuan dalam keanekaragaman
(Bhinneka Tunggal Ika) yang menjadi semboyan bangsa Indonesia.
Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang Nomor 4
Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dilandasi oleh Wawasan
Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai wawasan
dalam mencapai pembangunan nasional yang mencakup perwujudan
nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan-keamanan.
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan
diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya
telah menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal
(semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim
hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi
tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor
17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan
nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan
Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan
sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi
bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional
di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai
dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.
Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia
tidak ber-maksud mengurangi hak- hak dunia pelayaran yang sah dan
tercapai suatu keseim-bangan antara keinginan Indonesia untuk
mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan dunia
pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini akhirnya
diterima dunia internasional.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan
Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia
bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian
diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum
negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut Tahun 1982.
Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam
Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi
negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut
adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis
pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal
kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam
wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada
di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk
mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai
saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai
kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional
dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan
dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional.
Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan
ekonomi, juga perlindungan lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan
pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan di perairan
Indonesia, dirasakan semakin mendesak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang- undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan
undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam
BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun
1982.
 II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Negara
Republik Indonesia menganut asas negara kepulauan sebagaimana
dimaksud dalam Deklarasi tanggal 13 Desember 1957, dan merupakan
penerapan dari Pasal 46 huruf a Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sebagai negara kepulauan, untuk menentukan garis pangkal
kepulauan Indonesia pada prinsipnya dipergunakan garis pangkal lurus
kepulauan.
Ayat (2)
Tidak dapat dipergunakannya garis pangkal lurus kepulauan
disebabkan kondisi geografis atau keadaan pantai dan pulau
sedemikian rupa, maka di-pergunakan garis pangkal biasa atau garis
pangkal lurus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dapat tidaknya garis pangkal lurus kepulauan ditarik dari dan ke titik
ter-luar pada garis air rendah dari suatu elevasi surut tergantung dari
dua syarat, yaitu:
a. bahwa elevasi surut tersebut terletak pada suatu jarak dari
suatu pulau terdekat tidak lebih dari 12 (dua belas) mil laut;
atau
b. pada elevasi surut tersebut terdapat bangunan tetap, misalnya
mercu suar.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 13 dan Pasal 47 ayat (4)
Konvensi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "peta dengan skala atau skala-skala yang
memadai" adalah peta laut (hidrografi) dengan skala besar yang dipilih
yang memadai penggunaannya bagi penyelenggaraan penegakan
kedaulatan dan hukum.
- Yang dimaksud dengan "titik-titik koordinat geografis" adalah titik-titik
yang ditetapkan dengan lintang dan bujur geografis.
- Yang dimaksud dengan "datum geodetik" adalah referensi matematik
yang dipergunakan sebagai dasar pengukuran titik-titik pangkal dari
garis-garis pangkal wilayah negara kepulauan, yang ditetapkan oleh
Pemerintah Indonesia.
Ayat (2)
Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ayat ini, merupakan peta dengan skala besar yang
dibuat oleh lembaga Pemerintah yang berwenang di bidang pemetaan
hidro-oseanografi. Pembuatan peta di-lakukan secara berlanjut sesuai
dengan perubahan, baik perubahan kondisi geografis yang disebabkan
oleh peristiwa alam maupun perubahan berdasar-kan Konvensi,
perjanjian, atau persetujuan dengan negara tetangga.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "kuala" adalah suatu perairan yang berada di
mulut sungai, yang untuk kepentingan tertentu tunduk pada rezim tertentu
yang biasanya dipergunakan untuk wilayah kehidupan ikan.
- Yang dimaksud dengan "anak laut" adalah bagian dari laut yang
terletak dalam suatu lekukan yang jelas yang mengandung perairan
yang tertutup dan yang secara historis merupakan bagian dari wilayah
Indonesia.
