UU RI NO 8 TAHUN 1999

Posted by Unknown on Sunday, November 12, 2017

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG  :  PERLINDUNGAN KONSUMEN

 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA  
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 Menimbang:
a.   bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil
dan  makmur  yang  merata  materiil  dan  spiritual  dalam  era  demokrasi  ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c.  bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi  dirinya  serta  menumbuhkembangkan  sikap  pelaku  usaha  yang bertanggung jawab;
e.   bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
f.    bahwa  berdasarkan  pertimbangan  tersebut  di  atas  diperlukan  perangkat  peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g.   bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;

Mengingat:
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;


Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.



BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal  1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Perlindungan  konsumen  adalah  segala  upaya  yang  menjamin  adanya  kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2.  Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3.   Pelaku  usaha  adalah  setiap  orang  perseorangan  atau  badan  usaha,  baik  yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4.  Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.   Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.   Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8.   Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non- Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula  Baku  adalah  setiap  aturan  atau  ketentuan  dan  syarat-syarat  yang  telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan  Perlindungan   Konsumen   Nasional   adalah   badan   yang  dibentuk   untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.


13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdaganga.

BAB  II
ASAS DAN TUJUAN Pasal  2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal  3

Perlindungan konsumen bertujuan :
a.   meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.   mengangkat  harkat  dan  martabat  konsumen  dengan  cara  menghindarkannya  dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.   meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.   menciptakan  sistem  perlindungan  konsumen  yang  mengandung  unsur  kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.   menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.    meningkatkan  kualitas  barang  dan/atau  jasa  yang  menjamin  kelangsungan  usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

BAB  III
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal  4

Hak konsumen adalah :
a.  hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.  hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.   hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.   hak  untuk  didengar  pendapat  dan  keluhannya  atas  barang  dan/atau  jasa  yang digunakan;


e.  hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.    hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.   hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak  diskriminatif;
h.   hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal  5

Kewajiban konsumen adalah:
a.   membaca   atau   mengikuti   petunjuk   informasi   dan   prosedur   pemakaian   atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.   beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.   membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.   mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal  6

Hak pelaku usaha adalah :
a.   hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.   hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.   hak  untuk  melakukan  pembelaan  diri  sepatutnya  di  dalam  penyelesaian  hukum sengketa konsumen;
d.  hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.   hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal  7

Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.   beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.   memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;


e.  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.    memberi   kompensasi,   ganti   rugi   dan/atau   penggantian   atas   kerugian   akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.   memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB  IV PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA Pasal  8
(1) Pelaku  usaha  dilarang memproduksi  dan/atau  memperdagangkan  barang  dan/atau jasa yang :
a.   tidak  memenuhi  atau  tidak  sesuai  dengan  standar  yang  dipersyaratkan  dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.   tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.   tidak  sesuai  dengan  ukuran,  takaran,  timbangan  dan  jumlah  dalam  hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak  sesuai  dengan  kondisi,  jaminan,  keistimewaan  atau  kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.   tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.   tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak    mencantumkan    tanggal    kadaluwarsa    atau    jangka    waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.   tidak  mengikuti  ketentuan  berproduksi  secara  halal,  sebagaimana  pernyataan
“halal yang dicantumkan dalam label;
i.    tidak  memasang  label  atau  membuat  penjelasan  barang  yang  memuat  nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j.    tidak  mencantumkan  informasi    dan/atau  petunjuk  penggunaan  barang  dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar  tanpa  memberikan  informasi  secara  lengkap  dan  benar  atas  barang dimaksud.


(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal  9

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a.   barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.   barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.  barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d.   barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.   barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.   barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.   barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.   barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.    secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.    menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k.   menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang  dan/atau  jasa  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilarang  untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal  10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.   harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.   kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.   kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.   tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.   bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.



Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan :
a.   menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.   tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.   tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.  tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.   menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal  12

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal  13

(1) Pelaku  usaha  dilarang  menawarkan,  mempromosikan,  atau  mengiklankan  suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal  14

Pelaku   usaha    dalam    menawarkan   barang    dan/atau   jasa    yang    ditujukan   untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a.   tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.   mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c.   memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.   mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.



Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal  16

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalu pesanan dilarang untuk:
a.   tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.   tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal  17

(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.   mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.   mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.   memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.   tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.  mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.   melanggar  etika  dan/atau  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

BAB  V

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU Pasal  18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.   menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.  menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;


e.   mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.   memberi  hak  kepada  pelaku  usaha  untuk  mengurangi  manfaat  jasa   atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.  menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,  lanjutan  dan/atau  pengubahan  lanjutan  yang  dibuat  sepihak  oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang- undang ini.

BAB  VI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Pasal  19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian  ganti  rugi  dilaksanakan  dalam  tenggang  waktu  7  (tujuh)  hari  setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal  20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.


Pasal  21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal  22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab   pelaku   usaha   tanpa   menutup   kemungkinan   bagi   jaksa   untuk   melakukan pembuktian.

