UU RI NO 10 TAHUN 2004

Posted by Unknown on Tuesday, November 21, 2017

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2004

TENTANG  :
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti,
baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundangundangan,
maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang- undangan terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan
Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukanan Peraturan Perundang- undangan;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan
yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
(5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 1 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat
daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(9) Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
(10) Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
(11) Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perandang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
(12) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundangundangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 2
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.
Pasal 3
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
(3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal 4
Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan
Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
BAB II
ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Pasal 6
(1) Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas
a. pengayoman;
b. kemanusian;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 2 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau.
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan ymg bersangkutan.
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama
bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama
dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan
Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
BAB III
MATERI MUATAN
Pasal 8
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg berisi hal-hal yang:
a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara,
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 9
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 10
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 3 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan
desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 14
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
BAB IV
PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
Pasal 15
(1) Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional.
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
Pasal 16
(1) Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani
bidang legislasi.
(2) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB V
PEMBENTUKAIN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Kesatu
Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Pasal 17
(1) Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan
Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.
(2) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(3) Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undangundang
di luar Program Legislasi Nasional.
Pasal 18
(1) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan
oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 4 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 19
(1) Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Pasal 20
(1) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara lain tentang menteri yang
ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan
Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam jangka waktu paling lmnbat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, menteri atau
pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan undang-undang tersebut dalam jumlah yang
diperlukan.
Pasal 21
(1) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat diterima.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi
pemrakarsa.
Pasal 23
Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan rancangan undangundang
mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang-undang yang disampaikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-undang yang disampaikan Presiden digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian Kedua
Persiapan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undangundang,
rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan Peraturan Presiden.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 5 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Pasal 25
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undangundang
menjadi undang-undang. (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan
Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku. (4) Dalam hal
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan
rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang
dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Bagian Ketiga
Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah
Pasal 26
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau
bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari
gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 28
(1) Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 29
(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan dengan
surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau
bupati/walikota.
(2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh
pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota.
Pasal 30
(1) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan peryyakilan rakyat daerah
dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah.
(2) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan
olah sekretaris daerah.
Pasal 31
Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah
menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah
rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan
peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.
BAB VI
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 6 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 32
(1) Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
khasus menangani bidang legislasi.
(4) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undangundang
yang dibahas.
(5) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
(6) Tingkat-tingkat pembicaraan sebegaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 33
Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya pembahasan rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
Pasal 34
Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal 35
(1) Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden.
(2) Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 36
(1) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undangundang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(3) Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka
Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undangundang
tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Bagian Kedua
Pengesahan
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 7 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Pasal 37
(1) Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden,
disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-
Undang.
(2) Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 38
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undangundang
tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh
Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui
bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat
pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan
naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 39
(1) Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang.
(2) Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan
lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
(3) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB VII
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 40
(1) Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh dewan
perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat
kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 41
(1) Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh dewan perwakilan rakyat
daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2) Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan peraturan daerah diatur dengan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bagian Kedua
Penetapan
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 8 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Pasal 42
(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan
gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau
bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 43
(1) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau
bupati/walikota.
(2) Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh
gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah
tersebut disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman
terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
BAB VIII
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 44
(1) Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik peryusunan
peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
sebagaimara dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX
PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN
Bagian Kesatu
Pengundangan
Pasal 45
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Pasal 46
(1) Peraturan Perandang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden mengenai:
1. perigesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
2. peryataan keadaan bahaya.
d. Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 9 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Peraturan Perandang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus
diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 47
(1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perandang-undangan yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang
dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 48
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung
Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris
daerah.
Pasal 50 Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Bagian
Kedua Penyebarluasan Pasal 51 Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 52
Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah
dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
BAB X
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 53
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan
rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan
Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa
Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur,
Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan
Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 10 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun terhitang sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 57
Pada saat Undang-Undang int mulai berlaku maka:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat;
b. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang
Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia
Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan
Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang
yang telah diatur dalam Undang-Undang ini; dan
c. Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Noyember
2004.
Agar sedap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2004
PRESIDEN REPUBLIK 1NDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
>p>Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 juni 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIKINDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 53.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 11 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2004
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
I. UMUM
Sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan
tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan
sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya.
Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Perundangundangan
termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, diatur secara tumpang tindih baik
peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yaitu:
1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847: 23) yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan nasional.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian
Republik Indonesia Yogyakarta.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan
Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang
Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah
sebagai Undang-Undang Federal.
4. Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah;
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan
Lembaran Negara, dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara;
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Keputusan Presiden.
5. Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, berlaku peraturan tata tertib
yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan
daerah serta pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat daerah.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20
ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang,
maka berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian
diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan,sebagai
landasan yuridis dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah,
sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun
partisipasi masyarakat.
Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata
cara Pembentukan Peraturan Perundang undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun Undang-Undang
ini hanya mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan
Peraturan Daerah. Sedangkan mengenai pembentukan Undang-Undang Dasar tidak diatur dalam Undang-
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 12 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Undang ini. Hal ini karena tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang ke bawah.
Dalam Undang-Undang ini, pada tahap perencanaan diatur mengenai Program Legislasi Nasional dan Program
Legislasi Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap,
terarah, dan terpadu. Untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diperlukan peran tenaga
perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas
menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I Cukup jelas.
Pasal 2 Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar
negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 4
Yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini hanya Undang-Undang ke bawah, mengingat Undang-Undang
Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang.
Pasal 5
Huraf a Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundangundangan
yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam
Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.
Huruf d Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Huruf e Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 6
Ayat (1),
Huruf a Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c Yang dimaksud dengan
"asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 13 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
nasional yang berdasarkan Pancasila.
Huruf f Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan
budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf h Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf i Yang
dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum. Huruf j Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan", antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan
narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undangundang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Ayat (5) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan vang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang
bersangkutan. Pasal 11 Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. 19 Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan "yang setingkat” dalam ketentuan ini
adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa.
Pasal 14 Cukup Jelas.
Pasal 15 Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana,
maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional.
Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat program legislasi
jangka panjang, menengah, atau tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan
Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan pokok
materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu,
penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Untuk perencanaan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah. Di samping memperhatikan hal
di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perandang-undangan
daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "dalam
keadaan tertentu" adalah kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi
Nasional.
Pasal 18 Cukup jelas.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 14 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Maksud "penyebarluasan' dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai
mengetahui adanya rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna
memberikan masukan atas materi yang sedang dibabas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik
seperti televisi, radio, internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan. Dewan
Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26 Cukup jelas
Pasal 27 Cukup jelas
Pasal 28 Cukup jelas
Pasal 29 Cukup jelas
Pasal 30 Sebagaimana rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan, misalnya
melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, Internet, media cetak seperti surat kabar, majalah,
dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai mengetahui adanya rancangan peraturan
daerah yang sedang dibahas didewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian
masyarakat dapat memberikan masukan atas materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut.
Pasal 31 Cukup jelas
Pasal 32 Ketentuan mengenai tingkat pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini berlaku juga terhadap pembahasan rancangan undang-undang: a. usul inisiatif Dewan Perwakilan
Rakyat; b. ratifikasi; c. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; d. penetapan anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta nota keuangan; e. perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara;
dan f. perhitungan anggaran negara.
Pasal 33 Cukup jelas
Pasal 34 Cukup jelas
Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan
mekanisme penarikan kembali rancangan undang-undang.
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37 Ayat (1) Penyampaian rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemerintah kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara
formil rancangan undang-undang menjadi Undang-undang setelah disahkan oleh Presiden.
Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan
teknis penulisan rancangan undang-undang ke lembaran resmi Presiden sampai dengan penandatanganan
pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran
Negara Republik Indonesia oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.
Pasal 38 Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur atau
bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Penyempurnaan teknik dan penulisan, rancangan undang-undang yang masih mengandung kesalahan
tersebut mencakup pula format rancangan undang-undang.
Pasal 45 Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagai- mana dimaksud
dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Daerah misalnya Peraturan Nagari,
Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang bersangkutan.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 15 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 50 Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak, sama dengan tanggal Pengundangan,
dimungkinkan, untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundangundangan
tersebut.
Pasal 51 Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan
Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti
Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak.
Pasal 52 Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan
Perundang-undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang
terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui
media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia, stasiun daerah, atau media
cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan.
Pasal 53 Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah.
Pasal 54 Ketentuan dalam Pasal ini menyangkut keputusan di bidang administrasi di berbagai lembaga yang ada
sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4389
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
BAB II HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
B. PENYIDIKAN
C. PENCABUTAN
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 16 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
B. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG.