Ayat (2)
Dalam keadaan tertentu perairan pedalaman dapat terdiri dari laut
pedalaman dan perairan darat. Hal ini terjadi apabila ditarik garis
penutup yang perairannya tidak berjatuhan sama dengan garis air
rendah. Misalnya di teluk yang perairannya cukup luas sehingga ada
bagian laut terletak pada sisi darat garis penutup. Khusus untuk mulut
sungai agak sukar untuk memisahkan bagian air yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah dari bagian air yang terletak pada garis
lurus yang menutup mulut sungai, sehingga seluruh perairan yang
terletak di sisi darat dari garis penutup harus dianggap sebagai
perairan darat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Meskipun Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di perairan
kepulauan-nya, tetapi Indonesia mempunyai kewajiban untuk
menghormati perjanjian-perjanjian atau persetujuan-persetujuan yang
dibuat dengan negara- negara lain tentang penggunaan secara sah
bagian-bagian dari perairan kepulau-annya untuk pelaksanaan hak
perikanan tradisional, hak akses dan komu-nikasi negara tetangga
yang langsung berdampingan, pemasangan, pemeli-haraan, dan
penggantian kabel-kabel di dasar laut oleh negara-negara lain.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2)
Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pemberitahuan sebagaimana mestinya"
adalah pemberitahuan resmi secara tertulis yang dilakukan oleh
pemilik kabel melalui saluran diplomatik kepada Pemerintah Indonesia
disertai penjelasan antara lain mengenai letak, perkiraan waktu
penyelesaian, peralatan yang digunakan, jenis perbaikan yang
dilakukan, dan maksud perbaikan atau penggantian kabel-kabel,
sebelum dilakukan kegiatan tersebut.
Pasal 10
Di laut teritorial tertentu, Indonesia tidak dapat menetapkan laut
teritorialnya secara penuh sampai dengan jarak 12 (dua belas) mil laut dari
garis pangkal lurus kepulauan karena laut teritorialnya tumpang tindih
dengan negara- negara tetangga yang letak pantai-pantainya berhadapan
atau berdampingan. Untuk me-netapkan garis batas laut teritorial demikian
maka akan ditarik garis tengah yang diukur sama jauh dari titik-titik
pangkal pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing
diukur.
Apabila terdapat hal-hal khusus seperti adanya hak-hak historis atau adanya
kondisi geografis khusus seperti bentuk pantai atau adanya pulau, maka
garis batas laut teritorial tersebut akan ditetapkan melalui perundingan untuk
mencapai suatu kesepakatan.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menikmati hak lintas damai" adalah hak yang
diperuntukkan bagi setiap kapal asing untuk melaksanakan pelayaran
pada lintas damai sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lain-nya, dan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
- Yang dimaksud dengan "lintas" adalah semua pelayaran dari :
a. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia melalui laut
teritorial atau perairan kepulauan Indonesia menuju ke laut
lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa memasuki
perairan pedalaman; atau
b. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ke atau dari
perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah
laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 18 ayat (1) Konvensi.
- Yang dimaksud dengan "navigasi" adalah proses mengarahkan gerak
kapal dari satu titik ke titik lain dengan lancar dan dapat menghindari
bahaya dan atau rintangan pelayaran agar dapat menyelesaikan perjalanan
dengan selamat dan sesuai dengan jadwal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang dilarang oleh Konvensi" adalah
kegiatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu:
a. setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuh-an wilayah atau kemerdekaan politik negara
pantai,atau dengan cara lain apapun yang merupakan
pelanggaran asas hukum internasional sebagai-mana tercantum
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b. setiap latihan atau praktek senjata apapun;
c setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan
negara pantai;
d. setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan atau keamanan negara pantai;
e. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap pesawat
udara;
f. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap peralatan dan
perlengkapan militer;
g. bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang
secara berten-tangan dengan peraturan perundang-undangan
bea cukai,fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai;
h. setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang
bertentangan dengan Konvensi;
i. setiap kegiatan perikanan;
j. kegiatan riset atau survei;
k. setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem
komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara
pantai; atau
l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung
dengan lintas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Penegakan kedaulatan dan perlindungan keselamatan negara di laut
erat hubungannya dengan pertahanan dan keamanan negara. Oleh
karena itu, kalau perlu, untuk menjaga pertahanan dan keamanan
negara, Pemerintah Indonesia berwenang untuk menutup sementara
waktu bagian-bagian ter-tentu dari perairan Indonesia bagi pelayaran
kapal-kapal asing.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi.
