UU RI NO 17 TAHUN 2006

Posted by Unknown on Thursday, November 23, 2017

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 17 TAHUN 2006 

TENTANG  :
PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG 
NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : 
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan 
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang 
aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan; 

b. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai 
dengan penyelenggaraan kepabeanan sehingga perlu 
dilakukan perubahan; 
c. 
bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian 
hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas 
pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan 
dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan 
dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran 
arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan 
atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah 
pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam 
daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan 
pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu 
pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan 
kepabeanan; 
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk 
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 
Mengingat : . . . 

-2 -

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

2. Undang-Undang 
Nomor 7 Tahun 1994 tentang 
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade 
Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor 3564); 
3. Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 1995 tentang 
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1995, Nomor 3612); 
Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 


MEMUTUSKAN: 


Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG 
NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN. 

Pasal I 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 
1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah 
sebagai berikut: 

1. 
Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan 
ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19, 
angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 1 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 

1. 
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang 
berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas 
barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta 
pemungutan bea masuk dan bea keluar. 
2. Daerah . . . 
-3 
-

2. 
Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia 
yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang 
udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di 
Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di 
dalamnya berlaku Undang-Undang ini. 
3. 
Kawasan pabean adalah kawasan dengan batasbatas 
tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau 
tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang 
yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan 
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 
4. 
Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan 
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat 
dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan 
ketentuan Undang-Undang ini. 
5. 
Pos pengawasan pabean adalah tempat yang 
digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk 
melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang 
impor dan ekspor. 
6. 
Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang 
kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi 
ketentuan dalam Undang-Undang ini. 
7. 
Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang 
dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan 
kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang 
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 
8. 
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik 
Indonesia. 
9. 
Direktur jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan 
Cukai. 
10. 
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur 
pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen 
Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai. 
11. 
Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat 
Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan 
tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu 
berdasarkan Undang-Undang ini. 
12. 
Orang adalah orang perseorangan atau badan 
hukum. 
13. Impor . . . 
-4 
-

13. 
Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke 
dalam daerah pabean. 
14. 
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari 
daerah pabean. 
15. 
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan 
Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang 
yang diimpor. 
15a. Bea keluar 
adalah pungutan negara berdasarkan 
Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang 
ekspor. 

16. 
Tempat penimbunan sementara adalah bangunan 
dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan 
dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun 
barang, sementara menunggu pemuatan atau 
pengeluarannya. 
17. 
Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, 
tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan 
tertentu yang digunakan untuk menimbun barang 
dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan 
penangguhan bea masuk. 
18. 
Tempat penimbunan pabean adalah bangunan 
dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan 
dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di 
kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan 
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk 
menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, 
barang yang dikuasai negara, dan barang yang 
menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang 
ini. 
19. 
Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh 
instansi teknis terkait sebagai barang yang 
pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi. 
20. 
Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan 
laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang 
menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang 
berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data 
elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di 
bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam 
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan 
perundang-undangan di bidang kepabeanan. 
21. Tarif . . . 
-5 
-

21. 
Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea 
masuk atau bea keluar. 
2. 
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 2 

(1) 
Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean 
diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea 
masuk. 
(2) 
Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut 
untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap 
telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang 
ekspor. 
(3) 
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan 
merupakan barang ekspor dalam hal dapat 
dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk 
dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean. 
3. 
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu 
Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 2A 

(1) 
Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. 
(2) 
Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor 
dengan tujuan untuk: 
a. 
menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; 
b. melindungi kelestarian sumber daya alam; 
c. 
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup 
drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran 
internasional; atau 
d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di 
dalam negeri. 
(3) 
Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap 
barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 
4. Ketentuan . . . 
-6 
-

4. 
Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga 
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 3 

(1) 
Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan 
pabean. 
(2) 
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan 
pemeriksaan fisik barang. 
(3) 
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) dilakukan secara selektif. 
(4) 
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
5. 
Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 
sehingga Penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana 
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-
Undang ini. 
6. 
Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 4A 

(1) 
Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan 
pengangkutannya dalam daerah pabean. 
(2) 
Instansi teknis terkait, melalui menteri yang 
membidangi perdagangan, memberitahukan jenis 
barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu 
kepada Menteri. 
(3) 
Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan 
barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan pemerintah. 
7. Ketentuan . . . 
-7 
-

7. 
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga 
Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 5 

(1) 
Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor 
pabean atau tempat lain yang disamakan dengan 
kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan 
pabean. 
(2) 
Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat 
bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain 
yang disamakan dengan kantor pabean. 
(3) 
Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan 
kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, 
kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. 
(4) 
Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos 
pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. 
8. 
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 5A 

(1) 
Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam 
bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk 
data elektronik. 
(2) 
Penetapan kantor pabean tempat penyampaian 
pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik 
dilakukan oleh Menteri. 
(3) 
Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-
Undang ini. 
(4) 
Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
9. Ketentuan . . . 
-8 
-

9. 
Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, 
sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 6 

(1) 
Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku 
segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini. 
(2) 
Dalam hal pengawasan pengangkutan barang 
tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, 
pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-
Undang ini. 
10. Di antara 
Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 6A 

(1) 
Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban 
pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat 
Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor 
identitas dalam rangka akses kepabeanan. 
(2) 
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan 
pemenuhan kewajiban pabean tertentu. 
(3) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau 
berdasarkan peraturan menteri. 
11. Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai 
berikut: 
BAB II 
PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR, 
DAN EKSPOR 


12. Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II 
Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Pertama 
Pengangkutan Barang 


13. Judul . . . 
-9 
-

13. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga 
BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai 
berikut: 
Paragraf 1 
Kedatangan Sarana Pengangkut 


14. 
Pasal 7 dihapus. 
15. Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 
disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 7A 

(1) 
Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan 
datang dari: 
a. luar daerah pabean; atau 
b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang 
impor, barang ekspor, dan/atau barang asal 
daerah pabean yang diangkut ke tempat lain 
dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, 
wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana 
pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum 
kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana 
pengangkut darat. 

(2) 
Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki 
daerah pabean wajib mencantumkan barang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 
manifesnya. 
(3) 
Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang 
dari luar daerah pabean atau datang dari dalam 
daerah pabean dengan mengangkut barang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib 
menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai 
barang yang diangkutnya sebelum melakukan 
pembongkaran. 
(4) 
Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, 
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 
dilaksanakan: 
a. paling . . . 
-10 -

a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak 
kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana 
pengangkut yang melalui laut; 
b. paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan 
sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut 
yang melalui udara; atau 
c. 
pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk 
sarana pengangkut yang melalui darat. 
(5) 
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan 
ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh 
paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak 
melakukan pembongkaran barang. 
(6) 
Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan 
darurat, pengangkut dapat membongkar barang 
impor terlebih dahulu dan wajib: 
a. 
melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor 
pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan 
b. menyerahkan 
pemberitahuan pabean paling 
lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah 
pembongkaran. 
(7) 
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi 
administrasi berupa denda paling sedikit 
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak 
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
(8) 
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau 
ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda 
paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) 
dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta 
rupiah). 
(9) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
16. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga 
BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai 
berikut: 
Paragraf 2 
Pengangkutan Barang 


17. Pasal 8 . . . 
-11 -

17. Pasal 8 dihapus. 
18. Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 
disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan 
Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 8A 

(1) 
Pengangkutan barang impor dari tempat 
penimbunan sementara atau tempat penimbunan 
berikat dengan tujuan tempat penimbunan 
sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya 
wajib diberitahukan ke kantor pabean. 
(2) 
Pengusaha atau importir yang telah memenuhi 
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang 
dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan 
pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa 
kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, 
wajib membayar bea masuk atas barang impor yang 
kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua 
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak 
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 
rupiah). 
(3) 
Pengusaha atau importir yang telah memenuhi 
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari 
yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean 
dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan 
tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai 
sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan 
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima 
puluh juta rupiah). 
(4) 
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara 
pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan menteri. 
Pasal 8B . . . 

-12 -

Pasal 8B 

(1) 
Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas 
untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui 
transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis 
barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di 
tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. 
(2) 
Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik 
untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui 
transmisi elektronik. 
(3) 
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara 
pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan menteri. 
Pasal 8C 

(1) 
Barang tertentu wajib diberitahukan oleh 
pengangkut baik pada waktu keberangkatan 
maupun kedatangan di kantor pabean yang 
ditetapkan. 
(2) 
Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
wajib dilindungi dokumen yang sah dalam 
pengangkutannya. 
(3) 
Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi 
jumlahnya kurang atau lebih dari yang 
diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa 
kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, 
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling 
sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling 
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
(4) 
Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi 
administrasi berupa denda paling sedikit 
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan 
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima 
puluh juta rupiah). 
(5) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 
19. Judul . . . 
-13 -

19. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga 
BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai 
berikut: 
Paragraf 3 
Keberangkatan Sarana Pengangkut 


20. Pasal 9 dihapus. 
21. Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1 
(satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 9A 

(1) 
Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan 
berangkat menuju: 
a. ke luar daerah pabean; 
b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang 
impor, barang ekspor, dan/atau barang asal 
daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di 
dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, 
wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas 
barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan 
sarana pengangkut. 

(2) 
Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke 
luar daerah pabean wajib mencantumkan barang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 
manifesnya. 
(3) 
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi 
administrasi berupa denda paling sedikit 
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling 
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 
(4) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan menteri. 
22. Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II 
Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Kedua 
Impor 


23. Pasal 10 ... 
-14 -

23. Pasal 10 dihapus. 
24. BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu 
Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi 
sebagai berikut: 
Paragraf 1 
Pembongkaran, Penimbunan, 
dan Pengeluaran 


Pasal 10A 

(1) Barang 
impor yang diangkut sarana pengangkut 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib 
dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di 
tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor 
pabean. 
(2) Barang 
impor yang diangkut sarana pengangkut 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat 
dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan 
barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean 
melalui jalur yang ditetapkan. 
(3) Pengangkut 
yang telah memenuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah 
barang impor yang dibongkar kurang dari yang 
diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak 
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi 
di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk 
atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai 
sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan 
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima 
puluh juta rupiah). 
(4) Pengangkut 
yang telah memenuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah 
barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang 
diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak 
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi 
di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi 
berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua 
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak 
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
(5) Barang . . . 
-15 -

(5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya 
dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat 
penimbunan sementara. 
(6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di 
tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat 
penimbunan sementara. 
(7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean 
atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) 
setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk: 
a. 
diimpor untuk dipakai; 
b. diimpor sementara; 
c. 
ditimbun di tempat penimbunan berikat; 
d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di 
kawasan pabean lainnya; 
e. 
diangkut terus atau diangkut lanjut; atau 
f. diekspor kembali. 
(8) Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan 
pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada 
ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi 
belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat 
bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa 
denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta 
rupiah). 
(9) Ketentuan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
Paragraf 2 
Impor Untuk Dipakai 


Pasal 10B 

(1) Impor untuk dipakai adalah: 
a. 
memasukkan barang ke dalam daerah pabean 
dengan tujuan untuk dipakai; atau 
b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean 
untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang 
berdomisili di Indonesia. 
(2) Barang . . . 
-16 -

