UNDANG UNDANG NO 9 TAHUN 1985
TENTANG : PERIKANAN
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 9 TAHUN 1985 (9/1985)
Tanggal : 19 JUNI 1985 (JAKARTA)
Sumber : LN 1985/46; TLN NO. 3299
Tanggal : 19 JUNI 1985 (JAKARTA)
Sumber : LN 1985/46; TLN NO. 3299
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa perairan yang merupakan bagian terbesar wilayah Negara
Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
mengandung sumber daya ikan yang sangat potensial dan penting
arti, peranan, dan manfaatnya sebagai modal dasar pembangunan
untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dengan
Wawasan Nusantara pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan
sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam
pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja
dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan dan petani ikan kecil serta
terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang
akan meningkatkan ketahanan nasional;
c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
berlaku sampai sekarang kurang luas jangkauannya dan kurang
mampu menampung perkembangan keadaan serta kebutuhan
pembangunan pada umumnya dan pembangunan hukum nasional
pada khususnya, sehingga dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan baru dalam bentuk. Undang-undang;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan;
2. Sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan
lainnya,
3. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan
agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan
berlangsung terus menerus;
4. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan;
5. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan
menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan
komersial;
6. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh
ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau
mengawetkannya;
7. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau bendabenda
lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan;
8. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya
yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk
untuk melakukan survai atau eksplorasi perikanan;
9. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya;
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan;
11. Petani ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
pembudidayaan ikan;
12. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan
sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya;
13. Pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan
dengan makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain akibat
perbuatan manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang atau
tidak berfungsi sebagaimana seharusnya dan/atau berbahaya bagi
yang memanfaatkannya;
14. Kerusakan sumber daya ikan adalah terjadinya penurunan potensi
sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di suatu
lokasi perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang
atau badan hukum yang telah menimbulkan gangguan sedemikian
rupa terhadap keseimbangan biologi atau daur hidup sumber daya
ikan;
15. Pencemaran lingkungan sumber daya ikan adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan sumber daya ikan sehingga kualitas lingkungan
sumber daya ikan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan sumber daya ikan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
16. Kerusakan lingkungan sumber daya ikan adalah suatu keadaan
lingkungan sumber daya ikan di suatu lokasi perairan tertentu yang
telah mengalami perubahan fisik, kimiawi dan hayati, sehingga tidak
atau kurang berfungsi sebagai tempat hidup, mencari makan,
berkembang biak atau berlindung sumber daya ikan, karena telah
mengalami gangguan sedemikian rupa sebagai akibat perbuatan
seseorang atau badan hukum; 17. Pemerintah adalah Pemerintah
Republik Indonesia;
18. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan;
2. Sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan
lainnya,
3. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan
agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan
berlangsung terus menerus;
4. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan;
5. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan
menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan
komersial;
6. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh
ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau
mengawetkannya;
7. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau bendabenda
lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan;
8. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya
yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk
untuk melakukan survai atau eksplorasi perikanan;
9. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya;
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan;
11. Petani ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
pembudidayaan ikan;
12. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan
sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya;
13. Pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan
dengan makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain akibat
perbuatan manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang atau
tidak berfungsi sebagaimana seharusnya dan/atau berbahaya bagi
yang memanfaatkannya;
14. Kerusakan sumber daya ikan adalah terjadinya penurunan potensi
sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di suatu
lokasi perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang
atau badan hukum yang telah menimbulkan gangguan sedemikian
rupa terhadap keseimbangan biologi atau daur hidup sumber daya
ikan;
15. Pencemaran lingkungan sumber daya ikan adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan sumber daya ikan sehingga kualitas lingkungan
sumber daya ikan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan sumber daya ikan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
16. Kerusakan lingkungan sumber daya ikan adalah suatu keadaan
lingkungan sumber daya ikan di suatu lokasi perairan tertentu yang
telah mengalami perubahan fisik, kimiawi dan hayati, sehingga tidak
atau kurang berfungsi sebagai tempat hidup, mencari makan,
berkembang biak atau berlindung sumber daya ikan, karena telah
mengalami gangguan sedemikian rupa sebagai akibat perbuatan
seseorang atau badan hukum; 17. Pemerintah adalah Pemerintah
Republik Indonesia;
18. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
BAB II
WILAYAH PERIKANAN
Pasal 2
Wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi:
a. Perairan Indonesia;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam
wilayah Republik Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
WILAYAH PERIKANAN
Pasal 2
Wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi:
a. Perairan Indonesia;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam
wilayah Republik Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
BAB III
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 3
(1) Pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan Republik
Indonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesarbesarnya
bagi bangsa Indonesia.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara
terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta
lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Pasal 4
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan
ketentuan-ketentuan mengenai:
1. alat-alat penangkapan ikan;
2. syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal
perikanan dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran;
3. jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran ikan yang tidak
boleh ditangkap;
4. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; 5 . pencegahan
pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan serta lingkungannya;
6. penebaran ikan jenis baru;
7. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
8. pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan;
9. hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan
sumber daya ikan.
Pasal 5
Pengangkutan ikan hidup antar pulau di dalam wilayah Republik Indonesia
atau antara wilayah Indonesia dengan negara asing dikenakan ketentuanketentuan
karantina ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan
penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
dan/atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya.
(2) kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan
bahan dan/atau alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kepentingan ilmiah dan kepentingan tertentu lainnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
sepanjang mengenai perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan
kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan atau pelestarian
alam perairan, Pemerintah menetapkan jenis ikan tertentu yang
dilindungi dan/atau lokasi perairan tertentu sebagai suaka perikanan
berdasarkan ciri yang khas jenis ikan atau keadaan alam perairan
termaksud.
(2) Dalam pengaturan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pemerintah dapat menetapkan pembatasan terhadap kegiatan
penangkapan atau pembudidayaan ikan atau kegiatan lainnya di lokasi
tersebut.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 3
(1) Pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan Republik
Indonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesarbesarnya
bagi bangsa Indonesia.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara
terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta
lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Pasal 4
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan
ketentuan-ketentuan mengenai:
1. alat-alat penangkapan ikan;
2. syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal
perikanan dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran;
3. jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran ikan yang tidak
boleh ditangkap;
4. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; 5 . pencegahan
pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan serta lingkungannya;
6. penebaran ikan jenis baru;
7. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
8. pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan;
9. hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan
sumber daya ikan.
Pasal 5
Pengangkutan ikan hidup antar pulau di dalam wilayah Republik Indonesia
atau antara wilayah Indonesia dengan negara asing dikenakan ketentuanketentuan
karantina ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan
penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
dan/atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya.
(2) kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan
bahan dan/atau alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kepentingan ilmiah dan kepentingan tertentu lainnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
sepanjang mengenai perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan
kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan atau pelestarian
alam perairan, Pemerintah menetapkan jenis ikan tertentu yang
dilindungi dan/atau lokasi perairan tertentu sebagai suaka perikanan
berdasarkan ciri yang khas jenis ikan atau keadaan alam perairan
termaksud.