Ayat (2)
Penangguhan demikian harus dilakukan dengan suatu pengumuman
yang wajar, misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut
(notice to mariners).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Agar pengawasan terhadap kapal-kapal asing yang melaksanakan hak lintas
damai di perairan Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik, serta untuk
menjamin keselamatan pelayaran, Pemerintah Indonesia menetapkan alur
laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan
kepulauannya. Lintas damai melalui alur-alur yang ditetapkan khususnya
diperlukan bagi lintas kapal tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang
mengangkut muatan yang ber-bahaya atau beracun, termasuk limbah radio
aktif.
Alur lintas damai demikian dapat juga ditetapkan untuk kepentingan perlindungan
perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian lingkungan
laut.
Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah lalu lintas tersebut
dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang
berwenang terutama dalam masalah teknis keselamatan pelayaran.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 22 Konvensi.
Pasal 15
Kapal selam yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan untuk berlayar di
permukaan air. Apabila kapal selam asing tersebut tidak memenuhi
ketentuan ini maka lintas yang dilakukannya dianggap tidak damai, dan
kapal tersebut diperingatkan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 20 Konvensi.
Pasal 16
Setiap kapal asing bertenaga nuklir dan kapal asing yang mengangkut bahan
nuklir atau bahan lain yang sifatnya berbahaya atau beracun, harus
mematuhi aturan-aturan serta standar internasional yang berlaku.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 23 Konvensi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Untuk menegakkan kedaulatan, keselamatan perairan dan ruang
udara di atasnya, Pemerintah Indonesia menentukan alur-alur laut
kepulauan untuk digunakan oleh kapal asing, dan ruang udara di
atasnya untuk digunakan sebagai rute penerbangan oleh pesawat
udara asing. Penetapan alur-alur laut dan rute penerbangan ini
dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilaku-kan lintas yang
langsung dan terus-menerus, serta dengan menempuh jarak yang
terdekat. Di samping itu, untuk menjamin keselamatan pelayaran,
Pemerintah Indonesia dapat juga menetapkan skema pemisah lalu
lintas di alur-alur laut yang dianggap rawan kecelakaan.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (1) Konvensi.
Ayat (2)
Berlainan dengan alur laut untuk lintas damai, alur laut kepulauan dan
rute penerbangan di atasnya tidak merupakan suatu alur atau koridor
yang secara fisik ada secara nyata melainkan merupakan suatu rute
lintas yang hanya ada apabila sedang digunakan. Alur ini ditentukan
dengan menetapkan titik-titik sumbu atau poros untuk menentukan
lebar alur laut kepulauan yang dapat digunakan. Ketentuan ini
merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (5) Konvensi.
Ayat (3)
Untuk menegakkan kedaulatan dan keamanan negara serta dengan
memperhatikan keselamatan pelayaran, apabila diperlukan,
Pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengganti alur laut dan
skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan. Penggantian alur-alur
laut dan skema pemisah lalu lintas ini harus diumumkan secara wajar,
misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut (notice to
mariners).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (7) Konvensi.
Ayat (4)
Di laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia mempunyai
kedaulatan penuh. Oleh karena itu pengajuan usul untuk menentukan
atau mengganti alur laut atau skema pemisah dimaksudkan sematamata
untuk meminta pertimbangan dari segi keselamatan pelayaran.
Organisasi internasional yang dimaksud adalah International Maritime
Organization (IMO).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (9) Konvensi.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Kecuali dengan izin Pemerintah Indonesia, kapal dan pesawat udara
asing yang berlayar atau terbang di luar alur-alur laut kepulauan yang
telah di-tetapkan dianggap tidak melaksanakan hak lintas alur
kepulauan. Apabila kapal tersebut berlayar juga di luar alur-alur laut
yang telah ditetapkan untuk lintas damai, dianggap melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan ini.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak lintas transit dalam Undang-undang ini adalah hak lintas transit di
Selat Malaka dan di Selat Singapura.