(2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor 
untuk dipakai setelah: 
a. 
diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi 
bea masuknya; 
b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau 
c. 
diserahkan dokumen pelengkap pabean dan 
jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. 
(3) Barang 
impor yang dibawa oleh penumpang, awak 
sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam 
daerah pabean pada saat kedatangannya wajib 
diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. 
(4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa 
titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan 
pejabat bea dan cukai. 
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
(6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang 
impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b 
atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan 
menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea 
masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea 
masuk yang wajib dilunasi. 
Pasal 10C 

(1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan 
atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah 
diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi 
karena kekhilafan yang nyata. 
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditolak apabila: 
a. 
barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean; 
b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea 
dan cukai; atau 
c. 
telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan 
cukai. 
(3) Ketentuan . . . 
-17 -

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan menteri. 
Paragraf 3 
Impor Sementara 


Pasal 10D 

(1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor 
sementara jika pada waktu importasinya benar-benar 
dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 
(tiga) tahun. 
(2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali 
berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea 
dan Cukai. 
(3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan 
atau keringanan bea masuk. 
(4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan 
bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling 
tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang 
seharusnya dibayar. 
(5) Orang yang terlambat mengekspor kembali 
barang impor sementara dalam jangka waktu yang 
diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda 
sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang 
seharusnya dibayar. 
(6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor 
sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib 
membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk 
yang seharusnya dibayar. 
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan menteri. 
25. Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II 
Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Ketiga 
Ekspor 


26. Pasal 11 . . . 
-18 -

26. Pasal 11 dihapus. 
27. Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 11A 

(1) Barang 
yang akan diekspor wajib diberitahukan 
dengan pemberitahuan pabean. 
(2) Pemberitahuan pabean 
sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi 
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, 
dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean 
dan/atau jumlah tertentu. 
(3) Pemuatan 
barang ekspor dilakukan di kawasan 
pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di 
tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. 
(4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, 
sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun 
di tempat penimbunan sementara atau tempat lain 
dengan izin kepala kantor pabean. 
(5) Barang 
yang telah diberitahukan untuk diekspor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya 
dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan 
cukai. 
(6) Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi 
administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 
(lima juta rupiah). 
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
28. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 13 

(1) 
Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang 
besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam 
Pasal 12 ayat (1) terhadap: 
a. 
barang . . . 
-19 -

a. 
barang impor yang dikenakan tarif bea masuk 
berdasarkan perjanjian atau kesepakatan 
internasional; atau 
b. barang 
impor bawaan penumpang, awak sarana 
pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman 
melalui pos atau jasa titipan. 
(2) 
Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan peraturan menteri. 
29. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 14 

(1) 
Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, 
barang dikelompokkan berdasarkan sistem 
klasifikasi barang. 
(2) 
Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan 
peraturan menteri. 
30. Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), 
ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan 
ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga 
Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 15 

(1) 
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah 
nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. 
(2) 
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai 
pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan 
berdasarkan nilai transaksi barang dari barang 
identik. 
(3) 
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari 
barang serupa. 
(3a) Dalam . . . 

-20 -

(3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan 
bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada 
ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas 
permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean 
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat 
digunakan mendahului ayat (4). 

(4) 
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan 
bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. 
(5) 
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk 
penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan 
metode komputasi. 
(6) 
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea 
masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai 
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 
(2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk 
penghitungan bea masuk ditentukan dengan 
menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten 
dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur 
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) 
berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean 
dengan pembatasan tertentu. 
(7) 
Ketentuan mengenai nilai pabean untuk 
penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
31. Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), 
dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 16 . . . 

-21 -

Pasal 16 

(1) 
Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif 
terhadap barang impor sebelum penyerahan 
pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga 
puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. 
(2) 
Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai 
pabean barang impor untuk penghitungan bea 
masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean 
atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 
pemberitahuan pabean. 
(3) 
Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan 
kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir 
mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea 
masuk yang kurang dibayar sesuai dengan 
penetapan. 
(4) 
Importir yang salah memberitahukan nilai pabean 
untuk penghitungan bea masuk sehingga 
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk 
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling 
sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang 
kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu 
persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. 
(5) 
Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan 
pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk 
dibayar sebesar kelebihannya. 
(6) 
Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
32. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah 
1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 17 

(1) 
Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif 
dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk 
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak 
tanggal pemberitahuan pabean. 
(2) Dalam . . . 
-22 -

(2) 
Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal 
memberitahukan secara tertulis kepada importir 
untuk: 
a. 
melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau 
b. mendapatkan 
pengembalian bea masuk yang 
lebih dibayar. 
(3) 
Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian 
bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan 
penetapan kembali. 
(4) 
Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan 
nilai transaksi yang diberitahukan sehingga 
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, 
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling 
sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang 
kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu 
persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. 
33. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 17A 

Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat 
menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas 
barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk 
sebelum diajukan pemberitahuan pabean. 

34. Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai 
berikut: 
BAB IV 
BEA MASUK ANTI DUMPING, 
BEA MASUK IMBALAN, 
BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN, 
DAN BEA MASUK PEMBALASAN 


35. Pasal 20 dihapus. 
36. Pasal 23 dihapus. 
37. BAB IV . . . 
-23 -

37. BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga, 
Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi 
sebagai berikut: 
Bagian Ketiga 
Bea Masuk Tindakan Pengamanan 


Pasal 23A 

Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan 
terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan 
barang impor baik secara absolut maupun relatif 
terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau 
barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan 
barang impor tersebut: 

a. 
menyebabkan kerugian serius terhadap industri 
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis 
dengan barang tersebut dan/atau barang yang 
secara langsung bersaing; atau 
b. 
mengancam terjadinya kerugian serius terhadap 
industri dalam negeri yang memproduksi barang 
sejenis dan/atau barang yang secara langsung 
bersaing. 
Pasal 23B 

(1) 
Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar 
jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian 
serius atau mencegah ancaman kerugian serius 
terhadap industri dalam negeri. 
(2) 
Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari 
bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat 
(1). 
Bagian Keempat 
Bea Masuk Pembalasan 


Pasal 23C 

(1) 
Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang 
impor yang berasal dari negara yang memperlakukan 
barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. 
(2) Bea . . . 
-24 -

(2) 
Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang 
dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). 
Bagian Kelima 
Pengaturan dan Penetapan 


Pasal 23D 

(1) 
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara 
pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk 
imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea 
masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan 
peraturan pemerintah. 
(2) 
Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk 
imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea 
masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 
38. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), 
dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 25 

(1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor: 
a. 
barang perwakilan negara asing beserta para 
pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan 
asas timbal balik; 
b. barang 
untuk keperluan badan internasional 
beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; 
c. 
buku ilmu pengetahuan; 
d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan 
ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan 
atau untuk kepentingan penanggulangan bencana 
alam; 
e. 
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, 
dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk 
umum serta barang untuk konservasi alam; 
f. 
barang untuk keperluan penelitian dan 
pengembangan ilmu pengetahuan; 
g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra 
dan penyandang cacat lainnya; 
h. persenjataan . . . 
-25 -

h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan 
kepolisian, termasuk suku cadang yang 
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan 
keamanan negara; 
i. 
barang dan bahan yang dipergunakan untuk 
menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan 
dan keamanan negara; 
j. 
barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan; 
k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau 
abu jenazah; 
l. barang pindahan; 
m. barang 
pribadi penumpang, awak sarana 
pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman 
sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah 
tertentu; 
n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan 
anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi 
kepentingan masyarakat; 
o. 
barang yang telah diekspor untuk keperluan 
perbaikan, pengerjaan, dan pengujian; 
p. barang 
yang telah diekspor kemudian diimpor 
kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas 
pada saat diekspor; 
q. bahan 
terapi manusia, pengelompokan darah, dan 
bahan penjenisan jaringan. 
(2) Dihapus. 
(3) Ketentuan 
tentang pembebasan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan 
peraturan menteri. 
(4) Orang 
yang tidak memenuhi ketentuan tentang 
pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut 
Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang 
terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa 
denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) 
dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling 
banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang 
seharusnya dibayar. 
39. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), 
dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 26 . . . 

-26 -


Pasal 26 
(1) Pembebasan atau keridiberikan atas impor: 
a. barang dan bahan 
nganan 
untuk 
bea masuk 
pembangunan 
dapat 
dan 

pengembangan industri dalam rangka penanaman 
modal; 

b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan 
industri; 
c. 
barang dan bahan dalam rangka pembangunan 
dan pengembangan industri untuk jangka waktu 
tertentu; 
d. peralatan 
dan bahan yang digunakan untuk 
mencegah pencemaran lingkungan; 
e. 
bibit dan benih untuk pembangunan dan 
pengembangan industri pertanian, peternakan, 
atau perikanan; 
f. 
hasil laut yang ditangkap dengan sarana 
penangkap yang telah mendapat izin; 
g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan 
mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau 
berat karena alamiah antara saat diangkut ke 
dalam daerah pabean dan saat diberikan 
persetujuan impor untuk dipakai; 
h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah 
daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; 
i. 
barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh 
induk organisasi olahraga nasional; 
j. 
barang untuk keperluan proyek pemerintah yang 
dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar 
negeri; 
k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau 
dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk 
diekspor. 
(2) Dihapus. 
(3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan peraturan menteri. 
(4) Orang . . . 
-27 -

(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan 
atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut 
Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang 
terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa 
denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) 
dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling 
banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang 
seharusnya dibayar. 
40. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 27 

(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau 
sebagian bea masuk yang telah dibayar atas: 
a. 
kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat 
(3), atau karena kesalahan tata usaha; 
b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
25 dan Pasal 26; 
c. impor barang 
yang oleh sebab tertentu harus 
diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah 
pengawasan pejabat bea dan cukai; 
d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan 
impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang 
sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar 
bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, 
atau berkualitas lebih rendah; atau 
e. 
kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan 
Pengadilan Pajak. 
(2) Ketentuan 
tentang pengembalian bea masuk 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
41. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) 
ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 30 

(1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang 
terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas 
impor. 
(2) Bea . . . 
-28 -

(2) Bea 
masuk yang harus dibayar sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif 
yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas 
Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 15. 
(3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah. 
(4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang 
digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea 
masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 
42. Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) 
ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 32 

(1) Pengusaha 
tempat penimbunan sementara 
bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas 
barang yang ditimbun di tempat penimbunan 
sementara. 
(2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan 
dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat 
penimbunan sementaranya: 
a. 
musnah tanpa sengaja; 
b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, 
atau diimpor sementara; atau 
c. 
telah dipindahkan ke tempat penimbunan 
sementara lain, tempat penimbunan berikat atau 
tempat penimbunan pabean. 
(3) Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat 
didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang 
bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk 
golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan 
pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat 
penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan 
oleh pejabat bea dan cukai. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan 
ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
43. Judul . . . 
-29 -

43. Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai 
berikut: 
BAB VII 
PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG, 
DAN JAMINAN 


44. Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII 
Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Pertama 
Pembayaran 


45. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga 
Pasal 36 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 36 

(1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang 
terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini, 
dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain 
yang ditunjuk oleh Menteri. 
(2) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan 
jumlahnya dalam ribuan rupiah. 
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, 
penerimaan, penyetoran bea masuk, denda 
administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan 
atau berdasarkan peraturan menteri. 
46. Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, 
dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) 
ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 37 

(1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat 
pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. 
(2) Kewajiban . . . 
-30 -

(2) 
Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan 
dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala 
atau menunggu keputusan pembebasan atau 
keringanan. 
(2a) Penundaan 
kewajiban membayar bea masuk 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2): 

a. 
tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya 
ditetapkan secara berkala; 
b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan 
atau keringanan ditolak. 
(3) 
Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
47. Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1 
(satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 37A 

(1) 
Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda 
administrasi yang terutang wajib dibayar paling 
lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. 
(2) 
Atas permintaan orang yang berutang, Direktur 
Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan 
atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk 
dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan. 
(3) 
Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau 
denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 
(2) dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap 
bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. 
(4) 
Ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
48. Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu), 
yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 38 . . . 