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK
MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG F. BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Kerangka Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan (Jika diperlukan);
F. Lampiran (Jika diperlukan).
A. JUDUL
2. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau
penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
3. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundangundangan.
4. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
5. Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan nama
Peraturan Perundang-undangan yang diubah,
Contoh
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG - UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
6. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata
atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci
perubahan sebelumnya.
Contoh: UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR…TAHUN….TENTANG ….
7. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan
perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
Contoh:
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 17 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
8. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan di depan nama Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
9. Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-
Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan
diakhiri dengan frase menjadi Undang-Undang. Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG
10. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional,
ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.
11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai teks resmi, name
perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis
dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN
TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)
12. Jika dalam, perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi,
nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa lnggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND
PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)
B. PEMBUKAAN
13. Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
3. Konsiderans;
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 18 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
4. Dasar Hukum; dan
5. Diktum.
B.1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
14. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan
Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
15. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan
di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
B.3. Konsiderans
16. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
17. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
18. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
19. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk
dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan
perundang-undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
20. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian
kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
21. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan
kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh:
Menimbang: a. bahwa….;
b. bahwa….;
c. bahwa….;
22. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi
sebagai berikut: Contoh
Menimbang: a. bahwa.....;
b. bahwa….;
c. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk
Undang-Undang (Peraturan Daerah) tentang…;
Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang atau peraturan daerah: Menimbang:
a. bahwa…;
b. bahwa…;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dakan huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Pemerihtah (Peraturan Presiden);.
23. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian
ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang
memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Lihat juga Nomor 19.
24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (-pasal)
dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor 20. Contoh : Manimbang: bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerimah tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat;
B.4. Dasar Hukum
25. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
26. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut.
27. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundangundangan
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 28. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut
dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan yang sudah
diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
29. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman
perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
30. Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 19 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis
dengan huruf kapital. Contoh Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 31. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan.
Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
Mengingat: 1. ….; 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); 32.
Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor
Staadsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847); 2. ....;
33. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan peraturan
perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
34. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan
angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh Mengingat: 1. ….; 2. ….; 3
….;
B.5. Diktum
35. Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan;
c. Nama Peraturan Perundang-undangan.
36. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan
tanda baca titik dua serta diletakkan di tangah marjin.
37. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan FRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di
tengah marjin. Contoh Undang-Undang:
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
38. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama
daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Contoh Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah)
dan
GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:
39. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata
Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda
baca titik dua.
40. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata
Menetapkan dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik
Indonesia, serta ditulis se!uruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 20 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
DAN DAERAH.
41. Pembukaan Peraturan Perandang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-
Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang
setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
C. BATANG TUBUH
42. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan
yang dirumuskan dalam pasal (-pasal).
43. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
(1) Ketentuan Umum;
(2) Materi Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);
(4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
(5) Ketentuan Penutup.
44. Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya.
Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab
tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
45. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut
dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
46. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi
administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan
demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
47. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian
sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti
kerugian.
48. Pengelompokkan materi Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sisternatis dalam buku, bab,
bagian, dan paragraf.
49. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupya sangat luas dan mempunyai
banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab,
bagian, dan paragraf.
50. Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
51. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf, b.
bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau b. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal
(-pasal).
52. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
53. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
54. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
55. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dansetiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital,
kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Bagian Kelima. Persyaratan Teknis
Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
56. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
57. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf
awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
58. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu norma, dan
dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 21 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
59. Materi Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas
daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang
menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
60. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab.
61. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
62. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
63. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
64. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
65. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Contoh: Pasal 8 (1) Satu
permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran
merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas
yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
66. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengar
rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pasal 17 Yang dapat
diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah
terdaftar pada daftar pemilih. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipaham jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang: a. telah
berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. telah terdaftar pada daftar pemilih.
67. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai
berikut: a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap
rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan
huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur
yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai
rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan
abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan
tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; h. pembagian rincian hendaknya tidak
melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang
bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.
68. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang
diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
69. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang diletakkan di
belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
70. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau
yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
71. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian. Contoh:
a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Contoh: Pasal 9 (1) …..: (2) …..: a. ….; b.
….; (dan, atau, dan/atau) c. ….
b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh: Pasal 12 (1) ….. (2) …..; a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 1. ….; 2. ….; (dan, atau, dan/atau) 3.
