UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG :
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang telah beberapa
kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya."
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf
h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga,
sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk
usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal
11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagianbagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain
bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan
penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
sebagai berikut:
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan
atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima
atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan
pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Kelompok
Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif penyusutan
sebagaimana dimaksud
dalam
Ayat
(1)
Ayat
(2)
I. Bukan
bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak
Permanen
10 tahun 10%
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal
11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan
dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam
ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
Kelompok
Harta
Tak Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16
tahun
6,25% 12,5%
Kelompok 4 20
tahun
5% 10%
dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus,
sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau
pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima
persen)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak
jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang
penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4)
disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undangundang
ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4),
Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan
atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan
ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara
asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan
pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak."
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya."
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta
ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut
dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat
batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.dividen;
b.bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c.royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.hadiah dan penghargaan;
f.pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final,
kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan
atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah."
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang
masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu
maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat
dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini
dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000."
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak."
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984".
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada
tanggal 2
Agustus
2000
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN
WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
Menimbang :
bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang telah beberapa
kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya."
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf
h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga,
sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk
usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal
11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagianbagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain
bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan
penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
sebagai berikut:
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan
atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima
atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan
pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Kelompok
Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif penyusutan
sebagaimana dimaksud
dalam
Ayat
(1)
Ayat
(2)
I. Bukan
bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak
Permanen
10 tahun 10%
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal
11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan
dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam
ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
Kelompok
Harta
Tak Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16
tahun
6,25% 12,5%
Kelompok 4 20
tahun
5% 10%
dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus,
sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau
pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima
persen)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak
jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang
penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4)
disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undangundang
ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4),
Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan
atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan
ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara
asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan
pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak."
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya."
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta
ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut
dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat
batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.dividen;
b.bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c.royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.hadiah dan penghargaan;
f.pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final,
kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan
atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah."
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang
masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu
maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat
dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini
dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000."
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak."
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984".
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada
tanggal 2
Agustus
2000
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN
WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
0 komentar:
Post a Comment