-31 -

Pasal 38 

(1) 
Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan 
Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar 
dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan 
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan 
dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari 
pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) 
bulan. 
(2) 
Penghitungan utang atau tagihan kepada negara 
menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya 
dalam ribuan rupiah. 
(3) 
Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
sebagai berikut: 
a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang 
terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 
penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A 
ayat (1); 
b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada 
negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat 
keputusan pengembalian oleh Menteri. 
49. Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 
sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana 
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam 
Undang-Undang ini. 
50. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di 
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu 
ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 44 

(1) 
Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, 
atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat 
penimbunan berikat dengan mendapatkan 
penangguhan bea masuk untuk: 
a. 
menimbun barang impor guna diimpor untuk 
dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan 
berikat lainnya atau diekspor; 
b. 
menimbun barang guna diolah atau digabungkan 
sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; 
c. menimbun . . . 
-32 -

c. 
menimbun barang impor, dengan atau tanpa 
barang dari dalam daerah pabean, guna 
dipamerkan; 
d. 
menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual 
barang impor kepada orang dan/atau orang 
tertentu; 
e. 
menimbun barang impor guna dilelang sebelum 
diekspor atau diimpor untuk dipakai; 
f. 
menimbun barang asal daerah pabean guna 
dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan 
kembali ke dalam daerah pabean; atau 
g. 
menimbun barang impor guna didaur ulang 
sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai. 
(1a) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, 
tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu 
kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan 
berikat. 

(2) 
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian 
penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan 
bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut 
dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 
51. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 45 

(1) 
Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan 
berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai untuk: 
a. 
diimpor untuk dipakai; 
b. diolah; 
c. 
diekspor sebelum atau sesudah diolah; 
d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau 
tempat penimbunan sementara; 
e. 
dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian 
dimasukkan kembali ke tempat penimbunan 
berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh 
Menteri; atau 
f. 
dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean. 
(2) Barang . . . 
-33 -

(2) 
Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor 
untuk dipakai berupa: 
a. barang yang telah diolah atau digabungkan; 
b. barang yang tidak diolah; dan/atau 
c. barang lainnya, 
dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai 
pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri. 

(3) 
Orang yang mengeluarkan barang dari tempat 
penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan 
oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud 
mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi 
administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00 
(tujuh puluh lima juta rupiah). 
(4) 
Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak 
dapat mempertanggungjawabkan barang yang 
seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar 
bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi 
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus 
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 
52. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 49 

Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan 
sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, 
pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha 
pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan. 

53. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 50 

(1) 
Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib 
menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan 
dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat 
yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data 
elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan 
di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit 
kepabeanan. 
(2) Dalam . . . 
-34 -

(2) 
Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan 
laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang 
menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan 
dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, 
surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang 
kepabeanan beralih kepada yang mewakili. 
54. Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat, 
yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 51 

(1) 
Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 
wajib diselenggarakan dengan baik agar 
menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang 
sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari 
catatan mengenai harta, kewajiban, modal, 
pendapatan, dan biaya. 
(2) 
Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia 
dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata 
uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata 
uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh 
menteri. 
(3) 
Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang 
menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan 
dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, 
surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang 
kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) 
tahun pada tempat usahanya di Indonesia. 
(4) 
Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan 
pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau 
berdasarkan peraturan menteri. 
55. Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat 
sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 52 

(1) 
Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi 
administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 
(lima puluh juta rupiah). 
(2) Orang . . . 
-35 -

(2) 
Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat 
(3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) 
56. Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai 
berikut: 
BAB X 

LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR 
ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR 
ATAU EKSPOR BARANG HASIL 
PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN 
INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS 
BARANG YANG TERKAIT DENGAN 
TERORISME DAN/ATAU 
KEJAHATAN LINTAS NEGARA 


57. Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah 
sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 53 

(1) 
Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan 
ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis 
yang menetapkan peraturan larangan dan/atau 
pembatasan atas impor atau ekspor wajib 
memberitahukan kepada Menteri. 
(2) 
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan 
peraturan larangan dan/atau pembatasan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
(3) 
Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak 
memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika 
telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, 
atas permintaan importir atau eksportir: 
a. dibatalkan ekspornya; 
b. diekspor kembali; atau 
c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea 
dan cukai 
kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain 

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku. 
(4) Barang . . . 

-36 -

(4) 
Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor 
atau diekspor yang tidak diberitahukan atau 
diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai 
barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud 
ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundangundangan 
yang berlaku. 
58. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 54 

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek 
atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat 
mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan 
cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran 
barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang 
berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil 
pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di 
Indonesia. 

59. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 56 

Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai: 

a. 
memberitahukan secara tertulis kepada importir, 
eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya 
perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan 
ekspor; 
b. 
melaksanakan penangguhan pengeluaran barang 
impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan 
pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah 
tertulis ketua pengadilan niaga. 
60. Ketentuan . . . 
-37 -

60. Ketentuan 
Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga 
Pasal 57 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 57 

(1) 
Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk 
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. 
(2) 
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat 
diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) 
hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan 
niaga. 
(3) 
Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran 
barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 
61. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 58 

(1) 
Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas 
merek atau hak cipta yang meminta perintah 
penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi 
izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna 
memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta 
penangguhan pengeluarannya. 
(2) 
Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga 
setelah mendengarkan dan mempertimbangkan 
penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik 
barang impor atau ekspor yang dimintakan 
penangguhan pengeluarannya. 
62. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 59 . . . 

-38 -

Pasal 59 

(1) 
Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), 
pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan 
dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran 
bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk 
mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan 
dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang 
secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan 
cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan 
pengeluaran barang impor atau ekspor yang 
bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan 
ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang 
ini. 
(2) 
Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan 
hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku dalam jangka 
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan 
pengeluaran barang impor atau ekspor wajib 
secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan 
cukai yang menerima perintah dan melaksanakan 
penangguhan barang impor atau ekspor. 
(3) 
Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua 
pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis 
perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri 
tindakan penangguhan pengeluaran barang impor 
atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya 
sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan 
Undang-Undang ini. 
63. Ketentuan Pasal 
60 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 60 . . . 

-39 -

Pasal 60 

Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik 
barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan 
kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan 
secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar 
mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 

64. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 61 

(1) 
Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa 
barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan 
atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau 
hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak 
untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau 
pemegang hak yang meminta penangguhan 
pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut. 
(2) 
Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus 
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai 
pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang 
harus dibayarkan. 
65. Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian, 
yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Ketiga 
Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan 
Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara 


Pasal 64A 

(1) 
Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga 
terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan 
lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat 
bea dan cukai. 
(2) Ketentuan . . . 
-40 -

(2) 
Ketentuan mengenai tata cara penindakan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
66. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 75 

(1) 
Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan 
pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau 
di sungai menggunakaan kapal patroli atau sarana 
lainnya. 
(2) 
Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh 
pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang 
jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan 
pemerintah. 
67. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 76 

(1) 
Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-
Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta 
bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara 
Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya. 
(2) 
Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional 
Indonesia, dan/atau instansi lainnya berkewajiban 
untuk memenuhinya. 
68. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 78 

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, 
menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang 
diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan 
kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain 
yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang 
berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau 
tempat lain. 

69. Ketentuan . . . 
-41 -

69. 
Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3), 
ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 82 

(1) 
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan 
pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang 
ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan. 
(2) 
Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir, 
eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan 
sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, 
atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk 
diperiksa, membuka sarana pengangkut atau 
bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau 
pengemas yang akan diperiksa. 
(3) 
Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
tidak dipenuhi: 
a. pejabat 
bea dan cukai berwenang melakukan 
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas 
risiko dan biaya yang bersangkutan; dan 
b. yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh 
lima juta rupiah). 
(4) 
Dihapus. 
(5) 
Setiap orang yang salah memberitahukan jenis 
dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan 
pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan 
pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi 
berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) 
dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling 
banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang 
kurang dibayar. 
(6) 
Setiap orang yang salah memberitahukan jenis 
dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan 
pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak 
terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor 
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling 
sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di 
bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 
1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di 
bidang ekspor yang kurang dibayar. 
70. Di antara . . . 
-42 -

70. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal, 
yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 82A 

(1) 
Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan 
cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena 
jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor 
sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean 
disampaikan. 
(2) 
Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau 
berdasarkan peraturan menteri. 
71. Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) 
ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 85 

(1) 
Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan 
impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang 
telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil 
pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan 
pemberitahuan pabean. 
(2) 
Pejabat bea dan cukai berwenang menunda 
pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal 
pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan. 
(3) 
Pejabat bea dan cukai berwenang menolak 
memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang 
yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban 
kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. 
72. Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1 
(satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 85A 

(1) 
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan 
pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang 
diangkut dalam daerah pabean. 
(2) Pemeriksaan . . . 
-43 -

(2) 
Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan 
pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau 
pembongkaran di tempat tujuan. 
(3) 
Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap 
barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan 
menteri. 
73. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di 
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu 
ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) 
sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 86 

(1) 
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit 
kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 49. 
(1a) Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai 
berwenang: 

a. 
meminta laporan keuangan, buku, catatan dan 
dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, 
surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha 
termasuk data elektronik, serta surat yang 
berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan; 
b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari 
orang dan pihak lain yang terkait; 
c. 
memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan 
tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, 
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar 
pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan 
dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media 
penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat 
memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha 
yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan 
d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang 
perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan 
dokumen yang berkaitan dengan kegiatan 
kepabeanan. 
(2) Orang . . . 

-44 -

(2) 
Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang 
menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat 
menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai 
sanksi administrasi berupa denda sebesar 
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). 
(3) 
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit 
kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan 
menteri. 
74. Di antara Pasal 
86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu) 
pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 86A 

Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan 
adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang 
disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah 
dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk 
yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat 
(5). 

75. Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 88 

(1) 
Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan 
Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang 
memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat 
yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud 
dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang 
yang ditemukan. 
(2) 
Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas 
permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang 
menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib 
menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan 
dengan barang yang berada di tempat tersebut. 
76. Ketentuan . . . 
-45 -

76. Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga 
Pasal 90 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 90 

(1) 
Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan 
Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang 
untuk menghentikan dan memeriksa sarana 
pengangkut serta barang di atasnya. 
(2) 
Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum 
lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(3) 
Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan 
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat 
(3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran 
barang dari sarana pengangkut apabila ternyata 
barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan 
ketentuan yang berlaku. 
(4) 
Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian 
pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). 
77. Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian, 
yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut: 
Bagian Keempat 
Kewenangan Khusus Direktur Jenderal 


Pasal 92A 

(1) 
Direktur Jenderal karena jabatan atau atas 
permohonan dari orang yang bersangkutan dapat: 
a. 
membetulkan surat penetapan tagihan 
kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam 
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan 
hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan 
ketentuan Undang-Undang ini; atau 
b. mengurangi 
atau menghapus sanksi administrasi 
berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan 
pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan 
atau bukan karena kesalahannya. 
(2) Ketentuan . . . 
-46 -

(2) 
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, 
pembetulan, pengurangan, atau penghapusan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
78. Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai 
berikut: 
BAB XIII 
KEBERATAN DAN BANDING 


79. Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan 
ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) 
disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 
(satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 93 

(1) 
Orang yang berkeberatan terhadap penetapan 
pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai 
pabean untuk penghitungan bea masuk dapat 
mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada 
Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari 
sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan 
jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar. 
(1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak 
wajib diserahkan dalam hal barang impor belum 
dikeluarkan dari kawasan pabean. 