Pasal  23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal  24

(1) Pelaku  usaha   yang  menjual  barang  dan/atau  jasa  kepada  pelaku  usaha  lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a.   pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.   pelaku  usaha  lain,  di  dalam  transaksi  jual  beli  tidak  mengetahui  adanya perubahan barang dan/atau jasa  yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal  25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :


a.   tidak  menyediakan  atau  lalai  menyediakan  suku  cadang  dan/atau  fasilitas perbaikan;
b.   tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal  26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal  27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.  barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.  cacat barang timbul pada kemudian hari, cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
c.   kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
d.   lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal  28

Pembuktian   terhadap   ada   tidaknya   unsur   kesalahan   dalam   gugatan   ganti   rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal  29

(1) Pemerintah  bertanggung  jawab  atas  pembinaan  penyelenggaraan  perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan   oleh   pemerintah   atas   penyelenggaraan   perlindungan   konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  melakukan  koordinasi  atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :


a.   terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.   berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.   meningkatnya  kualitas  sumber  daya  manusia  serta  meningkatnya  kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembinaan  penyelenggaraan  perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal  30

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan  oleh  masyarakat  dan  lembaga  perlindungan  konsumen  swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila  hasil  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi dan Tugas

Pasal  31

Dalam    rangka    mengembangkan    upaya    perlindungan   konsumen    dibentuk   Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal  32

Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.



Pasal  33

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Pasal  34

(1) Untuk   menjalankan    fungsi   sebagaimana    dimaksud   dalam    Pasal    33,    Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.   memberikan    saran    dan    rekomendasi    kepada    pemerintah    dalam    rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.   melakukan  penelitian  dan  pengkajian  terhadap  peraturan  perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.   melakukan    penelitian    terhadap    barang    dan/atau    jasa    yang    menyangkut keselamatan konsumen;
d.   mendorong    berkembangnya     lembaga     perlindungan     konsumen     swadaya masyarakat;
e.   menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.   menerima pengaduan  tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.   melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam  melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal  35

(1) Badan  Perlindungan  Konsumen  Nasional  terdiri  atas  seorang  ketua  merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Masa  jabatan  ketua,  wakil  ketua,  dan  anggota  Badan  Perlindungan  Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.



Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur :
a.   pemerintah;
b.   pelaku usaha;
c.   lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.   akademis; dan e.   tenaga ahli.

Pasal  37

Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah :
a.   warga negara Republik Indonesia;
b.   berbadan sehat;
c.   berkelakuan baik;
d.   tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.   memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f.       berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal  38

Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :
a.   meninggal dunia;
b.   mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.   bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d.   sakit secara terus menerus;
e.   berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau f.   diberhentikan.

Pasal  39

(1) Untuk  kelancaran  pelaksanaan  tugas,  Badan  Perlindungan  Konsumen  Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seoang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal  40

(1) Apabila  diperlukan  Badan  Perlindungan  Konsumen  Nasional  dapat  membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.



Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal  42

Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran  pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal  43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB  IX

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT

Pasal  44

(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan :
a.  menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.   memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.   membantu  konsumen  dalam  memperjuangkan  haknya,  termasuk  menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan  pengawasan  bersama  pemerintah  dan  masyarakat  terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB X PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum

Pasal  45

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal  46

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a.   seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.   sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.   lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk   badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.   pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan   yang   diajukan   oleh   sekelompok   konsumen,   lembaga   perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan

Pasal  47

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan  mengenai  bentuk  dan  besarnya  ganti  rugi  dan/atau  mengenai  tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal  48

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

BAB  XI

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Pasal  49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat  menjadi  anggota  badan  penyelesaian  sengketa   konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.   warga negara Republik Indonesia;
b.   berbadan sehat;
c.   berkelakuan baik;
d.   tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.   memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.   berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya
3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.



Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas :
a.   ketua merangkap anggota;
b.   wakil ketua merangkap anggota;
c.   anggota.

Pasal  51

(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal  52

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi :
a.   melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.   memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.   melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.   melaporkan  kepada  penyidik  umum  apabila  terjadi  pelanggaran  ketentuan  dalam
Undang-undang ini;
e.  menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.    melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.   memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i.    meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.    mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.   memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.    memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha  yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.



Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat  II diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal  54

(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit- dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
(4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal  55

Badan  penyelesaian  sengketa  konsumen  wajib  mengeluarkan  putusan  paling  lambat



(1) Pengadilan   Negeri   wajib   mengeluarkan   putusan   atas   keberatan   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2) Terhadap  putusan  Pengadilan  Negeri  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

BAB  XII PENYIDIKAN Pasal  59
(1) Selain  Pejabat  Polisi  Negara  Republik  Indonesia,  Pejabat  Pegawai  Negeri  Sipil tertentu  di  lingkungan  instansi  pemerintah  yang  lingkup  tugas  dan  tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.   melakukan  pemeriksaan  atas  kebenaran  laporan  atau  keterangan  berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.   melakukan   pemeriksaan   terhadap   orang   atau   badan   hukum   yang   diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
d.  melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.   melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
f.   meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.


BAB  XIII SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif

Pasal  60

(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal
25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana

Pasal  61

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal  62

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10 , Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha  yang melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan hurud f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal  63

Terhadap  sanksi  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  62,  dapat  dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a.   perampasan barang tertentu;
b.   pengumuman keputusan hakim;
c.   pembayaran ganti rugi
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;


e.   kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f.        pencabutan izin usaha.

BAB  XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal  64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak  diatur    secara  khusus  dan/atau  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan    pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE



Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 April 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AKBAR TANDJUNG


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42



Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I

ttd.

Lamboek V. Nahattands

Previous
« Prev Post

Related Posts

November 12, 2017

0 komentar:

Post a Comment