Yang dimaksud dengan "ketentuan Konvensi" adalah hak lintas transit
sebagaimana ditentukan antara lain dalam Pasal 39 Konvensi yaitu:
a. lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;
b. menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik
negara Indonesia atau dengan cara apapun yang melanggar asas-asas
Hukum Internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa;
c. menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terusmenerus,
langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali
diperlukan karena "force majeure" atau karena gangguan navigasi;
dan
d. memenuhi ketentuan internasional tentang :
1) keselamatan pelayaran di laut;
2) pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang
berasal dari kapal;
3) keselamatan penerbangan sesuai peraturan udara yang
ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(International Civil Aviation Organization); dan
4) memonitor frekuensi radio yang ditunjuk.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak akses dan komunikasi yang dimaksudkan adalah hak akses dan
komunikasi sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1983 tentang Pengesahan atas Treaty between Malaysia and Indonesia
relating to the Legal Regime of the Archipelagic State and Rights of Malaysia
in the Teritorial Sea, Archipelagic Waters and the Territory of Indonesia lying
between East and West Malaysia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 7, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3248).
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan nasional yang
berlaku", misalnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta peraturan perundangundangan
dari pelbagai konvensi atau perjanjian internasional lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "administrasi dan yurisdiksi" adalah
administrasi dalam rangka pelaksanaan yurisdiksi yang dilakukan oleh
instansi yang terkait dengan masalah lingkungan perairan Indonesia.
Misalnya mengenai penetapan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak
Lingkungan yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Ling-kungan Hidup,
maka mengenai administrasi tersebut antara lain mengenai persyaratanpersyaratan
yang berkaitan dengan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis
Dampak Lingkungan tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dilakukan untuk
memelihara keutuhan wilayah perairan Indonesia serta menjaga dan
melindungi kepentingan nasional di laut. Sanksi atas pelanggaran
kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, antara lain dapat
dilakukan dengan memperingatkan kapal asing yang bersangkutan
untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Ayat (2)
Yurisdiksi terhadap kapal asing dapat mengenai yurisdiksi pidana,
perdata, atau yurisdiksi lainnya. Mengenai yurisdiksi pidana dan
perdata antara lain berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
27 dan Pasal 28 Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27 ayat (1) Konvensi menyatakaan bahwa yurisdiksi kriminal negara
pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi
laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan
penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas
kapal selama lintas demikian, kecuali :
a. apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
b. apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian
negara tersebut atau ketertiban laut wilayah;
c. apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal
atau oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera; atau
d. apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan
gelap narkotika atau bahan psikotropika.
Selanjutnya Pasal 28 Konvensi menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak
dapat dilakukan terhadap kapal asing atau orang yang berada di atasnya,
kecuali :
a. hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab
ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri dalam
mela-kukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan
Indonesia; atau
b. untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dengan tujuan atau guna keperluan
proses perdata terhadap suatu kapal asing yang berada atau melintasi
laut teritorial atau perairan kepulauan setelah meninggalkan perairan
pedalaman.
Yang dimaksud dengan "yurisdiksi lainnya" misalnya yurisdiksi administra-tif.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) mengatur mengenai
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, namun
karena mengenai pene-gakan kedaulatan telah diatur secara tegas
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1988, maka yang perlu dikoordinasikan hanya mengenai pelaksanaan
penegakan hukum.
Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait, antara lain
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian,
Departemen Keuangan, dan Departemen Kehakiman, sesuai dengan
wewenang masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum
internasional.
Pasal 25
Ayat (1)
Peta ilustratif yang dilampirkan dalam Undang-undang ini mempunyai
sifat sementara sampai ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang
peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah per-airan Indonesia atau daftar titik-titik
koordinat geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
Pelampiran peta ilustratif dalam Undang-undang ini dilakukan dengan
per-timbangan bahwa pembuatan peta dengan skala atau skala-skala
yang me-madai atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garisgaris
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) memer-lukan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu,
demi kepastian hukum dalam Undang-undang ini dilampirkan peta
ilustratif wilayah perairan Indonesia. Dalam hal terdapat batas wilayah
tertentu di perairan Indonesia masih dalam perundingan dengan
negara tetangga, maka batas wilayah tertentu tersebut akan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan hasil
perundingan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
__________________________________

Previous
« Prev Post

Related Posts

October 31, 2017

0 komentar:

Post a Comment