(2) Dalam pengaturan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pemerintah dapat menetapkan pembatasan terhadap kegiatan
penangkapan atau pembudidayaan ikan atau kegiatan lainnya di lokasi
tersebut.
BAB IV
PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 9
(1) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh
dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum
Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia
berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum
internasional yang berlaku.
Pasal 10
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan
diwajibkan memiliki izin usaha perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil atau perorangan lainnya yang sifat
usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha
perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan
lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan
perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil yang melakukan penangkapan atau
pembudidayaan ikan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari tidak dikenakan pungutan perikanan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Kapal perikanan yang digunakan oleh warganegara Republik Indonesia
atau badan hukum Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di
dalam wilayah perikanan Republik Indonesia harus berbendera
Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan untuk kegiatan penelitian serta kegiatan
ilmiah lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dan kegiatan
penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pasal 13
Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan di dalam wilayah perikanan
Republik Indonesia yang tidak untuk tujuan komersial diatur oleh Menteri.
PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 9
(1) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh
dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum
Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia
berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum
internasional yang berlaku.
Pasal 10
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan
diwajibkan memiliki izin usaha perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil atau perorangan lainnya yang sifat
usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha
perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan
lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan
perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil yang melakukan penangkapan atau
pembudidayaan ikan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari tidak dikenakan pungutan perikanan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Kapal perikanan yang digunakan oleh warganegara Republik Indonesia
atau badan hukum Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di
dalam wilayah perikanan Republik Indonesia harus berbendera
Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan untuk kegiatan penelitian serta kegiatan
ilmiah lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dan kegiatan
penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pasal 13
Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan di dalam wilayah perikanan
Republik Indonesia yang tidak untuk tujuan komersial diatur oleh Menteri.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 14
Pemerintah menyelenggarakan pembinaan sistem informasi dan
menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran seluasluasnya
mengenai data teknik dan data produksi perikanan guna menunjang
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan serta pengembangan usaha
perikanan.
Pasal 15
(1) Pemerintah membina dan mengembangkan penelitian dan kegiatan
lainnya di bidang perikanan.
(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Pemerintah dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga
swasta nasional, lembaga internasional atau lembaga asing.
Pasal 16
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, latihan, penyuluhan dan
bimbingan di bidang perikanan.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat dan lembagalembaga
kemasyarakatan.
Pasal 17
Pemerintah mendorong, menggerakkan, membantu dan melindungi usaha
nelayan dan petani ikan kecil terutama melalui koperasi nelayan dan/atau
koperasi petani ikan.
Pasal 18
(1) Pemerintah membangun dan membina prasarana perikanan.
(2) Ketentuan pelaksanaan mengenai pengadaan, kedudukan, fungsi,
pengelolaan dan penggunaan prasarana perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pemerintah mengatur tata niaga ikan dan melaksanakan pembinaan mutu
hasil perikanan.
Pasal 20
Menteri menetapkan larangan pengeluaran atau pemasukan jenis ikan
tertentu dari atau ke wilayah Republik Indonesia.
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 14
Pemerintah menyelenggarakan pembinaan sistem informasi dan
menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran seluasluasnya
mengenai data teknik dan data produksi perikanan guna menunjang
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan serta pengembangan usaha
perikanan.
Pasal 15
(1) Pemerintah membina dan mengembangkan penelitian dan kegiatan
lainnya di bidang perikanan.
(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Pemerintah dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga
swasta nasional, lembaga internasional atau lembaga asing.
Pasal 16
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, latihan, penyuluhan dan
bimbingan di bidang perikanan.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat dan lembagalembaga
kemasyarakatan.
Pasal 17
Pemerintah mendorong, menggerakkan, membantu dan melindungi usaha
nelayan dan petani ikan kecil terutama melalui koperasi nelayan dan/atau
koperasi petani ikan.
Pasal 18
(1) Pemerintah membangun dan membina prasarana perikanan.
(2) Ketentuan pelaksanaan mengenai pengadaan, kedudukan, fungsi,
pengelolaan dan penggunaan prasarana perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pemerintah mengatur tata niaga ikan dan melaksanakan pembinaan mutu
hasil perikanan.
Pasal 20
Menteri menetapkan larangan pengeluaran atau pemasukan jenis ikan
tertentu dari atau ke wilayah Republik Indonesia.
BAB VI
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 21
Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 22
Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 21
Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 22
Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 23
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan secara berdaya guna dan berhasil guna, dilakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuanketentuan
di bidang perikanan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 23
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan secara berdaya guna dan berhasil guna, dilakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuanketentuan
di bidang perikanan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
sebanyak- banyaknya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 25
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan ikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
apabila dalam kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran
30 (tiga puluh) gros ton atau lebih;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah), apabila dalam kegiatannya menggunakan
kapal bermotor berukuran kurang dari 30 (tiga puluh) gros ton.
Pasal 26
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melakukan usaha perikanan di
bidang pembudidayaan ikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 27
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan berdasarkan Pasal
4 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan berdasarkan Pasal
20 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 28
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25
adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27
adalah pelanggaran.
Pasal 29
Benda-benda yang dipergunakan dalam dan yang dihasilkan dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
dan Pasal 27 dapat dirampas untuk negara.
Pasal 30
Barangsiapa melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dipidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
sebanyak- banyaknya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 25
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan ikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
apabila dalam kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran
30 (tiga puluh) gros ton atau lebih;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah), apabila dalam kegiatannya menggunakan
kapal bermotor berukuran kurang dari 30 (tiga puluh) gros ton.
Pasal 26
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melakukan usaha perikanan di
bidang pembudidayaan ikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 27
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan berdasarkan Pasal
4 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan berdasarkan Pasal
20 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 28
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25
adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27
adalah pelanggaran.
Pasal 29
Benda-benda yang dipergunakan dalam dan yang dihasilkan dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
dan Pasal 27 dapat dirampas untuk negara.
Pasal 30
Barangsiapa melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dipidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 31
(1) Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini di
perairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang bertugas di bidang
perikanan dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di bidang perikanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) karena kewajibannya
mempunyai kewenangan :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
b. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka
pelaku pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
c. menggeledah kapal perikanan, sarana angkutan dan tempat
menyimpan, mendinginkan dan mengawetkan ikan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan
pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
d. melakukan penyitaan ikan yang dihasilkan, alat-alat dan suratsurat
yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(4) Penyidikan dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
ketentuan hukum acara pidana lainnya.