….
c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan
setcrusnya. Contoh: Pasal 20 (1) …. (2) …. (3) ….: a. …. b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 1. …; 2. …; (dan,
atau, dan/atau) 3. …: a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) …
d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan
seterusnya. Contoh: Pasal 22 (1) … (2) …I a. ... ; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 1. … 2. …(dan, atau,
dan/atau) 3. …: a) ….; b) ….; (dan, atau, dan/atau) c) ….: 1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …
C.1. Ketentuan Umum
72. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan
pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
73. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 22 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
74. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim vang digunakan dalam
peraturan; c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan
yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
75. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi -Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksudkan dengan:
76. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
disesuaikan dengan jenis peraturannya.
77. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka
masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik. 78. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang
digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal) selanjutnya.
79. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya
untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi.
80. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan
pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama
dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut. 81. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
82. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a.
pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih
dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara
berurutan.
C.2. Materi Pokok yang Diatur
83. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada
pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum.
84. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar
pembagian. Contoh a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2) kejahatan terhadap
martabat Presiden; (3) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; (4) kejahatan terhadap kewajiban dan
hak kenegaraan; (5) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. b. pembagian berdasarkan
urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan
peninjauan kembali. c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung,
dan Jaksa Agung Muda. C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap
ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat
dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga
bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-
Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang
ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah
materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya
adalah sebelum bab ketentuan penutup.
89. Jika di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana
ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang berisi ketentuan peralihan. Jika
tiidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup.
90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar
dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan
kepada ketentuan pidana Peraturan Perandang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98; b. pengacuan kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c.
penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam pasal (-pasal)
sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak pidana khusus.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 23 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap
orang. Contoh: Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa
sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
93. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya,
orang asing, pegawai negeri, saksi. Contoh: Pasal 95 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).
94. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah
perbuatan yang diancam dengan pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh BAB V
KETENTUAN PIDXNA Pasal 33 (1) Setiap orang ymg melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana
kurungan paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pelanggaran.
95. Rumusan ketentaan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat
kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Contoh:
?? Sifat kumulatif : Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi,
dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (figa ratus juta rupiah).
?? Sifat alternative: Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda
paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
?? Sifat kumulatif alternative: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
96. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah unsur-unsur
perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. Contoh: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)
bulan.
97. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentaan pidana akan diberlakusurutkan,
ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Contoh: Undang-
Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali
untuk ketentuan pidananya.
98. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat
tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-
Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
99. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan; b.
mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam
melakukan tindak pidana; atau c. kedua-duanya. C.A. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
100. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada
saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
101. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana
dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab,
pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup. 102. Pada
saat suatu Peraturan Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau
tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Perundang-undangan yang
baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan baru. 103. Di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara
atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. 104. Penyimpangan sementara
itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan. 105. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan
diberlakukan surut, Peraturan Perundang- undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 24 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai
berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Contoh: Selisih tunjangan perbaikan yang timbul
akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan
Peraturan Pemerintah ini.
106. Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tiddk
diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan.
107. Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan Perundang-undangan yang memuat
ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.
108. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara, bagi
tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perandang-undangan tersebut harus
memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu
atau syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut. Contoh : Izin ekspor rotan setengah jadi yang
telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah .... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
109. Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas ketentuan
Peraturan Perandang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian
baru di dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan
Perundang-undangan perubahan. Contoh: Pasal 35 (1) Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang
setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa
menurut Pasal I huruf a. C-5. Ketentuan Penutup
110. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan
penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir.
111. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-andangan;
b. nama singkat;
c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
112. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat: a. menjalankan (eksekutif),
misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai,
dan lain-lain; b. mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan.
113. Bagi nama Peraturan Perandang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat
(judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang
bersangkutan tidak dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan
atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
114. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama
singkat yang kurang tepat (Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang-Undang ini
dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan.
115. Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang sebenarnya sudah
singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang-Undang tentang Bank Sentral) Undang-Undang ini
dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
116. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang-
Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang
tentang Peradilan Administrasi Negara.
117. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau
sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan baru
harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.
118. Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kecuali untuk
pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
119. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara
umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang- undangan mana yang dicabut.
120. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan
frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan 120: Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor ... Tahun .... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
121. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat dipertimbangkan cara
penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (1)
Ordonansi Perburuan (Jachfordonantie 1931, Slaatsblad 1931: 133); (2) Ordonansi Perlindungan Binatangbinatang
Liar (Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staasblad 1931 : 134); (3) Ordonansi Perburuan Jawa dan
Madura (Jachtordonantie Java en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan (4) Ordonansi Perlindungan Alam
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 25 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
(Natuurbescherming-sordonantie 1941, Staasblad 1941 : 167); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
122. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status hukum
dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan
Peraturan Perandang-undangan yang dicabut. Contoh: Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
123. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku,
gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor ... Tahun tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
124. Pada dasarnya setiap Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang
bersangkutan diundangkan.
125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan pada saat diundankan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundangundangan
yang bersangkutan dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000. b. menyerahkan penetapan saat mulal berlakunya
kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau
oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah. Contoh: Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini
akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat
Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ...
(tenggang waktu) sejak ... Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengundangan.
126. Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan
ketakpastian mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Perandang-undangan: saat Pengundangan atau
saat berlaku efektif.
127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian
Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Contoh: Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan hendaknya dinyatakan secara
tegas dengan: a. menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat
mulai berlakunya; Contoh : Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah
negara tertentu. Contoh : Pasal 40 42 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai
berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…
129. Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal dari
pada saat pengundangannya.
130. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat
pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. ketentuan barli yang
berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; b.
rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat
hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan; c. awal dari saat mulai berlaku
Perataran Perundangan-undangan sebaiknya ditetapkan tidak Iebih dahulu dari saat rancangan Peraturan
Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang-undang itu
disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
131. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal
daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
132. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
133. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya
lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk
menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut
itu.
D. PENUTUP
134. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat: a. rumusan perintah
pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah; b. penandatanganan pengesahan atau
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 26 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
penetapan Peraturan Perundang-undangan; c. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan d. akhir
bagian penutup.
135. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan…(jenis Peraturan Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
136. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perandang-undangan dalam Berita Negara
Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan,
pengundangan...(Jenis Peraturan Perundang-undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia. 137. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ...
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah).
138. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat: a. tempat dan
tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat
yang mendatangani, tanpa gelar dan pangkat.
139. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
140. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca
koma. Contoh untuk pengesahan Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK TNDONTESIA,
tanda tangan NAMA Contoh untuk penetapan: Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, tanda tangan NAMA
141. Pengundangan Peraturan Perandang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal Pengundangan; b. nama
jabatan yang berwenang mengundangkan; c. tanda tangan; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
142. Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah
penandatanganan pengesahan atau penetapan).
143. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca
koma. Contoh Diundangkan di ... pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Peraturan Perundang-undangan) tanda tangan NAMA
144. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani rancangan undangundang
yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, maka dicantumkan kalimat
pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
145. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Walikota tidak menandatangani
rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang
mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
146. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
147. Penulisan frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh : LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN ... NOMOR.... Contoh BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..
Contoh : LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR....
E. PENJELASAN
148. a. Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan. b. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan.
149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya mernuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
150. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena
itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
151. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
152. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan perandang-undangan
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 27 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
yang bersangkutan.
153. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perandang-undangan yang bersangkutan. Contoh:
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG
KESEJAHTERAAN ANAK 154. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal.
155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL
156. Penjelasan umum meMuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan
penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta
asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
157. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan
kejelasan. Contoh: I. UMUM (1) Dasar Pemikiran ... (2) Pembagian Wilayah ... (3) Asas-asas Penyelenggara
Pemerintahan ... (4) Daerah Otonom ... (5) Wilayah Administratif ... (6) Pengawasan ...
158. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain,
pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya: a. tidak bertentangan
dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada
dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. tidak
mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.
160. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan
penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut.
161. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang dialchiri dengan.
tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal tidak digatungkan walaupun terdapat
beberapa pasal benirutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang kurang tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan
Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas, Seharusnya Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup
jelas.
162. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan
cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
163. a. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan
penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. Contoh :
Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan
para pengguna hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. b. jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu
pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut.
Contoh : Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
164. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam
batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran hatus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan/menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB II HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
165. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut
kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
166. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi yang diatur;
dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
167. a. Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundangundangan
yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan
yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... b. Jika pengaturan
materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut
mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... Contoh hurif a: Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah. Contoh huruf b : Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
168. a. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundangundangan
yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi
delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 28 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dengan... b. Jika peraturan materi tersebut
dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai…diatur dengan atau
berdasarkan… Contoh huruf a: Pasal… (1) … (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh huruf b : Pasal ... (1) .... (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pernerintah.
169. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan
pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut .
Contoh: Pasal 10 (1) … (2) ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan pendaftaran desain industri
diatur dengan Peraturan Pemenintah.
170. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang
bersangkutan.
171. Jika pasal terdiri dari banyak ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam
pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam
rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
172. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko. Contoh :
Pasal ... Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. 173. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang
setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif 174. Kewenangan yang
didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat
penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka
kemungkinan untuk itu.
175. Hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada direktur
jenderal atau pejabat yang setingkat.
176. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.
177. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah
diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak
dapat dihindari.
178. Di dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan norma atau
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan
kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar
(aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau ayat (-ayat)
selanjutnya.
B. PENYIDIKAN
179. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
180. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen
atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Daerah.
181. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya diusahakan ajar
tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan. Contoh : Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan ... (nama departemen atau instansi)... dapat diberikan kewenangan untuk
melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (atau
Peraturan Daerah) ini.
182. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang atau
Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (-pasal) sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN
183. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan
Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan
Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
184. Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundangundangan
yang setingkat.
185. Peraturam Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
186. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seturuh atau sebagian
dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
187. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 29 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam
ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
188. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai
berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan
dinyatakan tidak berlaku.
189. Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pecabutan tersendiri,
peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a.
Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah
diundangkan tetapi belum mulai berlaku. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. Contoh Pasal 1 Undang-Undang Nomor…Tahun…
tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor ...) dicabut dan di nyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
190. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundangundangan
lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuall
ditentukan lain secara tegas.
191. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku kembali,
meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
192. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan: a. menyisipkan atau menambah materi ke
dalam Peraturan Perundang-undangan; atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan
Perundang-undangan.
193. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab,
bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
194. Jika Pengaturan Perundang-undangan yang diubah mempuyai nama singkat, Peraturan Perundangundangan
perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
195. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang
ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca
kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi
perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh: Pasal 1 Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut : 1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:... 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:... 3. dan seterusnya...
b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti
ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang
ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya).
Contoh: Pasal 1 Undang-undang Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…
Nomor…; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah beberapa kali diubah dengan
Undang-undang: a. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); b. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); c. Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); c.
Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan
peralihan dari Peraturan Perundang-undangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan
peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
196. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragaf, atau pasal
baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi
yang bersangkutan. Contoh penyisipan bab: 15. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB
IX A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX A INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL Bagian Pertama
Indikasi Geografi Pasal 79 A (1) … (2) ... (3) … Pasal 79 B (1) … (2) … (3) … Contoh penyisipan pasal 9. Di
antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut
Pasal 128 A Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran
paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 30 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
197. Jika dalam I (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut
diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c,
yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh 10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2
(dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (lb) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut Pasal 19 (1) …. (1a) …. (1b)
…. (2) ….
198. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf,
pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi
keterangan dihapus, Contoh 9. Pasal 16 dihapus 10. Pasal 19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 18 (1) … (2) Dihapus (3) …
199. suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundangundangan
berubah; b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c. esensinya berubah, Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun
kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 200. Jika suatu Peraturan
Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundangundangan,
sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan
perubahan-perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada : 1. urutan bab, bagian,
paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; 2. penyebutan-penyebutan, dan 3. ejaan, jika Peraturan Perundangundangan
yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
201. Penyusunan kembali sebagaimana dimaksud pada Nomor 199 butir a dilaksanakan oleh Presiden dengan
mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut: Contoh
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN KEMBALI NASKAH UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN… TENTANG ………………….
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa untuk mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor ...
Tahun ... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor ...
Tahun ... tentang Perubahan Undang-Undang Nomor ... Tahun…tentang ... perlu menyusun kembali naskah
Undang-Undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan;
Mengingat: Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU: Naskah Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang…yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan penyesuaian mengenai urutan bab,
bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan-penyebutannya dan ejaan-ejaannya, berbunyi
sebagai tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
KEDUA: Peraturan Presiden ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
KETIGA: Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
202. Batang tubuh Undang-Undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)
menjadi undang-undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai
berikut: a. Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi undang-undang yang diikuti dengan pernyataan
melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan undang-undang penetapan yang
bersangkutan. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. Contoh Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... )
ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNATIONAL
203. Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian intemasional pada dasarnya terdiri atas 2
(dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 31 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan
naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral:
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical
Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan
Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa: Pasal 1 Mengesahkan Perjanjuan Kerjasama
antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between
the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada
tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa: Pasal 1
Mengesahkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar
Hukum yang Melarikan Diri (Agreement the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 19977 di
Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana
terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan
204. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dilakukan
dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan
dengan Peraturan Presiden.