(2) 
Direktur Jenderal memutuskan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka 
waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya 
pengajuan keberatan. 
(3) 
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan 
untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi 
administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan 
apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. 
(4) 
Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur 
Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan 
yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan 
dikembalikan. 
(5) Apabila . . . 
-47 -

(5) 
Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
berupa uang tunai dan pengembalian jaminan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) 
dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari 
sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan 
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling 
lama 24 (dua puluh empat) bulan. 
(6) 
Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
80. Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 93A 

(1) 
Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat 
bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean 
untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan 
keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur 
Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak 
tanggal penetapan. 
(2) 
Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea 
masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan 
yang harus dibayar. 
(3) 
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak 
wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di 
keluarkan dari kawasan pabean. 
(4) 
Direktur Jenderal memutuskan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka 
waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya 
pengajuan keberatan. 
(5) 
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan 
untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi 
administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan 
apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. 
(6) Apabila . . . 
-48 -

(6) 
Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur 
Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan 
yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan 
dikembalikan. 
(7) 
Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
berupa uang tunai dan pengembalian jaminan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) 
dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari 
sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan 
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling 
lama 24 (dua puluh empat) bulan. 
(8) 
Ketentuan mengenai pengajuan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
81. Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, 
yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 94 

(1) 
Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa 
denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis 
hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 
60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan 
menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi 
berupa denda yang ditetapkan. 
(2) 
Direktur Jenderal memutuskan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka 
waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya 
pengajuan keberatan. 
(3) 
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan 
untuk membayar sanksi administrasi berupa denda 
yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan, 
jaminan dikembalikan. 
(4) 
Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur 
Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan 
yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan 
dikembalikan. 
(5) Apabila . . . 
-49 -

(5) 
Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
berupa uang tunai dan pengembalian jaminan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) 
dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari 
sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan 
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling 
lama 24 (dua puluh empat) bulan. 
(6) 
Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 
82. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 95 

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur 
Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur 
Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), 
Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat 
mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan 
Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak 
tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah 
pungutan yang terutang dilunasi. 

83. Pasal 96 dihapus. 
84. Pasal 97 dihapus. 
85. Pasal 98 dihapus. 
86. Pasal 99 dihapus. 
87. Pasal 100 dihapus. 
88. Pasal 101 dihapus. 
89. Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus. 
90. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 102 . . . 

-50 -

Pasal 102 

Setiap orang yang: 

a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam 
manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2); 
b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean 
atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; 
c. 
membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam 
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 7A ayat (3); 
d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih 
dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat 
tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan; 
e. 
menyembunyikan barang impor secara melawan 
hukum; 
f. 
mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan 
kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari 
tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di 
bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat 
bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya 
pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini; 
g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan 
sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak 
sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat 
membuktikan bahwa hal tersebut di luar 
kemampuannya; atau 
h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah 
barang impor dalam pemberitahuan pabean secara 
salah, 
dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang 
impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 
dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh 
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima 
miliar rupiah). 

91. Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat) 
pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal 
102D yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 102A . . . 

-51 -

Pasal 102A 

Setiap orang yang: 

a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan 
pabean; 
b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah 
barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara 
salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat 
(1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan 
negara di bidang ekspor; 
c. 
memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa 
izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 11A ayat (3); 
d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean 
tanpa izin kepala kantor pabean; atau 
e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan 
dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan 
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) 
dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang 
ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 
dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh 
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima 
miliar rupiah). 

Pasal 102B 

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan 
Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendisendi 
perekonomian negara dipidana dengan pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara 
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda 
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar 
rupiah). 

Pasal 102C . . . 

-52 -

Pasal 102C 

Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur 
dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh 
pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang 
dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana 
dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga). 

Pasal 102D 

Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak 
sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat 
membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) 
tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00 
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). 

92. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 103 

Setiap orang yang: 
a. menyerahkan pemberitahuan 
dokumen pelengkap pabean 
dipalsukan; 
pabean dan/atau 
yang palsu atau 
b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam 

pemalsuan data ke dalam buku atau catatan; 

c. 
memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak 
benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban 
pabean; atau 
d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, 
menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor 
yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak 
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) 
tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun 
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

93. Di antara . . . 
-53 -

93. Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) 
pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 103A 

(1) 
Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem 
elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau 
pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan 
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau 
pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima 
puluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
(2) 
Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang 
mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara 
berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan 
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan 
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun 
dan/atau pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
94. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 104 

Setiap orang yang: 

a. 
mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, 
atau Pasal 102B; 
b. 
memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau 
membuang buku atau catatan yang menurut Undang-
Undang ini harus disimpan; 
c. 
menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam 
penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean, 
dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau 
d. menyimpan . . . 
-54 -

d. 
menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur 
dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar 
negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai 
kelengkapan pemberitahuan pabean menurut Undang-
Undang ini 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) 
tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 

95. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 105 

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak 
membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda 
pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) 
tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

96. 
Pasal 106 dihapus. 
97. Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 
sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana 
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-
Undang ini. 
98. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga 
Pasal 108 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 108 

(1) 
Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana 
menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas 
nama suatu badan hukum, perseroan atau 
perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, 
tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana 
dijatuhkan kepada: 
a. badan . . . 

-55 -

a. 
badan hukum, perseroan atau perusahaan, 
perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; 
dan/atau 
b. mereka 
yang memberikan perintah untuk 
melakukan tindak pidana tersebut atau yang 
bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan 
pencegahannya. 
(2) 
Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan 
juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan 
atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau 
koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan 
oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan 
kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak 
dalam lingkungan badan hukum, perseoran atau 
perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi 
tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut 
masing-masing telah melakukan tindakan secara 
sendiri-sendiri atau bersama-sama. 
(3) 
Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan 
terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, 
perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu 
penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara 
hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai 
bentuk badan hukum yang bersangkutan. 
(4) 
Terhadap badan hukum, perseroan atau 
perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi 
yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang 
dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling 
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus 
juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam 
dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan 
pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut 
diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. 
99. Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di 
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu 
ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 109 . . . 

-56 
-

Pasal 109 

(1) 
Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, 
barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, 
dirampas untuk negara. 
(2) 
Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan 
untuk melakukan tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas 
untuk negara. 
(2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan 
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
102D, dapat dirampas untuk negara. 

(3) 
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana 
diatur dalam Pasal 73. 
100. 
Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, 
yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut: 
BAB XV A 
PEMBINAAN PEGAWAI 

Pasal 113A 

(1) 
Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea 
dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi 
pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur 
dalam Undang-Undang ini. 
(2) 
Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai 
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh 
Komisi Kode Etik. 
(3) 
Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut 
dengan peraturan menteri. 
(4) 
Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata 
kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan 
peraturan menteri. 
Pasal 113B . . . 

-57 
-

Pasal 113B 

Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau 
menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai 
dengan Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan 
belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan 
cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 113C 

(1) 
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan 
yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea 
dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa 
internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk 
melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan 
bukti permulaan. 
(2) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
lebih lanjut dengan peraturan menteri. 
Pasal 113D 

(1) 
Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit 
kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran 
kepabeanan berhak memperoleh premi. 
(2) 
Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% 
(lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa 
denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari 
tindak pidana kepabeanan. 
(3) 
Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang 
dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan 
perundang-undangan yang berlaku tidak boleh 
dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan 
premi ditetapkan oleh Menteri. 
(4) 
Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut 
dengan peraturan menteri. 
101. 
Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal, 
yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 115A . . . 

-58 -

Pasal 115A 

(1) 
Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan 
dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk 
sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau 
pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat 
Jenderal Bea dan Cukai. 
(2) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan 
peraturan pemerintah. 
Pasal 115B 

(1) 
Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur 
Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, 
kecuali informasi yang sifatnya tertentu. 
(2) 
Ketentuan mengenai pemberian informasi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih 
lanjut dengan peraturan menteri. 
Pasal 115C 

(1) 
Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 
dilarang memberitahukan segala sesuatu yang 
diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh 
orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk 
menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada 
pihak lain yang tidak berhak. 
(2) 
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh 
Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan 
ketentuan Undang-Undang ini. 
(3) 
Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan 
pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga 
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) 
agar memberikan keterangan dan memperlihatkan 
bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk 
keperluan pemeriksaan keuangan negara. 
(4) Untuk . . . 
-59 -

(4) 
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam 
perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8 
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri 
dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat 
Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk 
memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya 
kepada hakim. 
Pasal II 
Ketentuan Peralihan 


1. 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 
a. peraturan 
pelaksanaan yang telah ada di bidang 
kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak 
bertentangan dan/atau belum diatur dengan 
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan 
Undang-Undang ini; 
b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya 
Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan, 
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan 
perundang-undangan di bidang kepabeanan yang 
meringankan setiap orang. 
2. 
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan 
Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) 
tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. 
3. 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar . . . 

-60 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 15 Nopember 2006 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 15 Nopember 2006 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA, 
ttd 
HAMID AWALUDIN 


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93 

Salinan sesuai dengan aslinya, 

SEKRETARIAT NEGARA RI 

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan 
Bidang Perekonomian dan Industri, 

M. SAPTA MURTI, SH., MA, MKn 
PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 17 TAHUN 2006 
TENTANG 
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 
TENTANG KEPABEANAN 


I. UMUM 
Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan 
masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam 
dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 
(DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat 
suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam 
masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang 
lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. 

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang 
Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana 
penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 
Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa “Barangsiapa 
yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau 
mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini 
dipidana karena melakukan penyelundupan”, kurang tegas karena dalam 
penjelasan dinyatakan bahwa pengertian "tanpa mengindahkan" adalah 
sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika 
memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan 
pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai 
penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh 
karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakantindakan 
yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan. 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara 
eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan 
pengawasan atas lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah 
pabean, namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara 
kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, 
maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pengangkutan barang yang 
diangkut melalui laut di dalam daerah pabean untuk menghindari 
penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau, khususnya 
untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa 

pengawasan . . . 

-2 -

pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean 
merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang tidak terpisahkan 
dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawas perbatasan. 
Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat memandang perlu untuk 
memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan 
barang tertentu yang diusulkan oleh instansi teknis terkait. 

Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang 
kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan 
investor luar negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan 
kegiatan lain karena adanya pembatasan tujuan TPB hanya untuk 
menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau disediakan 
untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara 
tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu 
insentif, kepastian hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan 
fungsi TPB. 

Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-Undang 
kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek 
kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-
Undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah 
ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut. 

Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 
tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga 
tersebut belum dibentuk dengan pertimbangan telah dibentuk badan 
penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 
Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang kemudian 
diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi pengadilan pajak 
mencakup banding di bidang kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan 
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 
tidak diperlukan lagi dan dihapus. 

Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General 
Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa 
perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai 
pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam 
Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat 
digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir. 
Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan 
Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun yang berakhir pada tahun 
2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi 
tersebut harus dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang Kepabeanan 
ini. 

II. PASAL DEMI PASAL . . . 
-3 -

II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1 
Cukup Jelas. 


Pasal 2 

Ayat (1) 
Ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis, 
yaitu pada saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan 
saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar 
yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan. 

Ayat (2) 
Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor. Secara 
nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean, 
namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak 
mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang garis 
perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan 
pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap 
telah terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana 
pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean. 
Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan, 
pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk 
mengangkut barang atau orang. 
Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam 
sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pabean 
termasuk dipenuhinya pembayaran bea keluar. 

Ayat (3) 
Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut 
telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar 
daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan 
dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu 
pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai 
barang ekspor. 

Pasal 2A 
Pengenaan bea keluar dalam pasal ini dimaksudkan untuk 
melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya 
saing komoditi ekspor di pasar internasional. 

Pasal 3 . . . 

-4 -

Pasal 3 

Ayat (1) 
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai 
pemberitahuan pabean yang diajukan terhadap barang impor 
dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap 
dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan dalam daerah 
pabean oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan 
mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir. 
Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang 
dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat 
menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah 
pabean oleh pejabat bea dan cukai atau pihak lain yang bertindak 
untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 4 
Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan di dalam daerah 
pabean oleh pejabat bea dan cukai. 
Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan 
upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di 
pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir. 
Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan 
fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin 
sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan 
penelitian terhadap dokumennya. 
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai 
pemberitahuan pabean yang diajukan, pasal ini memberikan 
kewenangan kepada menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat 
mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang ekspor. 

Pasal 4A 

Ayat (1) 
Pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud 
pada ayat ini hanya dilakukan terhadap pengangkutan barang 
tersebut dari satu tempat ke tempat lain dalam daerah pabean yang 
dilakukan melalui laut. 

Pengawasan . . . 

-5 -

Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk 
mencegah penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan 
antarpulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil 
tambang, atau barang yang mendapat subsidi. 

 Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan instansi teknis terkait yaitu kementerian 
atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang. 

 Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 5 
Ayat (1) 
Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang 
demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak 
mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai 
untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang 
dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah 
ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban 
pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa 
pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean 
maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di 
suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti 
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. 

Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat 
untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan 
pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi 
dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan 
kebutuhan perdagangan. 
Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean 
dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan 
ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan 
perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean 
dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah. 
Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di 
tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) . . . 

-6 -

Ayat (3) 
Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas 
barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan 
keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan 
pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang 
sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea 
dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. 
Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat 
pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut 
merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak 
dapat dipenuhi kewajiban pabean. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 5A 

Ayat (1) 
Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi 
yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang 
diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau 
diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau 
perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang 
sejenis. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas.


 Pasal 6 

Ayat (1) 
Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan 
dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau 
ekspor harus didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang ini 
yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal 
Bea dan Cukai. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 6A . . . 

-7 -

Pasal 6A 

Ayat (1) 
Dengan semakin berkembangnya penggunaan teknologi informasi 
dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk 
mengenali pengguna jasa kepabeanan melalui nomor identitas 
pribadi yang diberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan 
nomor identitas pribadi itu dimaksudkan bahwa hanya orang yang 
memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau 
berhubungan dengan sistem teknologi informasi kepabeanan. 
Pemerolehan nomor identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara 
registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha 
pengurusan jasa kepabeanan. 

Ayat (2) 
Pengecualian yang dimaksud pada ayat ini diberikan kepada orang 
yang menyelesaikan kewajiban pabean tertentu antara lain atas 
barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui 
pos atau perusahaan jasa titipan. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 

Pasal 7A 

Ayat (1) 
Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk 
memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya 
sebelum sarana pengangkut tiba di kawasan pabean, baik terhadap 
sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler (liner) 
maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di 
kawasan pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih 
meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau 
barang ekspor. 
Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu: 

a. saat lego jangkar di perairan 
pengangkut melalui laut; 
b. saat mendarat di landasan bapengangkut melalui udara. 
pelabuhan 
ndar udara 
untuk 
untuk 
sarana 
sarana 
Ayat (2) 

Yang dimaksud dengan manifes yaitu daftar barang niaga yang 
dimuat dalam sarana pengangkut. 

Ayat (3) . . . 

-8 -

Ayat (3) 
Pemberitahuan pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua 
barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang 
impor, barang ekspor, maupun barang asal daerah pabean yang 
diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah 

pabean. 
Ayat (4) 
Cukup Jelas. 
Ayat (5) 
Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung sejak 
kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada 
penjelasan ayat (1). 
Ayat (6) 

Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan 
pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. 
Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat 
seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat 
diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di 
luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan 
melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu 
tentang kedatangan sarana pengangkut. 

Huruf a. 
Yang dimaksud dengan kantor pabean terdekat yaitu kantor 
pabean yang paling mudah dicapai. 
Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam 
ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio 
panggil, telepon, atau faksimile. 

Huruf b 
Cukup Jelas. 

Ayat (7) 
Cukup Jelas. 

Ayat (8) 
Cukup Jelas. 

Ayat (9) 
Cukup Jelas. 

Pasal 8A . . . 

-9 -

Pasal 8A 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pengangkutan pada ayat ini yaitu 
pengangkutan barang impor yang tidak melalui laut (inland 
transportation). 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha 
tempat penimbunan sementara atau pengusaha tempat 
penimbunan berikat. 
Yang dimaksud dengan importir yaitu orang yang mengimpor. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 8B 

Ayat (1) 
Mengingat tenaga listrik, barang cair, atau gas bersifat khusus, 
pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara 
khusus antara lain melalui transmisi atau saluran pipa. 
Pemberitahuan pabean atas impor atau ekspor barang tersebut harus 
didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di 
tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. 

Ayat (2) 
Peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam 
sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus 
dilakukan. 
Peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang 
menjadi objek dari Undang-Undang ini dan pengangkutan atau 
pengirimannya dapat dilakukan melalui transmisi elektronik 
misalnya melalui media internet. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 8C 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) . . . 

-10 -

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan dokumen yang sah yaitu dokumen yang 
dipersyaratkan dalam pengangkutan barang tertentu. 

Ayat (3) 
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap kelebihan 
atau kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau 
pembongkaran. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Cukup Jelas. 


Pasal 9A 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan barang impor yaitu barang impor baik yang 
diangkut lanjut maupun yang diangkut terus. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 10A 

Ayat (1) 
Pembongkaran di tempat lain dilakukan dengan memperhatikan 
teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala 
kantor pabean, misalnya sarana pengangkut tidak dapat sandar di 
dermaga atau alat bongkar tidak tersedia. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan pembongkaran pada ayat ini yaitu 
pembongkaran barang dari sarana pengangkut yang satu ke sarana 
pengangkut lainnya, dilakukan di pelabuhan yang belum dapat 
disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar 
pelabuhan (reede). 
Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus 
dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan 
dari reede ke kantor pabean. 

Ayat (3) . . . 

-11 -

Ayat (3) 
Kewajiban pada ayat ini yang harus dilakukan oleh pengangkut atau 
kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut 
dengan pemberitahuan pabean kepada pejabat bea dan cukai dan 
dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor 
yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa 
barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang 
dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam 
pemberitahuan pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada 
ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke 
peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas 
barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi 
administrasi berupa denda, jika yang bersangkutan tidak dapat 
membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut 
bukan karena kesalahannya. 
Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud 
dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 

Ayat (5) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat 
penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena 
penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat 
dikeluarkan dengan segera. 

Ayat (6) 
Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di 
tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti 
kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang, atau sebab lain 
sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun. Termasuk 
dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di 
tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari 
beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul 
selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean. 
Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku 
di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini. 

Ayat (7) 
Huruf a 
Cukup Jelas. 

Huruf b . . . 

-12 -

Huruf b 
Cukup Jelas. 


Huruf c 
Cukup Jelas. 


Huruf d 
Cukup Jelas. 


Huruf e 
Yang dimaksud dengan barang diangkut terus yaitu barang 
yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor 
pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu. 
Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu barang 
yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor 
pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu. 

Huruf f 
Yang dimaksud dengan diekspor kembali antara lain: 
1) 
pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean 

karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan; 
2) 
oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak 
boleh diimpor ke dalam daerah pabean. 

Ayat (8) 
Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk 
mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan 
pemberitahuan pabean dan bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi 
karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai, 
atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda. 

Ayat (9) 
Cukup Jelas. 


Pasal 10B 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup Jelas. 
Huruf b 
Cukup Jelas 

Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup Jelas. 
Huruf b . . . 

-13 -

Huruf b 
Ketentuan ini memungkinkan importir yang memenuhi 
persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai 
sebelum melunasi bea masuk yang terutang dengan 
menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan 
kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut 
Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan 
untuk memperlancar arus barang. 

Huruf c 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan penumpang yaitu setiap orang yang melintasi 
perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, 
tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. 
Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang 
yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana 
pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut. 

Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam 
atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta 
memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang 
berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah 
perbatasan melalui pos pengawas lintas batas. 
Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan 
pemberitahuan secara lisan atau tertulis. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu 
penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang 
tersebut telah dipenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-
Undang ini. 

Ayat (5) 
Cukup Jelas. 

Ayat (6) 
Ketentuan pada ayat ini mengatur tentang pengenaan sanksi 
administrasi berupa denda kepada importir yang memperoleh 
kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf 
c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi bea 
masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan 
kewajiban untuk membayar bea masuk menurut jangka waktu yang 
ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini. 

Pasal 10C . . . 

-14 -

Pasal 10C 

Ayat (1) 
Kekhilafan yang nyata adalah kesalahan atau kekeliruan yang 
bersifat manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering 
terjadi dalam bentuk kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau 
kesalahan penerapan peraturan yang seharusnya tidak perlu terjadi, 
dan tidak mengandung persengketaan antara pejabat bea dan cukai 
dengan pengguna jasa kepabeanan, misalnya: 

kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat; 
kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau 
pajak; 
kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya 
perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya 
peraturan baru. 
Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup Jelas. 


Huruf b 
Cukup Jelas. 


Huruf c 
Penetapan pejabat bea dan cukai dapat juga merupakan 
penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 10D 

Ayat (1) 
Tujuan pengaturan impor sementara yaitu memberikan kemudahan 
atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang 
perlombaan; kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; peralatan 
penelitian; peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan 
tenaga ahli; kemasan yang dipakai berulang-ulang; dan barang 
keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat 
pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor 
kembali. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) . . . 

-15 -

Ayat (3) 
Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang 
tersebut diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Yang dimaksud dengan terlambat yaitu barang tersebut telah selesai 
dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan, tetapi 
yang bersangkutan tidak mengurus administrasi kepabeanannya 
sampai dengan tanggal jatuh tempo. 
Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan 
nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor 
sementara tersebut. 

Ayat (6) 
Cukup Jelas. 


Ayat (7) 
Cukup Jelas. 


Pasal 11A 

Ayat (1) 
Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk 
melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan 
dari daerah pabean. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Yang dimaksud dengan dibatalkan yaitu dibatalkan seluruhnya atau 
sebagian. 