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 31
(1) Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini di
perairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang bertugas di bidang
perikanan dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di bidang perikanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) karena kewajibannya
mempunyai kewenangan :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
b. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka
pelaku pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
c. menggeledah kapal perikanan, sarana angkutan dan tempat
menyimpan, mendinginkan dan mengawetkan ikan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan
pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
d. melakukan penyitaan ikan yang dihasilkan, alat-alat dan suratsurat
yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(4) Penyidikan dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
ketentuan hukum acara pidana lainnya.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undangundang
ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undangundang
ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Algemeene regelen voor het visschen naar Parelschelpen,
Parelmoerschelpen, Teripang en Sponsen binnen de afstand van niet
meer dan drie Engelsche zeemijlen van de kusten van Nederlandsch
Indie (Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157);
b. Visscherij Bepalingen ter Bescherming van den Vischsstand
(Staatsblad Tahun 1920 Nomor 396);
c. Algemeene Regeling voor de Visscherij binnen het zeegebied van
Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144);
d. Algemeene regelen voor de jacht op walvisschen binnen den afstand
van drie zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad
Tahun 1927 Nomor 145);
e. Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali
ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan
hukum di laut;
dengan segala perubahannya, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 34
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 1985
pada tanggal 19 Juni 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN
I. UMUM
Tanah air Indonesia yang sebagian besar terdiri dari perairan, mengandung
sumber daya ikan yang sangat tinggi tingkat kesuburannya dan merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, sejak dulu kala dimanfaatkan oleh rakyat
Indonesia secara turun temurun, Dengan telah disahkannya rejim hukum
Zona Ekonomi Eksklusif dalam lingkup hukum laut internasional yang baru,
maka sumber daya ikan milik bangsa Indonesia menjadi bertambah besar
jumlahnya dan sangat potensial untuk menunjang upaya peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat.
Sumber daya ikan seperti di atas, dipadukan dengan nelayan dan petani ikan
yang sangat besar jumlahnya, merupakan modal dasar pembangunan
nasional yang sangat penting artinya. Dalam mencapai tujuan pembangunan
nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, bidang perikanan harus mampu
ikut serta mewujudkan kekuatan ekonomi sebagai upaya meningkatkan
ketahanan nasional.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini
merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan
berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan
penguasaan Negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh
karenanya pemanfaatan sumber daya ikan harus mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan, sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan dan
petani ikan kecil serta memajukan desa-desa pantai. Berpegang kepada
pikiran dasar ini, maka perlu diambil langkah-langkah agar para nelayan dan
petani ikan yang sampai saat ini masih termasuk golongan yang sangat
rendah pendapatannya memperoleh kesempatan cukup untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Amanat bahwa kekayaan alam Indonesia harus dipergunakn untuk sebesarbesar
kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 tersebut mengandung pula arti,
bahwa pemanfaatan sumber daya ikan tidak sekedar ditujukan untuk
kepentingan kelompok masyarakat yang secara langsung melakukan
kegiatan di bidang perikanan, tetapi juga harus memberi manfaat sebesarbesarnya
kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Dengan bertolak dari
pemikiran dasar tentang masalah keadilan dan pemerataan tadi, dirasakan
perlunya usaha-usaha untuk mewujudkan penyediaan ikan dalam jumlah
yang memadai sebagai upaya mencukupi gizi masyarakat dengan harga yang
layak.
Pasal 33 juga mengandung cita-cita bangsa, bahwa pemanfaatan sumber
daya ikan harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran
rakyat. Sejalan dengan itu, sudah semestinya bila pengelolaan dan
pemanfaatannya diatur secara mantap, sehingga mampu menjamin arah dan
kelangsungan serta kelestarian pemanfaatannya dapat berlangsung seiring
dengan tujuan pembangunan nasional.
Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali ("renewable"),
walaupun hal itu tidak pula berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila
pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaidah-kaidah
pengelolaan sumber daya ikan, misalnya sampai melebihi potensi yang
tersedia, atau dengan menggunakan alat yang dapat merusak sumber daya
ikan dan/atau lingkungan, tentu akan berakibat terjadinya kepunahan.
Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat pula disebabkan oleh
kegiatan-kegiatan lain, misalnya pelayaran, pertambangan, penempatan
kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau bahkan
juga peristiwa alam, kesemuanya ini secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu, pembinaan
kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah yang sangat penting dan
harus dilaksanakan segara terpadu dan terarah. Dalam hubungan inilah
maka perlu diambil langkah-langkah untuk mengatur segi-segi kelestarian
serta pengawasannya.
Hal yang sangat penting dan erat sekali kaitannya dengan masalah
perikanan ini, adalah wilayah perikanan itu sendiri. Oleh karenanya,
keterkaitan Undang-undang ini terutama dengan Undang-undang Nomor 4
Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta pelaksanaan
konsep negara kepulauan ("archipelagic state concept") sebagaimana diakui
dalam hukum laut intemasional yang baru bersifat mutlak. Sebab di dalam
wilayah perairan itulah jangkauan pengaturan Undang-undang ini
berlangsung dan diberlakukan.
Kenyataan bahwa sumber daya ikan yang menjadi milik Bangsa Indonesia
semakin bertambah besar, perlu diimbangi usaha-usaha pemanfaatan yang
memadai berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi.
Untuk itu peranan dan perkembangan koperasi, badan usaha milik negara
dan swasta di bidang perikanan perlu ditingkatkan secara wajar dan terarah
serta serasi.
Karena untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal memang
dibutuhkan permodalan yang cukup besar, teknologi yang tepat guna dan
tenaga kerja yang memadai, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan yang terdapat di perairan laut yang demikian luasnya, memerlukan
sistem pengawasan dan pengamanan yang memadai. Untuk itu Pemerintah
perlu memberikan perhatian yang cukup di bidang ini.
Dalam pada itu, peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
berlaku pada saat ini sebagian besar masih berasal dari zaman Hindia
Belanda. Selain berbeda dalam pemikiran dasar, peraturan-peraturan itupun
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan. Sehubungan
dengan hal-hal di atas, maka dipandang perlu untuk mengatur perikanan
dengan Undang-undang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan semua jenis ikan termasuk biota perairan
lainnya adalah :
1) Pisces (ikan bersirip);
2) Crustacea (udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya);
3) Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan
sebangsanya);
4) Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
5) Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya);
6) Amphibia (kodok dan sebangsanya);
7) Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan
sebangsanya);
8) Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan
sebangsanya);
9) Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di
dalam air);
10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tersebut di atas;
semuanya termasuk bagian-bagiannya.
Angka 3
Pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan meliputi kegiatan-kegiatan
pengendalian pemanfaatan, pembinaan potensi dan pelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya, dan pengaturan berbagai
kegiatan lainnya yang langsung berkaitan atau sekurang-kurangnya
dapat mempengaruhi keadaan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Angka 4 sampai dengan Angka 18
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perairan Indonesia adalah sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang
Nomor 4 Prp Tahun 1960.