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
205. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik
yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun
demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh: Pasal 34 (1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang lebih baik: (1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir
bathin.
206 Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat,
dan mudah dimengerti. Contoh: Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik: (1) Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang
jelas. Contoh : Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman
beralkohol.
208. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perandang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia
yang baku. Contoh kalimat yang tidak baku: (1) Rumah itu pintunya putih. (2) Pintu rumah ita warnanya putih. (3)
lzin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut. Contoh
kalimat yang baku: (1) Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih, (2) Pintu ramah itu (berwarna) putih.
Warna pintu rumah itu putih. (3) Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut izin usahanya.
209. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 32 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
definisi baru, gunakan kata meliputi. Contoh: 6. Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan
direksi badan usaha milik daerah.
210. Untuk mempersempit pengertian kata istilah isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru,
gunakan kata tidak meliputi. Contoh 5. Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
211. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa
digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Contoh : 3. Pertanian meliput pula perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Rumusan yang baik: 3. Pertanian meliputi perkebunan. 212. Di dalam Peraturan Perundangundangan
yang sama hindari penggunaan: a. beberapa isfilah yang berbeda untuk menyatakan satu. Contoh :
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan
penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan
menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan b. satu istilah untuk
beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian
penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
213. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa
mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari. 214. Jika kata atau frase tertentu digunakan
berulang-ulang maka untuk menyederhanakan rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase
sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau
akronim. Contoh: a. Menteri adalah Menteri Keuangan. b. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah… c. Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya
disingkat TNI adalah… d. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES. 215. Jika dalam peraturan
pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam
Peraturan Perundang-undangan yang dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut
hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.
216. Untuk menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan
penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang bersangkutan. Contoh: Menteri
adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan)
217. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaanya dengan
kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut: a. mempunyai konotasi yang cocok; b.
lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia; c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia. Contoh: (1) devaluasi (penurunan nilai uang) (2) devisa (alat pembayaran luar negeri)
218. Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan peraturan
perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia,
ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: (1) penghinaan terhadap peradilan (contempt
of court) (2) penggabungan (merger)
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
219. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan
waktu yang digunakan kata paling. Contoh: ... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
220. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frase paling singkat atau paling
lama; b. jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak; c. jumlah non-uang, gunakan frase paling
rendah dan paling tinggi;
221. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat,
jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat. Contoh : Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan
kesaksian di depan sidang pengadilan.
222. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang
bersangkutan. Contoh: Yang dimaksud dergan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki,
kecuali koki magang. 223. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. Contoh: Selain wajib
memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. 224. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan,
digunakan kata jika, apabila, atau frase dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan
kausal (pola karena-maka). Contoh : Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. b. Kata apabila digunakan untak menyatakan hublingan kausal
yang mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa
jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh
anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. c. Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 33 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. 225. Frase pada saat digunakan
untuk menyatakan suata keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.
226. Untuk menyatakan sifat kumulafif, digunakan kata dan. Contoh : A dan B dapat menjadi ... 227. Untuk
menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau. Contoh : A atau B wajib memberikan... 228. Untuk menyatakan
sifat kumulatif sekaligus altematif, gunakan frase dan/atau. 59 Contoh A dan/atau B dapat memperoleh... 229.
Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. Contoh: Setiap orang berhak mengemukakan
pendapat di muka umum. 230. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau mongabulkan permohonan gasi.
231. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau Iembaga,
gunakan kata dapat Contoh: Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten. 232.
Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut
tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan. 233. Untuk menyatakan pemenuhan
suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau
persyaratan tersebut. Contoh : Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut : 234. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
C. TEKNIK PENGACUAN
235. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain.
Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.
236. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan atau Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat Contoh: a. Persyaratan sebagaimana dimaksi.d
dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)... b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula... 60 237.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal
atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan. Contoh : a. ...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12. b. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) sampai dengan ayat (4). 238. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi
ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata
kecuali. Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi
calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
berlaku juga bagi tahanan kecuali ayat (4) huruf a. 239. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu
merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. Contoh: Pasal 8 (1) … (2) Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari.
240. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan
(Jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh Pasal 15 (1) … (2) … (3)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan
kepada Menteri Pertambangan. 241. Pengacuan sedapat mungkin dilakuan dengan mencantumkan pula secara
singkat materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diberikan oleh…
242. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi. 243. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan.
Contoh: Pasal Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam
rangkap 5 (lima).
244. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan
dihindarkan pengguna frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. 245. Pengacuan untuk menyatakan
berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan
frase sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
246. Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang-undangan
masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan Peraturan Perundangundangan
yang baru, gunakan frase berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis
peraturan yang bersangkutan).
247. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali… Contoh: Pada saat Undang-
Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…
Nomor…,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 34 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
dengan Pasal 10.
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG (Nama Undang-Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…;
c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG…(nama undang-undang).
BAB I …
Pasal 1 …
BAB II …
Pasal ...
BAB ... (dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal…
MENTERI (yang tugas dan tanggang jawabnya di bidang peraturan perundangundangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR…
B. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG
MENJADI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN… TENTANG...
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 35 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESI
A, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONIESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor...Tahun…tentang…(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun…Nomor…,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) ditetapkan menjadi
Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
C. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK
MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI… (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa ...; b. bahwa ...; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 36 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ... (bahasa asli perjanjian internasional
yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
Pasal 1
(1) Mengesahkan Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...
(2) Salinan naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)...dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...dalam
bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR...TAHUN...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG (untuk perubahan pertama) atau
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… (untuk perubahan kedua,
dan seterusnya)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 37 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…
TENTANG…
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undangl Nomor…Tahun…tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun...Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…), diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal…(bunyi rumusan tergantung keperluan), dan seterusnya.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan
di Jakarta pada tanggal... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundangundangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ...
NOMOR ...
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR... TAHUN...
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN... TENTANG ... (Nama Undang-Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya ...;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANGNOMOR ... TAHUN ...
TENTANG....
Pasal I
Undang-Undang Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ....,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang-
Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah
diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan
di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundangundangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 38 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
NOMOR…
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERTNTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…
TENTANG...
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuaan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN…TENTANG...
Pasal I
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan
dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi
belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
Perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
>PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya...;
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 39 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG .... (Nama Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang).
BAB I
...
Pasal 1
...
BAB II
...
Pasal ...
BAB (dan seterusnya)
Pasal 2
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA) -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG (nama Peraturan Pemerintah).
BAB I
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 40 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
(dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan diJakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
(nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…;
c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG (nama Peraturan Presiden).
BAB I
...
Pasal 1
BAB II
...
Pasal...
BAB...
(dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di Jakarta
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 41 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
pada tanggal…
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
PERATURAN DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi)
NOMOR...TAHUN...
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI (Nama Provinsi),
Menimbang : a. bahwa...;
b. bahwa...;
c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...;
2. ...;
3. dan seterusnya ...
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI (Nama Provinsi)
dan
GUBERNUR... (Nama Provinsi)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (nama Peraturan Daerah Provinsi).
BAB I KET
ENTUAN UMUM
Pasal I
BAB II ...
Pasal ...
BAB ... (dan seterusnya)
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dangan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi).
Ditetapkan di....
pada tanggal...
GUBERNUR PROVINSI ... (Nama Provinsi)
(tanda tangan)
(NAMA)
Diundangkan di ...
pada tanggal ...
SEKRETARTS DAERAH
... (Nama Provinsi)
LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ...
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota)
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 42 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
Menimbang: a. bahwa...;
b. bahwa...;
c. dan seterusnya
Mengingat: 1. ...;
2. ...;
3. dan seterusnya
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA... (nama kabupaten/kota)
dan
BUPATI/WALIKOTA.... (nama kabupaten/kota)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG...(nama Peraturan Daerah Kabupaten/Kota).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
...
BAB II ...
Pasal...
BAB...
(dan seterusnya)
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota).
Ditetapkan di...
pada tanggal...
BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota)
(tanda tangan)
(NAMA)
UU No.10 Thn 2004 - Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Page 43 of 43
http://www.geocities.com/hukumunsrat/uu/uu_10_04.htm?20051 01/03/2005

Related Posts

November 21, 2017

0 komentar:

Post a Comment