Ayat (6) 
Cukup Jelas. 


Ayat (7) . . . 

-16 -

Ayat (7) 
Cukup Jelas. 


Pasal 13 

Ayat (1) 
Ayat ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk 
menetapkan tarif bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif 
yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). 

Huruf a 
Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau 
kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia 
dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, 
misalnya bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential 
Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA). 

huruf b 
Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian 
impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, 
pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos atau jasa titipan, 
dapat dikenakan bea masuk berdasarkan tarif yang berbeda 
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), 
misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, 
mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang, 
awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya 
terdiri dari beberapa jenis. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 14 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan sistem klasifikasi barang dalam pasal ini 
yaitu suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara 
sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan, 
transaksi perdagangan, pengangkutan, dan statistik. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 15 . . . 

-17 -

Pasal 15 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya 
dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual 
atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah 
dengan: 

a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam 
harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar 
berupa: 
1. 
komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian; 
2. 
biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas 
tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan barang 
yang bersangkutan; 
3. 
biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga 
kerja pengepakan; 
b. nilai dari barang dan jasa berupa: 
1. 
material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang 
terkandung dalam barang impor; 
2. 
peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang 
digunakan untuk pembuatan barang impor; 
3. 
material yang digunakan dalam pembuatan barang impor; 
4. 
teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan 
sketsa yang dilakukan dimana saja di luar daerah pabean dan 
diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok 
secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan 
syarat barang dan jasa tersebut: 
a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan; 
b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor 
barang impor yang dibelinya; 

c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya 
atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang 
bersangkutan. 

c. 
royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara 
langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli 
barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi 
tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar 
dari barang impor yang bersangkutan; 
d. 
nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli 
untuk disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada 
penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang 
impor yang bersangkutan; 
e. biaya . . . 
-18 -

e. 
biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke 
pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean; 
f. 
biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan 
dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat 
impor di daerah pabean; 
g. 
biaya asuransi. 
Ayat (2) 
Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala 
hal, setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, 
serta: 

a. 
diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau 
b. 
diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama. 
Ayat (3) 
Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakter 

fisik dan komponen material yang sama sehingga dapat 
menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat 
dipertukarkan, serta: 

a. 
diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau 
b. 
diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama. 
Ayat (3a) 
Cukup Jelas. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud metode deduksi yaitu metode untuk menghitung 
nilai pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang 
impor yang bersangkutan, barang impor yang identik atau barang 
impor yang serupa di pasar dalam daerah pabean dikurangi biaya 
atau pengeluaran, antara lain komisi atau keuntungan, transportasi, 
asuransi, bea masuk, dan pajak. 

Ayat (5) 
Yang dimaksud dengan metode komputasi yaitu metode untuk 
menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan 
harga bahan baku, biaya proses pembuatan, dan 
biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di 
pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean. 

Ayat (6) 
Yang dimaksud dengan pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam 
perhitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak 
diizinkan ditetapkan berdasarkan: 

a. harga . . . 
-19 -

a. 
harga jual barang produksi dalam negeri; 
b. 
suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila 
ada dua alternatif nilai pembanding; 
c. 
harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor; 
d. 
biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode 
komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah 
ditentukan untuk barang identik atau serupa; 
e. 
harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke daerah 
pabean; 
f. 
harga patokan; 
g. 
nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif. 
Ayat (7) 
Cukup Jelas. 


Pasal 16 
Penetapan tarif dan nilai pabean atas pemberitahuan pabean secara 
self assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang 
diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean 
barang yang sebenarnya sehingga: 

a. 
bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean 
yang ditetapkan lebih tinggi; 
b. 
bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang 
ditetapkan lebih rendah. 
Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan 
nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik, 
tetapi sebelum diserahkan pemberitahuan pabean. 
Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, 
jika pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan harus sudah 
diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran. 
Batas waktu 30 (tiga puluh) hari dianggap cukup bagi pejabat bea dan 
cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan 
dalam melakukan penetapan. 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan penetapan tarif sebelum penyerahan 
pemberitahuan pabean yaitu penetapan tarif yang dilakukan 
terhadap importasi tertentu secara official assesment. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan penetapan nilai pabean sebelum penyerahan 
pemberitahuan pabean yaitu penetapan nilai pabean yang 
dilakukan terhadap importasi tertentu seperti impor sementara, 
barang penumpang, atau barang kiriman secara official assesment. 

Ayat (3) . . . 

-20 -

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Cukup Jelas. 


Ayat (6) 
Cukup Jelas. 


 Pasal 17 

 Ayat (1) 
Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat 
dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang 
atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit 
kepabeanan ditemukan adanya kekurangan dan/atau kelebihan 
pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan 
pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal 
membuat penetapan kembali. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pada dasarnya yang 
mengetahui besarnya suatu transaksi yang dilakukan hanyalah 
pihak penjual dan pembeli sehingga kebenaran pemberitahuan 
nilai transaksi semata-mata tergantung pada kejujuran pihak yang 
bertransaksi. Oleh karena itu, kesalahan akibat ketidakjujuran 
yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan 
audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda. 

 Pasal 17A 
Penetapan Direktur Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean 
dalam pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada 
pengguna jasa dan menyesuaikan dengan praktik kepabeanan 
internasional yang lazim dikenal sebagai Pre-Entry Classification dan 
Valuation Ruling. 

Yang . . . 

-21 -

Yang dimaksud dengan Pre-Entry Classification yaitu penetapan 
klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi barang 
sebelum diajukan pemberitahuan pabean atas permohonan importir. 

Yang dimaksud dengan Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean 
oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil audit 
kepabeanan terhadap importasi barang yang telah dan akan dilakukan 
oleh importir dalam jangka waktu tertentu. 

 Pasal 23A 
Yang dimaksud dengan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) 
yaitu bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil 
pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah 
ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai 
akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara 
langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan 
tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius 
dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan 
penyesuaian struktural. 
Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk 
kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan 
tidak harus dikenakan. 
Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang 
diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus 
didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan 
pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. 

 Pasal 23B 
Ayat (1) 
Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak 
wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan, 
atau pengenaan tambahan bea masuk, barang-barang dari negara 
yang bersangkutan dapat dikenai tarif yang besarnya berbeda 
dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


 Pasal 23C 
Cukup jelas. 

 Pasal 23D 
Cukup jelas. 

Pasal 25 . . . 

-22 -

 Pasal 25 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pembebasan bea masuk yaitu peniadaan 
pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud 
dalam Undang-Undang ini. 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan barang perwakilan negara asing 
beserta para pejabatnya yaitu barang milik atau untuk 
keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat 
pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia. 
Pembebasan tersebut diberikan apabila negara yang 
bersangkutan memberikan perlakuan yang sama terhadap 
diplomat Indonesia. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan badan 
internasional beserta pejabatnya yaitu milik atau untuk 
keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada 
Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang 
ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan 
kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor 
Indonesia. 
Huruf c 
Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi 
dari kementerian terkait terhadap buku-buku yang bertujuan 
untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka 
mencerdaskan kehidupan bangsa. 
Huruf d 
Yang dimaksud barang keperluan ibadah untuk umum yaitu 
barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan 
ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia. 

Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial 
yaitu barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan 
amal dan sosial dan tidak mengandung unsur komersial, 
seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan 
wabah penyakit. 

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan kebudayaan 
yaitu barang yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan 
kebudayaan antarnegara. Pembebasan bea masuk diberikan 
berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait. 

Huruf e 
Cukup Jelas. 


Huruf f . . . 

-23 -

Huruf f 
Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan 
pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan 
yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset atau 
percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu 
penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 
Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi 
dari kementerian terkait. 

Huruf g 
Cukup Jelas. 
Huruf h 
Cukup Jelas. 

Huruf i 
Cukup Jelas. 

Huruf j 
Yang dimaksud dengan barang contoh yaitu barang yang 
diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan 
produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang 
terbatas, baik tipe maupun merek. 

Huruf k 
Cukup Jelas. 

Huruf l 
Yang dimaksud dengan barang pindahan yaitu barang-barang 
keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili 
di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri. 

Huruf m 
Yang dimaksud dengan barang pribadi penumpang, awak 
sarana pengangkut, dan pelintas batas yaitu barang-barang 
yang dibawa oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam 
penjelasan Pasal 10B ayat (3), sedangkan barang kiriman yaitu 
barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri 
kepada penerima tertentu di dalam negeri. 

Huruf n 
Cukup Jelas. 

Huruf o 
Yang dimaksud dengan perbaikan yaitu penanganan barang 
yang rusak, usang, atau tua dengan mengembalikannya pada 
keadaan semula tanpa mengubah sifat hakikinya. 
Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang, 
selain perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan 
peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah 
sifat hakikinya. 

Pengujian . . . 

-24 -

Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan 
menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar 
yang ditetapkan. 
Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat 
diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu 
diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah 
dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea masuk. 

Huruf p 
Pembebasan bea masuk dapat diberikan terhadap barang 
setelah diekspor, diimpor kembali tanpa mengalami proses 
pengerjaan atau penyempurnaan apapun, seperti barang yang 
dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan 
pameran, pertunjukan, atau perlombaan. 
Terhadap barang yang diekspor untuk kemudian karena suatu 
hal diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan 
ketentuan segala fasilitas yang pernah diterimanya 
dikembalikan. 

Huruf q 
Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan 
penjenisan jaringan yaitu: 
1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah 

manusia serta turunannya (derivatif) seperti darah 
seluruhnya, plasma kering albumin, gamaglobulin, 
fibrinogen serta organ tubuh. 

2) bahan pengelompokkan darah yang berasal dari manusia, 
binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. 
3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, 
binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. 

Ayat (3) 
Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur 
lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna 
memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain 
digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang 
ditetapkan, seperti fasilitas pembebasan bea masuk atas impor 
barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, tetapi pada 
kenyataannya diperdagangkan. 
Pelanggaran atas ketentuan tentang pembebasan ini ditemukan 
pada pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit 
kepabeanan. 

Pasal 26 . . . 

-25 -

Pasal 26 
Pembebasan bea masuk yang diberikan dalam pasal ini yaitu 
pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang 
diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu, 
sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau 
hanya keringanan bea masuk. 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan keringanan bea masuk yaitu pengurangan 
sebagian pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang ini. 
Huruf a 

Yang dimaksud dengan penanaman modal pada huruf ini yaitu 
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri 
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan 
yang berlaku. 

Huruf b 
Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan 
pengembangan industri yaitu setiap mesin, permesinan, alat 
perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang 
digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri. 
Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi 
pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan 
(diversifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk 
tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau 
pabrik yang telah ada. 

Huruf c 
Yang dimaksud dengan barang dan bahan yaitu semua barang 
atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang 
digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan 
barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam 
keputusan pelaksanaannya. 

Huruf d 
Cukup Jelas. 


Huruf e 
Yang dimaksud dengan bibit dan benih yaitu segala jenis 
tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan 
benar-benar untuk dikembangbiakkan lebih lanjut dalam 
rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan, 
kehutanan, peternakan, atau perikanan. 

Huruf f 
Yang dimaksud dengan hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan 
laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti 
ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau sudah 
diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan. 

Yang . . . 