Huruf b
Yang dimaksud dengan genangan air lainnya yaitu genangan air di
daratan yang terjadi secara alamiah untuk waktu yang lama atau
sementara yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penangkapan
atau pembudidayaan ikan. Termasuk dalam pengertian ini yaitu
tambak dan kolam ikan yang diusahakan,
Huruf c
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka mewujudkan keadilan dan pemerataan dalam
pemanfaatan, maka kepada nelayan dan petani ikan yang hanya
memiliki peralatan yang mobilitas dan/atau produktivitasnya relatif
masih terbatas perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan
sebaik-baiknya agar tetap dapat memperoleh hasil untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kaitan kebijaksanaan
pengaturan yang demikian, maka pengaturan pemanfaatannya harus
memungkinkan mereka terhindar dari himpitan kegiatan yang telah
memiliki alat dan perlengkapan dengan mobilitas dan/atau
produktivitas yang lebih tinggi.
Pasal 4
Angka 1 sampai dengan Angka 4
Didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, orang cenderung menggunakan alat
penangkap ikan yang sangat produktif tetapi sering tidak selektif.
Terhadap penggunaan alat yang tidak selektif sejauh mungkin
dihindarkan.
Dalam rangka membina kelestarian sumber daya ikan, bilamana
perlu harus diatur pula mengenai jumlah yang boleh ditangkap dan
jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap. Kemungkinan
penutupan daerah, jalur, dan waktu atau musim dari kegiatan
penangkapan ikan diperlukan bagi kelangsungan daur hidup ikan.
Angka 5
Berbagai macam cara perlu ditempuh dalam melaksanakan
pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan
sumber daya ikan dan lingkungannya yaitu antara lain dengan
penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang
buatan, pembuatan tempat-tempat berlindung/berbiak ikan,
peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau
penambahan jenis-jenis makanan, pembuatan saluran ruaya bagi ikan
("fish ladders" atau "fish ways") atau pengerukan dasar perairan dan
lain-lain. Di samping itu pula perlu dikeluarkan peraturan yang
bertujuan mencegah segala perbuatan yang dapat mengakibatkan
kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Angka 6
Dalam usaha meningkatkan produktivitas perairan sering dilakukan
penebaran ikan jenis baru.
Menurut pengalaman penebaran ikan jenis baru tidak
selamanya positif hasilnya, dalam arti dapat berakibat merusakkan
sumber daya ikan setempat.
Apabila sekali waktu telah terlanjur dilakukan penebaran ikan
jenis baru yang hasilnya negatif, maka akan sangat sulit untuk
menghilangkannya. Sehubungan dengan itu penebaran ikan jenis baru
perlu dipertimbangkan secara matang dan pada umumnya didahului
dengan pelaksanaan penelitian.
Angka 7
Sesuai dengan perkembangan teknologi, maka pembudidayaan ikan
tidak lagi terbatas di kolam-kolam atau tambak, tetapi dilakukan pula
di sungai, danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut
kepentingan umum, maka perlu adanya penetapan mengenai lokasi
dan luas daerah serta cara yang dipergunakan, agar tidak
mengganggu kepentingan umum. Di samping itu pula perlu ditetapkan
ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk melindungi
pembudidayaan tersebut, misalnya terhadap pencemaran.
Angka 8
Air yang dipergunakan untuk pembudidayaan di kolam atau tambak
tidak dapat dipisahkan dari jaringan irigasi, sungai, dan danau atau
sebaliknya, sehingga usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan
hama dan penyakit ikan di tempat-tempat tersebut akan sangat
mempengaruhi. Untuk itu agar tidak terjadi akibat yang merugikan,
perlu diatur tentang cara pencegahan dan pemberantasannya
termasuk penggunaan jenis obat-obatan.
Pasal 5
Tindak karantina ikan dalam pengangkutan ikan hidup dilakukan untuk
mencegah menjalarnya hama dan penyakit ikan berbahaya dari satu wilayah
ke wilayah yang lain terutama antar pulau di dalam wilayah Republik
Indonesia atau antar negara.
Tujuan pelaksanaan tindak karantina ialah untuk melindungi para petani ikan
di daerah penerima agar mereka terlindungi dari kemungkinan menjalarnya
penyakit ikan yang berbahaya dari daerah pengirim. Oleh karena itu dalam
peraturan pelaksanaan yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan pasal ini
perlu diperhatikan agar tindak karantina tidak mengakibatkan terhambatnya
kelancaran arus pengangkutan ikan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Penggunaan bahan peledak, bahan beracun, aliran listrik dan lain- lain
tidak saja mematikan ikan, tetapi dapat pula mengakibatkan
kerusakan pada lingkungan dan merugikan nelayan dan petani ikan.
Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat digunakannya bahan dan alat
termaksud, maka pengembalian ke dalam keadaan seperti semula
akan membutuhkan waktu yang sangat lama, atau bahkan mungkin
mengakibatkan kepunahan. Oleh karenanya, penggunaan bahanbahan
tersebut harus dilarang.
Ayat (2)
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ilmiah atau kepentingan teknik
lainnya, seperti untuk mengetahui sampai sejauh mana akibat yang
ditimbulkan oleh suatu bahan peledak/beracun dan penggunaan alat
lainnya, perlu dilakukan percobaan-percobaan untuk memperoleh data
tentang akibat-akibatnya. Di samping itu mungkin untuk keperluan
teknik lainnya diperlukan pula penggunaan bahan peledak atau bahan
lainnya untuk memperoleh data kedalaman air, misalnya. Untuk
kepentingan-kepentingan yang sedemikian rupa perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
Ayat (1)
Pasal ini tidak mengurangi kemungkinan dilakukannya kegiatankegiatan
lain di wilayah perikanan Republik Indonesia sepanjang
kegiatan-kegiatan tersebut telah disertai langkah-langkah pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Jenis-jenis ikan tertentu pada suatu saat mungkin sudah harus
dianggap langka. Untuk itu demi kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan serta pelestariannya perlu diadakan perlindungan kepada
jenis-jenis tersebut dari kegiatan penangkapan. Di samping itu perlu
ditempuh berbagai langkah baik oleh Pemerintah sendiri ataupun
dengan mendorong masyarakat untuk ikut serta membudidayakan
jenis tersebut dalam rangka meningkatkan populasinya. Demikian pula
halnya daerah-daerah perairan tertentu mungkin memiliki sifat-sifat
khas dan sangat indah. Keadaan alam yang demikian perlu ditetapkan
sebagai suatu suaka perikanan demi kepentingan-kepentingan
nasional tersebut. Terhadap suaka perikanan yang demikian perlu
dihindarkan dari kegiatan yang mungkin dapat merusakkan
keindahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengecualian terhadap ketentuan ayat (1), yaitu pemanfaatan yang
dilakukan oleh orang atau badan hukum asing hanya dapat diizinkan di
bidang penangkapan ikan sepanjang negara Republik Indonesia terikat
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan persetujuan internasional
atau ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal usaha perikanan, khususnya di bidang penangkapan dan
pembudidayaan ikan, maka untuk dapat berlangsungnya pemanfaatan
sumber daya ikan secara terus menerus perlu dilakukan pengendalian
pemanfaatan agar tidak melampaui potensi yang tersedia.
Pelaksanaan pengendalian tersebut dalam bentuk tindakan preventif
antara lain dengan cara menetapkan tingkat pemanfaatan melalui
perizinan. Dalam perizinan sekaligus dapat ditetapkan syarat-syarat
tentang sarana dan cara yang dipergunakan, sehingga apabila
terdapat kegiatan penangkapan atau pembudidayaan ikan yang tidak
memiliki izin, maka berarti terjadi pemanfaatan sumber daya ikan di
luar pengendalian. Hal yang demikian akan merupakan penghambat
dalam rencana pengembangan perikanan sesuai dengan kaidah-kaidah
pengelolaan sumber daya ikan.
Ayat (2)
Pengecualian dari kewajiban memperoleh izin usaha ini dikhususkan
bagi para nelayan, petani ikan kecil, dan perorangan lainnya yang
usahanya lebih merupakan mata pencaharian untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-hari misalnya usaha perikanan oleh nelayan
dengan kapal perikanan yang tidak melebihi ukuran tertentu yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Walaupun demikian, untuk
kepentingan pengumpulan data yang diperlukan dalam rangka
pembinaan usaha perikanan dan pengelolaan sumber daya ikan pada
umumnya, terhadap usaha dengan skala inipun diperlukan adanya
pencatatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Kepada setiap orang atau badan hukum yang berusaha di bidang
penangkapan atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di
perairan lainnya di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia
dikenakan pungutan perikanan, karena mereka ini telah memperoleh
manfaat langsung dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Sedang terhadap usaha budidaya ikan yang dilakukan di tambak atau
di kolam di atas tanah yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan
telah menjadi hak tertentu dari yang bersangkutan, tidak
dikenakan pungutan perikanan.
Ayat (2)
Pengecualian secara mendasar, yaitu pembebasan pengenaan
pungutan perikanan adalah diberlakukan bagi nelayan dan petani ikan
kecil yang kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas,
Ayat (2)
Kegiatan penelitian dan ilmiah lainnya untuk memperoleh data dalam
rangka pengelolaan sumber daya ikan di laut baik yang dilakukan oleh
Pemerintah maupun badan-badan swasta sudah lazim dilakukan dalam
bentuk kerja sama dengan badan-badan ilmiah asing. Hal ini
mengingat bahwa sifat sumber daya ikan secara ilmiah tidak mengenal
batas-batas kewilayahan negara. Dalam pelaksanaan kerja sama
penelitian tersebut seringkali terjadi bahwa badan-badan ilmiah asing
menyediakan kapal penelitian dengan bendera dari negara asing yang
bersangkutan. Pemanfaatan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia memerlukan dana investasi yang besar terutama
untuk membiayai pengadaan kapal-kapal perikanan yang berukuran
besar serta menggunakan teknologi maju, yang untuk sementara
masih merupakan suatu kelangkaan yang masih sulit dipenuhi oleh
usaha-usaha perikanan Indonesia. Untuk itu dalam rangka
mengembangkan usaha perikanan menuju optimalisasi pemanfaatan
sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh usahausaha
perikanan Indonesia, maka kepada mereka perlu diberi
kesempatan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak asing dalam
bentuk sewa atau beli sewa kapal perikanan berbendera asing. Dengan
sendirinya perlu diadakan pembatasan waktu selesainya sewa atau
beli sewa di samping syarat-syarat keharusan untuk menggunakan
tenaga kerja Indonesia.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan kegiatan penangkapan ikan yang tidak komersial
adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga Pemerintah
atau swasta dalam rangka pendidikan, penyuluhan, dan penelitian serta
kegiatan ilmiah lainnya. Juga digolongkan dalam pengertian ini ialah kegiatan
penangkapan ikan untuk kesenangan atau wisata. Mengenai hal-hal di atas
pada saatnya perlu diatur, karena kegiatan-kegiatan tersebut apabila
dilakukan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama juga
mempengaruhi potensi sumber daya ikan.
Pasal 14
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan penyusunan rencana pengembangan perikanan serta penilaian
kemajuannya, diperlukan data teknik dan data produksi perikanan yang
dapat memberikan gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan yang tersedia. Data tersebut meliputi antara lain
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah, musim, dan jumlah penangkapan/pembudidayaan ikan;
d. luas daerah pembudidayaan ikan dan jumlah produksinya;
e. jumlah nelayan/petani ikan;
f. produk, ukuran ikan yang tertangkap, musim pemijahan ikan
dan sebagainya.
Setelah data-data tersebut diolah, Pemerintah melaksanakan
penyebaran seluas-luasnya terutama kepada para nelayan dan petani
ikan.
Pasal 15
Ayat (1)
Kegiatan penelitian dan ilmiah lainnya akan dapat mengungkapkan
segala permasalahan yang mendasar mengenai sumber daya ikan,
lingkungan, dan pemanfaatan serta berbagai aspek lain di bidang
perikanan. Untuk itu pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah
lainnya harus ditujukan untuk menemukan daerah-daerah perikanan
baru, jenis-jenis ikan baru, alat serta cara penangkapan dan
pembudidayaan ikan yang lebih berdaya guna dan berhasil guna dan
mengetahui tingkat kesuburan sumber daya ikan dalam rangka
pengembangan perikanan tanpa membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya.
Ayat (2)
Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya di
bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara. Hal yang
demikian dilakukan antara lain berhubung dengan adanya jenis-jenis
ikan tertentu yang merupakan kesatuan potensi dari dua negara atau
lebih atau jenis-jenis ikan yang kehidupannya beruaya jauh ("highly
migratory species") yang meliputi perairan laut dari berbagai negara.
Terutama mengenai pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan oleh
Pemerintah dimana perlu dapat diikutsertakan lembaga penelitian
swasta nasional. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi lembagalembaga
penelitian swasta nasional ini mengambil prakarsa untuk
melaksanakan penelitian sendiri. Dalam rangka pembinaan terhadap
prakarsa yang demikian, maka lembaga-lembaga swasta tersebut
perlu meminta izin terlebih dahulu.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengetahuan dan ketrampilan nelayan dan petani ikan perlu
senantiasa ditingkatkan. Untuk itu Pemerintah menyelenggarakan
pendidikan, bimbingan, latihan dan penyuluhan di bidang perikanan
agar mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
untuk meningkatkan usahanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Dengan mengingat bahwa bagian terbesar dari para nelayan dan petani ikan
kita terdiri dari nelayan dan petani ikan kecil yang dilekati dengan berbagai
macam kelemahan, maka diperlukan langkah-langkah yang nyata untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Langkah-langkah tersebut meliputi
pula usaha-usaha pembinaan kemampuan koperasi di bidang perikanan
sebagai organisasi ekonomi para nelayan dan petani ikan.