-26 -

Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau 
sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk 
menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang 
mempunyai peralatan pengolahan. 
Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah 
mendapat izin yaitu sarana penangkap yang berbendera 
Indonesia atau berbendera asing yang telah memperoleh izin 
dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan 
atau pengambilan hasil laut. 

Huruf g 
Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya 
perubahan kondisi barang sebelum barang diterima oleh 
pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip pemungutan bea 
masuk dalam Undang-Undang ini diterapkan atas semua 
barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi 
perubahan kondisi (kerusakan, penurunan mutu, 
kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena 
sebab alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat 
dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan, 
wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi 
sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut bea 
masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat kapan 
terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, yaitu antara 
waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor 
untuk dipakai. 

Huruf h 
Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan 
masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang 
keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum. 

Huruf i 
Cukup Jelas. 
Huruf j 
Cukup Jelas. 
Huruf k 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain 
digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang 
ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor 
barang untuk keperluan olahraga tetapi pada kenyataannya 
diperjualbelikan. 

Pasal 27 . . . 

-27 -

Pasal 27 
Ayat (1) 

Huruf a 
Kesalahan tata usaha yang dimaksud antara lain kesalahan 
tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif. 

Huruf b 
Cukup Jelas. 


Huruf c 
Yang dimaksud dengan sebab tertentu yaitu bahwa hal 
tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan 
disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah yang 
mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat 
dimasukkan ke dalam daerah pabean sehingga harus diekspor 
kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea 
dan cukai dalam kondisi yang sama. 

Huruf d 
Cukup Jelas. 
Huruf e 
Cukup Jelas. 


Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 30 
Cukup Jelas. 

Pasal 32 

Ayat (1) 
Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas bea masuk 
barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam 
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang ini, importir baru dinyatakan 
bertanggung jawab atas bea masuk sejak didaftarkannya 
pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum didaftarkannya 
pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada 
pada pengusaha tempat penimbunan sementara, yaitu tempat 
penimbunan barang impor yang bersangkutan. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) . . . 

-28 -

Ayat (3) 
Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri 
dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang), 
sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui, 
sebagai dasar perhitungan bea masuk, diambil tarif tertinggi yang 
berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan 
oleh pejabat bea dan cukai. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 36 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 


Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah 
yaitu dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi 
ribuan 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 37 

Ayat (1) 
Kewajiban membayar bea masuk yang timbul sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal 
pendaftaran pemberitahuan pabean atas impor. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan penundaan yaitu penundaan pembayaran 
bea masuk dalam rangka fasilitas pembayaran berkala dan 
penundaan pembayaran bea masuk karena menunggu keputusan 
pembebasan atau keringanan. 

Ayat (2a) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 37A . . . 

-29 -

Pasal 37A 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Direktur Jenderal dapat memberikan penundaan atau pengangsuran 
pembayaran setelah mempertimbangkan kemampuan orang dalam 
membayar utangnya dengan memperhatikan laporan keuangan dan 
kredibilitas orang tersebut. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 38 
Cukup Jelas. 

Pasal 41 
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang 
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah 
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, penagihan bea masuk 
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 

Pasal 44 

Ayat (1) 
Tujuan pengadaan tempat penimbunan berikat dalam Undang-
Undang ini yaitu memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa 
penangguhan pembayaran bea masuk. 

Yang dimaksud dengan penangguhan yaitu peniadaan sementara 
kewajiban pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban untuk 
membayar bea masuk berdasarkan Undang-Undang ini. 

Dalam tempat penimbunan berikat dilakukan kegiatan menyimpan, 
menimbun, melakukan pengetesan (Quality Control), 
memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, 
menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, 
melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling), 
dan/atau membudidayakan flora dan fauna yang berasal dari luar 
daerah pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea masuk. 

Pengadaan . . . 

-30 -

Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat 
memperlancar arus barang impor atau ekspor serta meningkatkan 
produksi dalam negeri. 

Huruf a 
Cukup Jelas. 


Huruf b 
Yang dimaksud dengan mengolah yaitu kegiatan memproses 
bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau 
barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi. 

Huruf c 
Barang impor setelah dipamerkan dapat direekspor atau dijual 
setelah dilunasi bea masuk yang terutang. 
Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor 
setelah memenuhi persyaratan ekspor sesuai ketentuan yang 
berlaku. 

Huruf d 
Yang dimaksud dengan orang tertentu yaitu warga negara asing 
yang bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar 
negeri. 

Huruf e 
Cukup Jelas. 
Huruf f 
Cukup Jelas. 


Huruf g 
Yang dimaksud dengan daur ulang yaitu suatu kegiatan 
pengolahan limbah dan barang lainnya menjadi produk yang 
mempunyai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi. 

Ayat (1a) 
Penetapan oleh menteri ini guna mengantisipasi perkembangan 
industri dan perdagangan internasional. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan pengusahaan tempat penimbunan berikat 
yaitu kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan 
pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), 
memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, 
mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai 
(disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di 
tempat penimbunan berikat. 

Pasal 45 . . . 

-31 -

Pasal 45 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Huruf a 


Cukup Jelas. 

Huruf b 
Cukup Jelas. 


Huruf c 
Yang dimaksud dengan barang lainnya antara lain waste, 
scrap, sisa/potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau 
barang yang rusak. 

Ayat (3) 
Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud 
mengelakkan pembayaran bea masuk karena telah diajukan 
pemberitahuan pabean dan bea masuk telah dilunasi, tetapi 
pengeluaran barang tersebut dilakukan tanpa persetujuan pejabat 
bea dan cukai sehingga pelanggar dikenai sanksi administrasi 
berupa denda. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan pengusaha tempat penimbunan berikat 
yaitu orang yang benar-benar melakukan kegiatan usaha 
menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan, 
memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, 
menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, 
melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling), 
dan/atau membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan 
berikat. 
Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor 
yang wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan berikat, 
kepada pengusaha tempat penimbunan berikat, wajib membayar 
bea masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda. 

Pasal 49 
Yang dimaksud dengan pembukuan yaitu suatu proses pencatatan 
yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan 
informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, 
modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan 
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang 
kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. 

Kewajiban . . . 

-32 -

Kewajiban menyelenggarakan pembukuan diperlukan untuk 
pelaksanaan audit kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari 
kawasan pabean. 
Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang 
menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana 
pengangkut di darat, laut, dan udara. 

Pasal 50 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
tidak berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu 
pimpinan badan hukum tersebut tidak berada di tempat. 
Yang dimaksud dengan yang mewakili yaitu karyawan atau 
bawahan atau pihak lain yang ditunjuk oleh orang sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 49. 

Pasal 51 

Ayat (1) 
Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dapat dihitung 
besarnya nilai transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin 
tercapainya maksud tersebut, pembukuan harus diselenggarakan 
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya 
berdasarkan standar akuntansi keuangan. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi 
bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan 
usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan 
kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) 
tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal 
akan melakukan audit kepabeanan, bukti dasar pembukuan dan 
surat yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera 
disediakan. 
Dalam hal data tersebut berupa data elektronik, orang wajib 
menjaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar 
data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil 
kembali setiap waktu. 

Ayat (4) . . . 

-33 -

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 52 
Cukup Jelas. 

Pasal 53 

Ayat (1) 
Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan 
lalulintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean 
dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan 
pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan 
terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib 
menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk 
ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan 
Cukai. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak 
memenuhi syarat yaitu barang impor atau ekspor yang telah 
diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, tetapi tidak 
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan 
larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan. 
Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan pemberitahuan 
pabean dalam pasal ini dapat berupa pemberitahuan kedatangan 
sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai, dan 
pemberitahuan ekspor barang. 
Permintaan importir atau eksportir untuk membatalkan ekspornya, 
mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan 
perundang-undangan yang berlaku menetapkan lain. 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan ditetapkan lain berdasarkan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku yaitu bahwa peraturan 
perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara 
khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang, 
misalnya impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan 
beracun. 

Penerapan . . . 

-34 -

Penerapan sanksi administrasi pada ayat ini tidak mengurangi 
ketentuan pidana. 

Pasal 54 
Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang 
daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan 
impor atau ekspor tersebut berlangsung. 
Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan 
pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut 
ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang 
daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat 
impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal 
ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut 
ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang 
daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat 
ekspor berlangsung 
Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang 
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 56 
Cukup Jelas. 

Pasal 57 
Ayat (1) 
Jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tersebut merupakan jangka 
waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut 
disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta 
penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk 
mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundangundangan 
yang berlaku. 

Ayat (2) 
Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat 
dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan 
penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 58 . . . 

-35 -

Pasal 58 

Ayat (1) 
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau 
pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum 
atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga 
telah dilanggar. 
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat 
bea dan cukai. 

Ayat (2) 
Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan 
dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan 
secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk 
menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang 
dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor 
atau ekspor tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya 
diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau 
mencacah barang-barang yang dimintakan penangguhan. 

Pasal 59 
Cukup Jelas. 

Pasal 60 
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi 
atau sifat barang yang cepat rusak. 

Pasal 61 
Cukup Jelas. 

Pasal 64A 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan penindakan yaitu penindakan di bidang 
kepabeanan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan 
Cukai terhadap barang yang diduga terkait dengan kegiatan 
terorisme dan/atau kejahatan lintas negara. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 75 . . . 

-36 -

Pasal 75 

Ayat (1) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas 
pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan 
dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, pejabat 
bea dan cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal 
patroli atau sarana pengawasan lainnya seperti radio 
telekomunikasi atau radar. 
Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau 
kapal udara milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang 
dipimpin oleh pejabat bea dan cukai sebagai komandan patroli, 
yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di daerah pabean 
sesuai dengan Undang-Undang ini. 

Ayat (2) 
Kelengkapan kapal patroli atau sarana lain dengan senjata api 
pada ayat ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang 
mengancam jiwa atau keselamatan pejabat bea dan cukai dan 
kapal patroli dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. 

Pasal 76 
Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta, 
berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau 
memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala 
hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. 
Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagaimana 
dimaksud di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang 
dilakukan oleh pejabat bea dan cukai berdasarkan peraturan 
perundang-undangan. 

Pasal 78 
Wewenang pejabat bea dan cukai yang diatur dalam ketentuan ini 
dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik 
dalam rangka pengamanan keuangan negara. 

Pasal 82 

Ayat (1) 
Ayat ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai 
untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan 
penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang 
diajukan. 
Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau 
kuasanya wajib menghadiri pemeriksaan. 

Ayat (2) . . . 

-37 -

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan menyerahkan barang untuk diperiksa pada 
ayat ini yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang 
dan menyiapkan peralatan pemeriksaan sehingga pejabat bea dan 
cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Cukup Jelas. 


Ayat (6) 
Yang dimaksud salah pada ayat ini yaitu kesalahan karena 
kelalaian. 
Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini 
meliputi bea keluar. 

Pasal 82A 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pemeriksaan karena jabatan yaitu 
pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena 
kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang ini 
dalam rangka pengawasan. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 85 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang 
bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan 
cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan. 

Pasal 85A 
Pasal ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk 
melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat 
angkut, di tempat pemuatan, dan di tempat pembongkaran di dalam 
daerah pabean. 

Pasal 86 . . . 