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam rangka pengembangan perikanan, khususnya di bidang
penangkapan dan pembudidayaan ikan Pemerintah berkewajiban
membangun prasarana. Dalam hal ini prasarananya antara lain
berbentuk pelabuhan perikanan dan saluran saluran induk untuk
pertambakan/perkolaman. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai
sarana penunjang untuk meningkatkan produksi dan sesuai dengan
sifatnya sebagai satu lingkungan kerja. Fungsinya meliputi berbagai
aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan,
tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil
tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal
perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat
pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan
penyuluhan dan pengumpulan data.
Ayat (2)
Mengingat fungsi pelabuhan perikanan menyangkut berbagai aspek
serta dalam kenyataannya akan merupakan lingkungan kerja yang
akan melaksanakan pelayanan umum, maka perlu ada pengaturan
secara lengkap baik yang mengenai kedudukan, fungsi, pengelolaan,
dan penggunaannya maupun tugas-tugas serta kewenangannya
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pengaturan tata niaga hasil perikanan didasarkan untuk mencapai efisiensi
rantai pemasaran. Untuk tidak berliku-likunya rantai pemasaran dan
terutama diarahkan untuk ditangani oleh koperasi-koperasi perikanan atau
badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perikanan., maka disatu
pihak diharapkan dapat mewujudkan harga yang menguntungkan para
nelayan atau petani ikan agar mereka berkesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usahanya, dan di lain fihak dapat mewujudkan harga
yang layak bagi masyarakat konsumen. Sedangkan pembinaan mutu hasil
perikanan bertujuan untuk mencapai nilai ekonomis yang maksimal dari hasil
usaha perikanan, dan melindungi masyarakat konsumen dari hal-hal yang
mungkin dapat merugikan serta membahayakan kesehatannya sebagai
akibat dari praktek-praktek yang bersifat penipuan, pemalsuan atau
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang kesehatan dan higiene.
Pasal 20
Untuk mengembangkan usaha pembudidayaan ikan dan pelestarian sumber
daya ikan perlu dicegah mengalirnya jenis-jenis ikan tertentu ke luar negeri.
Di lain pihak jenis-jenis ikan dari luar negeri yang dapat membahayakan
sumber daya ikan di dalam negeri perlu dicegah pemasukannya.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Pengawasan dan pengendalian ini menyangkut kegiatan-kegiatan
a. pemantauan ("monitoring") terhadap jumlah kapal perikanan
dan alat yang dipergunakan menurut jenis dan ukurannya, ikan
hasil tangkapan menurut jenisnya dan hari penangkapan
menurut jenis kegiatan, serta terhadap daerah dan musim
penangkapan ikan;
b. pengendalian terhadap jumlah kapal perikanan dan alat
penangkapan ikan yang diberikan izin menurut jenis dan
ukurannya;
c. pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perizinan
penangkapan ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24 sampai pasal 35
Cukup jelas.
__________________________________
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan semua jenis ikan termasuk biota perairan
lainnya adalah :
1) Pisces (ikan bersirip);
2) Crustacea (udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya);
3) Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan
sebangsanya);
4) Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
5) Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya);
6) Amphibia (kodok dan sebangsanya);
7) Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan
sebangsanya);
8) Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan
sebangsanya);
9) Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di
dalam air);
10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tersebut di atas;
semuanya termasuk bagian-bagiannya.
Angka 3
Pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan meliputi kegiatan-kegiatan
pengendalian pemanfaatan, pembinaan potensi dan pelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya, dan pengaturan berbagai
kegiatan lainnya yang langsung berkaitan atau sekurang-kurangnya
dapat mempengaruhi keadaan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Angka 4 sampai dengan Angka 18
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perairan Indonesia adalah sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang
Nomor 4 Prp Tahun 1960.
Huruf b
Yang dimaksud dengan genangan air lainnya yaitu genangan air di
daratan yang terjadi secara alamiah untuk waktu yang lama atau
sementara yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penangkapan
atau pembudidayaan ikan. Termasuk dalam pengertian ini yaitu
tambak dan kolam ikan yang diusahakan,
Huruf c
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka mewujudkan keadilan dan pemerataan dalam
pemanfaatan, maka kepada nelayan dan petani ikan yang hanya
memiliki peralatan yang mobilitas dan/atau produktivitasnya relatif
masih terbatas perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan
sebaik-baiknya agar tetap dapat memperoleh hasil untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kaitan kebijaksanaan
pengaturan yang demikian, maka pengaturan pemanfaatannya harus
memungkinkan mereka terhindar dari himpitan kegiatan yang telah
memiliki alat dan perlengkapan dengan mobilitas dan/atau
produktivitas yang lebih tinggi.
Pasal 4
Angka 1 sampai dengan Angka 4
Didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, orang cenderung menggunakan alat
penangkap ikan yang sangat produktif tetapi sering tidak selektif.
Terhadap penggunaan alat yang tidak selektif sejauh mungkin
dihindarkan.
Dalam rangka membina kelestarian sumber daya ikan, bilamana
perlu harus diatur pula mengenai jumlah yang boleh ditangkap dan
jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap. Kemungkinan
penutupan daerah, jalur, dan waktu atau musim dari kegiatan
penangkapan ikan diperlukan bagi kelangsungan daur hidup ikan.
Angka 5
Berbagai macam cara perlu ditempuh dalam melaksanakan
pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan
sumber daya ikan dan lingkungannya yaitu antara lain dengan
penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang
buatan, pembuatan tempat-tempat berlindung/berbiak ikan,
peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau
penambahan jenis-jenis makanan, pembuatan saluran ruaya bagi ikan
("fish ladders" atau "fish ways") atau pengerukan dasar perairan dan
lain-lain. Di samping itu pula perlu dikeluarkan peraturan yang
bertujuan mencegah segala perbuatan yang dapat mengakibatkan
kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Angka 6
Dalam usaha meningkatkan produktivitas perairan sering dilakukan
penebaran ikan jenis baru.
Menurut pengalaman penebaran ikan jenis baru tidak
selamanya positif hasilnya, dalam arti dapat berakibat merusakkan
sumber daya ikan setempat.
Apabila sekali waktu telah terlanjur dilakukan penebaran ikan
jenis baru yang hasilnya negatif, maka akan sangat sulit untuk
menghilangkannya. Sehubungan dengan itu penebaran ikan jenis baru
perlu dipertimbangkan secara matang dan pada umumnya didahului
dengan pelaksanaan penelitian.
Angka 7
Sesuai dengan perkembangan teknologi, maka pembudidayaan ikan
tidak lagi terbatas di kolam-kolam atau tambak, tetapi dilakukan pula
di sungai, danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut
kepentingan umum, maka perlu adanya penetapan mengenai lokasi
dan luas daerah serta cara yang dipergunakan, agar tidak
mengganggu kepentingan umum. Di samping itu pula perlu ditetapkan
ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk melindungi
pembudidayaan tersebut, misalnya terhadap pencemaran.
Angka 8
Air yang dipergunakan untuk pembudidayaan di kolam atau tambak
tidak dapat dipisahkan dari jaringan irigasi, sungai, dan danau atau
sebaliknya, sehingga usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan
hama dan penyakit ikan di tempat-tempat tersebut akan sangat
mempengaruhi. Untuk itu agar tidak terjadi akibat yang merugikan,
perlu diatur tentang cara pencegahan dan pemberantasannya
termasuk penggunaan jenis obat-obatan.
Pasal 5
Tindak karantina ikan dalam pengangkutan ikan hidup dilakukan untuk
mencegah menjalarnya hama dan penyakit ikan berbahaya dari satu wilayah
ke wilayah yang lain terutama antar pulau di dalam wilayah Republik
Indonesia atau antar negara.
Tujuan pelaksanaan tindak karantina ialah untuk melindungi para petani ikan
di daerah penerima agar mereka terlindungi dari kemungkinan menjalarnya
penyakit ikan yang berbahaya dari daerah pengirim. Oleh karena itu dalam
peraturan pelaksanaan yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan pasal ini
perlu diperhatikan agar tindak karantina tidak mengakibatkan terhambatnya
kelancaran arus pengangkutan ikan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Penggunaan bahan peledak, bahan beracun, aliran listrik dan lain- lain
tidak saja mematikan ikan, tetapi dapat pula mengakibatkan
kerusakan pada lingkungan dan merugikan nelayan dan petani ikan.
Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat digunakannya bahan dan alat
termaksud, maka pengembalian ke dalam keadaan seperti semula
akan membutuhkan waktu yang sangat lama, atau bahkan mungkin
mengakibatkan kepunahan. Oleh karenanya, penggunaan bahanbahan
tersebut harus dilarang.
Ayat (2)
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ilmiah atau kepentingan teknik
lainnya, seperti untuk mengetahui sampai sejauh mana akibat yang
ditimbulkan oleh suatu bahan peledak/beracun dan penggunaan alat
lainnya, perlu dilakukan percobaan-percobaan untuk memperoleh data
tentang akibat-akibatnya. Di samping itu mungkin untuk keperluan
teknik lainnya diperlukan pula penggunaan bahan peledak atau bahan
lainnya untuk memperoleh data kedalaman air, misalnya. Untuk
kepentingan-kepentingan yang sedemikian rupa perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
Ayat (1)
Pasal ini tidak mengurangi kemungkinan dilakukannya kegiatankegiatan
lain di wilayah perikanan Republik Indonesia sepanjang
kegiatan-kegiatan tersebut telah disertai langkah-langkah pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Jenis-jenis ikan tertentu pada suatu saat mungkin sudah harus
dianggap langka. Untuk itu demi kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan serta pelestariannya perlu diadakan perlindungan kepada
jenis-jenis tersebut dari kegiatan penangkapan. Di samping itu perlu
ditempuh berbagai langkah baik oleh Pemerintah sendiri ataupun
dengan mendorong masyarakat untuk ikut serta membudidayakan
jenis tersebut dalam rangka meningkatkan populasinya. Demikian pula
halnya daerah-daerah perairan tertentu mungkin memiliki sifat-sifat
khas dan sangat indah. Keadaan alam yang demikian perlu ditetapkan
sebagai suatu suaka perikanan demi kepentingan-kepentingan
nasional tersebut. Terhadap suaka perikanan yang demikian perlu
dihindarkan dari kegiatan yang mungkin dapat merusakkan
keindahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengecualian terhadap ketentuan ayat (1), yaitu pemanfaatan yang
dilakukan oleh orang atau badan hukum asing hanya dapat diizinkan di
bidang penangkapan ikan sepanjang negara Republik Indonesia terikat
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan persetujuan internasional
atau ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal usaha perikanan, khususnya di bidang penangkapan dan
pembudidayaan ikan, maka untuk dapat berlangsungnya pemanfaatan
sumber daya ikan secara terus menerus perlu dilakukan pengendalian
pemanfaatan agar tidak melampaui potensi yang tersedia.
Pelaksanaan pengendalian tersebut dalam bentuk tindakan preventif
antara lain dengan cara menetapkan tingkat pemanfaatan melalui
perizinan. Dalam perizinan sekaligus dapat ditetapkan syarat-syarat
tentang sarana dan cara yang dipergunakan, sehingga apabila
terdapat kegiatan penangkapan atau pembudidayaan ikan yang tidak
memiliki izin, maka berarti terjadi pemanfaatan sumber daya ikan di
luar pengendalian. Hal yang demikian akan merupakan penghambat
dalam rencana pengembangan perikanan sesuai dengan kaidah-kaidah
pengelolaan sumber daya ikan.
Ayat (2)
Pengecualian dari kewajiban memperoleh izin usaha ini dikhususkan
bagi para nelayan, petani ikan kecil, dan perorangan lainnya yang
usahanya lebih merupakan mata pencaharian untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-hari misalnya usaha perikanan oleh nelayan
dengan kapal perikanan yang tidak melebihi ukuran tertentu yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Walaupun demikian, untuk
kepentingan pengumpulan data yang diperlukan dalam rangka
pembinaan usaha perikanan dan pengelolaan sumber daya ikan pada
umumnya, terhadap usaha dengan skala inipun diperlukan adanya
pencatatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Kepada setiap orang atau badan hukum yang berusaha di bidang
penangkapan atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di
perairan lainnya di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia
dikenakan pungutan perikanan, karena mereka ini telah memperoleh
manfaat langsung dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Sedang terhadap usaha budidaya ikan yang dilakukan di tambak atau
di kolam di atas tanah yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan
telah menjadi hak tertentu dari yang bersangkutan, tidak
dikenakan pungutan perikanan.