38 -

Pasal 86 
Ayat (1) 
Audit kepabeanan dilakukan dalam rangka pengawasan sebagai 
konsekuensi diberlakukannya: 

a. 
sistem self assesment; 
b. 
ketentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi; 
c. 
pemberian fasilitas tidak dipungut, pembebasan, keringanan, 
pengembalian, atau penangguhan bea masuk yang hanya dapat 
diawasi dan dievaluasi setelah barang impor keluar dari 
kawasan pabean. 
Ayat (1a) 

Huruf a 
Audit kepabeanan bukan merupakan audit untuk menilai atau 
memberikan opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk 
menguji tingkat kepatuhan orang terhadap ketentuan 
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. 
Laporan keuangan diminta dalam kegiatan audit kepabeanan 
dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan 
yang diberikan oleh orang kepada pejabat bea dan cukai 
adalah pembukuan yang sebenarnya yang digunakan untuk 
mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode 
diikhtisarkan dalam laporan keuangan. 
Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai 
dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang 
berkaitan dengan kepabeanan. 
Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang 
memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak 
terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan 
kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang 
dilaksanakannya. 

Huruf b 
Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait, yaitu pihakpihak 
yang mempunyai hubungan dengan orang yang terkait 
dengan transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut, 
misalnya pembeli di dalam negeri atas barang impor, pembeli 
di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di dalam negeri 
atas barang ekspor, pemasok di luar negeri atas barang impor, 
bank, dan pihak lain yang diyakini dapat memberikan 
keterangan sehubungan transaksi yang dilakukan oleh orang, 
seperti Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan. 

Huruf c 
Cukup Jelas. 


Huruf d . . . 

-39 -

Huruf d 
Cukup Jelas. 


Ayat (2) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa perbuatan yang menyebabkan 
pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya 
mencakup perbuatan tidak menyerahkan laporan keuangan, buku, 
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat 
yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, 
serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Pasal 86A 
Cukup Jelas. 

Pasal 88 

Ayat (1) 
Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang 
dimaksud dalam ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus 
untuk menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan 
dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-Undang 
ini. 
Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut 
terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang 
yang wajib bea masuk maupun yang dikenai peraturan larangan 
dan pembatasan, Direktur Jenderal dapat memerintahkan pejabat 
bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat 
tersebut. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 90 

Ayat (1) 
Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan 
cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan 
dan dipatuhinya peraturan perundang-undangan yang 
pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan 
Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana 
pengangkut serta barang di atasnya hanya dilakukan secara selektif. 

Ayat (2) . . . 

-40 -

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan 
pengawasan atas sarana pengangkut yang melakukan 
pembongkaran barang impor, pejabat bea dan cukai berwenang 
untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang 
dibongkar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean. 

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 92A 
Ayat (1) 

Huruf a 
Pembetulan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk 
menurut ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan 
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan 
atau kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu 
dibetulkan sebagaimana mestinya. 
Pengertian membetulkan dapat berarti menambah, 
mengurangi, atau menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan 
dan kekeliruannya. 
Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau 
membatalkan surat tagihan kekurangan pembayaran bea 
masuk yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi 
persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah 
terpenuhi. 

Huruf b 
Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi 
administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi 
ternyata hanya melakukan kekhilafan bukan kesalahan yang 
disengaja atau kesalahan dimaksud terjadi akibat perbuatan 
orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya 
serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 93 . . . 

-41 -

Pasal 93 

Ayat (1) 
Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya 
kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang 
memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk 
mengajukan keberatan atas keputusan pejabat bea dan cukai. 
Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa 
kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk 
mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan 
kepada Direktur Jenderal. 
Dalam hal batas waktu 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati, hak 
yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap 
disetujui. 
Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea 
masuk, kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi 
administrasi berupa denda. 
Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan 
tanpa kewajiban menyerahkan jaminan. 

Ayat (1a) 
Yang dimaksud dengan barang belum dikeluarkan pada ayat ini 
yaitu barang impor masih berada dalam kawasan pabean. 
Pihak yang mengajukan keberatan bertanggung jawab terhadap 
barang impor yang bersangkutan dan segala biaya yang mungkin 
timbul. 

Ayat (2) 
Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur 
Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang 
diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka 
waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu 
melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan 
suatu keberatan yang diajukan. 

Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu 
penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan 
sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai 
menjadi tetap. 
Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan 
sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal 
menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea 
dan cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil dari 
pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut. 

Ayat (4) . . . 

-42 -

Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Ayat (5) 
Cukup Jelas. 


Ayat (6) 
Cukup Jelas. 


Pasal 93A 

Ayat (1) 
Keberatan yang dapat diajukan yaitu keberatan terhadap 
penetapan pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean, 
misalnya penetapan berupa pencabutan fasilitas atau penetapan 
sebagai akibat penafsiran peraturan. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur 
Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang 
diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka 
waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu 
melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan 
keberatan yang diajukan. 

Ayat (5) 
Cukup Jelas. 


Ayat (6) 
Cukup Jelas. 


Ayat (7) 
Cukup Jelas. 


Ayat (8) 
Cukup Jelas. 


Pasal 94 . . . 

-43 -

Pasal 94 
Cukup Jelas. 

Pasal 95 
Cukup Jelas. 

Pasal 102 
Huruf a 
Cukup Jelas. 
Huruf b 
Cukup Jelas. 
Huruf c 
Cukup Jelas. 

Huruf d 
Yang dimaksud dengan barang impor yang masih dalam 
pengawasan pabean yaitu barang impor yang kewajiban 
pabeannya belum diselesaikan. 
Contoh membongkar atau menimbun di tempat selain tempat 
tujuan yang ditentukan atau diizinkan yaitu barang dengan 
tujuan tempat penimbunan berikat A dibongkar atau ditimbun di 
luar tempat penimbunan berikat A. 

Huruf e 
Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara 
melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak 
wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang 
tersebut. 
Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam 
dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di 
dalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, atau tempat-tempat 
lain. 

Huruf f 
Cukup Jelas. 
Huruf g 
Cukup Jelas. 


Huruf h 
Perbedaan pelanggaran yang dimaksud dalam huruf ini dengan 
pelanggaran dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini 
didasarkan atas perbuatan yang disengaja dan melawan hukum. 

Pasal 102A 
Huruf a 
Cukup Jelas. 

Huruf b . . . 

-44 -

Huruf b 
Yang dimaksud dengan pungutan negara di bidang ekspor yaitu 
bea keluar. 

Huruf c 
Yang dimaksud dengan memuat yaitu memuat barang ekspor ke 
dalam sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah 
pabean. 

Huruf d 
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran 
kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana 
pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif, 
misalnya barang ekspor dimuat di Semarang untuk tujuan 
Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta. 

Huruf e 
Cukup Jelas. 


Pasal 102B 
Cukup Jelas. 

Pasal 102C 
Cukup Jelas. 

Pasal 102D 
Cukup Jelas. 

Pasal 103 

Huruf a 
Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara lain dapat 
berupa: 

a. dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak; atau 
b. dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat 
data tidak benar. 
Huruf b 
Cukup Jelas. 
Huruf c 
Memberi keterangan lisan sebagaimana dimaksud pada huruf ini 
terutama untuk penumpang dan pelintas batas. 

Huruf d 
Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat 
ditemukannya orang menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, 
menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor 
yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 102. 

Orang . . . 

-45 -

Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, 
membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan 
barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai 
pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang 
bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik, 
yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi, 
pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat 
dituntut. 

Pasal 103A 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan mengakses yaitu tindakan atau upaya yang 
dilakukan untuk login ke sistem kepabeanan. 
Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung 
dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau 
dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau 
informasi melalui atau yang ada pada sistem elektronik. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 104 
Huruf a 
Cukup Jelas. 
Huruf b 
Cukup Jelas. 
Huruf c 
Cukup Jelas. 

Huruf d 
Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan 
atau pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean, 
misalnya invoice. 

Pasal 105 
Yang dimaksud dengan merusak yaitu merusak secara fisik atau 
melakukan perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau tanda 
pengaman. 

Pasal 107 
Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan 
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dalam 
melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir, 
yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan 
ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya, jika 
pengusaha pengurusan jasa kepabeanan memalsukan invoice yang 

diterima . . . 

-46 -

diterima dari importir sehingga pemberitahuan pabean yang diajukan 
atas nama importir tersebut lebih rendah nilai pabeannya, pengusaha 
pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana. 

Pasal 108 
Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan 
hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik 
negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk 
usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk 
persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau 
koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan 
dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan 
tersebut di atas. 
Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka 
yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau 
yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan 
demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil 
dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan 
larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah 
yang melakukan tindak pidana tersebut. 
Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang 
akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau 
pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut 
senantiasa berupa pidana denda. 

Pasal 109 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan semata-mata digunakan untuk melakukan 
tindak pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap 
benar-benar ditujukan untuk melakukan tindak pidana 
penyelundupan. 

Ayat (2a) 
Yang dimaksud dengan dapat dirampas yaitu memberikan 
kewenangan kepada hakim untuk mempertimbangkan putusan 
dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang 
hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah sedikit 
sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk 
menopang perdagangan ekonomi daerah tentunya diputuskan 
untuk tidak dirampas. 

Ayat (3) . . . 

-47 -

Ayat (3) 
Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh 
penuntut umum. Namun, barang impor atau ekspor yang 
berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk 
negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi milik negara 
yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 113A 

Ayat (1) 
Ayat ini mengamanatkan setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea 
dan Cukai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus 
mengutamakan fungsi pelayanan maupun pengawasan dalam 
menghimpun dana melalui pemungutan bea masuk, melindungi 
kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dokumen, 
dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong 
laju pembangunan nasional. 

Ayat (2) 
Mengingat dalam pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan 
Cukai berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai 
bea cukai yang melaksanakan tugas dan wewenangnya harus 
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode 
Etik apabila melanggar kode etik. 

Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 113B 
Cukup Jelas. 

Pasal 113C 

Cukup Jelas. 

Pasal 113D 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pelanggaran kepabeanan yaitu 
pelanggaran administrasi dan tindak pidana kepabeanan. 
Yang dimaksud dengan berjasa yaitu berjasa dalam menangani: 

a. 
pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi, 
menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik, 
sampai dengan menyelesaikan penagihan; atau 
b. pelanggaran . . . 
-48 -

b. 
pelanggaran pidana kepabeanan meliputi memberikan 
informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan 
penuntutan. 
Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Cukup Jelas. 


Ayat (4) 
Cukup Jelas. 


Pasal 115A 

Ayat (1) 
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk menghindari 
penyalahgunaan daerah perdagangan bebas (free trade zone) 
dan/atau pelabuhan bebas terhadap pemasukan dan/atau 
pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan seperti 
narkoba, senjata api, bahan peledak. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 115B 

Ayat (1) 
Yang dimaksud informasi yang sifatnya tertentu yaitu informasi 
yang menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan 
peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Pasal 115C 
Ayat (1) 
Cukup Jelas. 

Ayat (2) 
Cukup Jelas. 


Ayat (3) 
Ketentuan pada ayat ini sebagai upaya pengamanan keuangan 
negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau 
pejabat pemeriksa fungsional lain berdasarkan Undang-Undang. 

Ayat (4) . . . 

-49 -

Ayat (4) 
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus 
menyebutkan nama tersangka, keterangan yang diminta serta 
kaitan antara perkara pidana yang bersangkutan dengan 
keterangan yang diminta tersebut. 

Pasal II 
Cukup Jelas. 


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4661 


Previous
« Prev Post

Related Posts

November 23, 2017

0 komentar:

Post a Comment