Ayat (2)
Pengecualian secara mendasar, yaitu pembebasan pengenaan
pungutan perikanan adalah diberlakukan bagi nelayan dan petani ikan
kecil yang kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas,
Ayat (2)
Kegiatan penelitian dan ilmiah lainnya untuk memperoleh data dalam
rangka pengelolaan sumber daya ikan di laut baik yang dilakukan oleh
Pemerintah maupun badan-badan swasta sudah lazim dilakukan dalam
bentuk kerja sama dengan badan-badan ilmiah asing. Hal ini
mengingat bahwa sifat sumber daya ikan secara ilmiah tidak mengenal
batas-batas kewilayahan negara. Dalam pelaksanaan kerja sama
penelitian tersebut seringkali terjadi bahwa badan-badan ilmiah asing
menyediakan kapal penelitian dengan bendera dari negara asing yang
bersangkutan. Pemanfaatan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia memerlukan dana investasi yang besar terutama
untuk membiayai pengadaan kapal-kapal perikanan yang berukuran
besar serta menggunakan teknologi maju, yang untuk sementara
masih merupakan suatu kelangkaan yang masih sulit dipenuhi oleh
usaha-usaha perikanan Indonesia. Untuk itu dalam rangka
mengembangkan usaha perikanan menuju optimalisasi pemanfaatan
sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh usahausaha
perikanan Indonesia, maka kepada mereka perlu diberi
kesempatan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak asing dalam
bentuk sewa atau beli sewa kapal perikanan berbendera asing. Dengan
sendirinya perlu diadakan pembatasan waktu selesainya sewa atau
beli sewa di samping syarat-syarat keharusan untuk menggunakan
tenaga kerja Indonesia.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan kegiatan penangkapan ikan yang tidak komersial
adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga Pemerintah
atau swasta dalam rangka pendidikan, penyuluhan, dan penelitian serta
kegiatan ilmiah lainnya. Juga digolongkan dalam pengertian ini ialah kegiatan
penangkapan ikan untuk kesenangan atau wisata. Mengenai hal-hal di atas
pada saatnya perlu diatur, karena kegiatan-kegiatan tersebut apabila
dilakukan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama juga
mempengaruhi potensi sumber daya ikan.
Pasal 14
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan penyusunan rencana pengembangan perikanan serta penilaian
kemajuannya, diperlukan data teknik dan data produksi perikanan yang
dapat memberikan gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan yang tersedia. Data tersebut meliputi antara lain
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah, musim, dan jumlah penangkapan/pembudidayaan ikan;
d. luas daerah pembudidayaan ikan dan jumlah produksinya;
e. jumlah nelayan/petani ikan;
f. produk, ukuran ikan yang tertangkap, musim pemijahan ikan
dan sebagainya.
Setelah data-data tersebut diolah, Pemerintah melaksanakan
penyebaran seluas-luasnya terutama kepada para nelayan dan petani
ikan.
Pasal 15
Ayat (1)
Kegiatan penelitian dan ilmiah lainnya akan dapat mengungkapkan
segala permasalahan yang mendasar mengenai sumber daya ikan,
lingkungan, dan pemanfaatan serta berbagai aspek lain di bidang
perikanan. Untuk itu pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah
lainnya harus ditujukan untuk menemukan daerah-daerah perikanan
baru, jenis-jenis ikan baru, alat serta cara penangkapan dan
pembudidayaan ikan yang lebih berdaya guna dan berhasil guna dan
mengetahui tingkat kesuburan sumber daya ikan dalam rangka
pengembangan perikanan tanpa membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya.
Ayat (2)
Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya di
bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara. Hal yang
demikian dilakukan antara lain berhubung dengan adanya jenis-jenis
ikan tertentu yang merupakan kesatuan potensi dari dua negara atau
lebih atau jenis-jenis ikan yang kehidupannya beruaya jauh ("highly
migratory species") yang meliputi perairan laut dari berbagai negara.
Terutama mengenai pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan oleh
Pemerintah dimana perlu dapat diikutsertakan lembaga penelitian
swasta nasional. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi lembagalembaga
penelitian swasta nasional ini mengambil prakarsa untuk
melaksanakan penelitian sendiri. Dalam rangka pembinaan terhadap
prakarsa yang demikian, maka lembaga-lembaga swasta tersebut
perlu meminta izin terlebih dahulu.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengetahuan dan ketrampilan nelayan dan petani ikan perlu
senantiasa ditingkatkan. Untuk itu Pemerintah menyelenggarakan
pendidikan, bimbingan, latihan dan penyuluhan di bidang perikanan
agar mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
untuk meningkatkan usahanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Dengan mengingat bahwa bagian terbesar dari para nelayan dan petani ikan
kita terdiri dari nelayan dan petani ikan kecil yang dilekati dengan berbagai
macam kelemahan, maka diperlukan langkah-langkah yang nyata untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Langkah-langkah tersebut meliputi
pula usaha-usaha pembinaan kemampuan koperasi di bidang perikanan
sebagai organisasi ekonomi para nelayan dan petani ikan.
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam rangka pengembangan perikanan, khususnya di bidang
penangkapan dan pembudidayaan ikan Pemerintah berkewajiban
membangun prasarana. Dalam hal ini prasarananya antara lain
berbentuk pelabuhan perikanan dan saluran saluran induk untuk
pertambakan/perkolaman. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai
sarana penunjang untuk meningkatkan produksi dan sesuai dengan
sifatnya sebagai satu lingkungan kerja. Fungsinya meliputi berbagai
aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan,
tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil
tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal
perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat
pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan
penyuluhan dan pengumpulan data.
Ayat (2)
Mengingat fungsi pelabuhan perikanan menyangkut berbagai aspek
serta dalam kenyataannya akan merupakan lingkungan kerja yang
akan melaksanakan pelayanan umum, maka perlu ada pengaturan
secara lengkap baik yang mengenai kedudukan, fungsi, pengelolaan,
dan penggunaannya maupun tugas-tugas serta kewenangannya
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pengaturan tata niaga hasil perikanan didasarkan untuk mencapai efisiensi
rantai pemasaran. Untuk tidak berliku-likunya rantai pemasaran dan
terutama diarahkan untuk ditangani oleh koperasi-koperasi perikanan atau
badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perikanan., maka disatu
pihak diharapkan dapat mewujudkan harga yang menguntungkan para
nelayan atau petani ikan agar mereka berkesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usahanya, dan di lain fihak dapat mewujudkan harga
yang layak bagi masyarakat konsumen. Sedangkan pembinaan mutu hasil
perikanan bertujuan untuk mencapai nilai ekonomis yang maksimal dari hasil
usaha perikanan, dan melindungi masyarakat konsumen dari hal-hal yang
mungkin dapat merugikan serta membahayakan kesehatannya sebagai
akibat dari praktek-praktek yang bersifat penipuan, pemalsuan atau
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang kesehatan dan higiene.
Pasal 20
Untuk mengembangkan usaha pembudidayaan ikan dan pelestarian sumber
daya ikan perlu dicegah mengalirnya jenis-jenis ikan tertentu ke luar negeri.
Di lain pihak jenis-jenis ikan dari luar negeri yang dapat membahayakan
sumber daya ikan di dalam negeri perlu dicegah pemasukannya.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Pengawasan dan pengendalian ini menyangkut kegiatan-kegiatan
a. pemantauan ("monitoring") terhadap jumlah kapal perikanan
dan alat yang dipergunakan menurut jenis dan ukurannya, ikan
hasil tangkapan menurut jenisnya dan hari penangkapan
menurut jenis kegiatan, serta terhadap daerah dan musim
penangkapan ikan;
b. pengendalian terhadap jumlah kapal perikanan dan alat
penangkapan ikan yang diberikan izin menurut jenis dan
ukurannya;
c. pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perizinan
penangkapan ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24 sampai pasal 35
Cukup jelas.
__________________________________
0 komentar:
Post a Comment