UUD 1945
merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara. UUD 1945 adalah produk hukum yang disusun oleh Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus
1945. Pada saat ini UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen (pengubahan)
yang dilakukan oleh MPR. Sistematika UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang
Tubuh. Batang Tubuh terdiri atas 16 bab, 37 pasal dengan 36 pasal tambah an, 3
pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan. Pasal-pasal dalam UUD 1945
memuat aturan-aturan pokok bernegara dan dijabarkan kembali dengan peraturan
lain yang lebih rendah. UUD 1945 menempati kedudukan tertinggi sebagai hukum di
Negara Indonesia
BAB 3
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
Pasal 7
Bunyi Pasal 7 Sebelum Amandemen
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Bunyi Pasal 7 Setelah Amandemen
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pembatasan masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam satu pasal di dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 7
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam satu pasal di dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 7
Penjelasan Pasal 7
Perubahan pasal ini dilatarbelakangi oleh praktik
ketatanegaraan kita selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah mengalami
pergantian presiden. Terjadinya hal tersebut disebabkan oleh rumusan Pasal 7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diubah yang
memang menimbulkan tafsiran yang beragam, antara pendapat yang menyatakan bahwa
presiden dapat menjabat berkali-kali dan pendapat yang menyatakan bahwa
presiden hanya dapat menjabat dua kali.
Belajar dari pengalaman
praktik ketatanegaraan tersebut, dilakukan perubahan sehingga dengan rumusan
Pasal 7 itu, periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah ditentukan
dan dibatasi, yakni bisa dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dengan demikian, Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat menjabat maksimal dua
kali masa jabatan.
Alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Pengaturan mengenai hal itu
diatur dalam ketentuan Pasal 7A. Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 7 Ayat 1
Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebelum perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
belum memuat ketentuan yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 hanya mengatur hal itu di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa DPR mengusulkan sidang istimewa MPR
dan MPR meminta pertanggungjawaban Presiden. Hal itu di samping bertentangan
dengan sistem presidensial juga membuka peluang terjadinya ketegangan dan
krisis politik dan kenegaraan selama masa jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, seperti yang kerap kali terjadi dalam praktik ketatanegaraan kita.
Praktik ketatanegaraan seperti itu lebih merupakan pelaksanaan sebuah
sistem pemerintahan parlementer yang tidak dianut negara kita.Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (impeachment) yang didasarkan pada alasan hukum ataupun alasan lain, yang tidak bersifat politik dan multitafsir seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Dengan adanya rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai impeachment, hanya atas alasan yang ter-cantum dalam ketentuan Pasal 7A saja, seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR.
Peran MK menegaskan
bekerjanya prinsip negara hukum. Putusan MK merupakan putusan hukum yang
didasarkan pada pertimbangan hukum semata. Posisi putusan MK menjadi
rujukan/acuan bagi DPR mengenai apakah usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden tersebut diteruskan atau dihentikan.
Prosedur pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana ketentuan Pasal 7A diatur dalam
ketentuan Pasal 7 yang terdiri atas tujuh ayat, yaitu ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dengan rumusan sebagai berikut.
Pasal 7 Ayat 2
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan itu dilatarbelakangi oleh kehendak untuk melaksanakan
prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara (DPR,
Presiden, dan MK) serta paham mengenai negara hukum. Sesuai dengan bidang
kekuasaannya, sebagai lembaga perwakilan, DPR mengusulkan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Usul pemberhentian itu
merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. MK menjalankan
proses hukum tersebut atas usul pemberhentian tersebut dengan cara memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR.(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7 Ayat 3
(1) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan itu dilatarbelakangi oleh sistem keta-tanegaraan kita yang
menempatkan DPR dan Presiden dalam kedudukan yang setara/seimbang. Oleh karena
itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa
Presiden tidak dapat membubarkan DPR dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden.
Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu fungsi DPR adalah fungsi pengawasan
terhadap Pre-siden (dan Wakil Presiden serta pemerintah secara umum). Dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut, DPR dapat berpendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.(1) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Atas pendapatnya tersebut, DPR dapat meng-ajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR sebagai lembaga negara yang berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan keten-tuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena kedudukan DPR sejajar/seimbang dengan kedudukan Presiden sehingga keduanya tidak dapat saling menjatuhkan, DPR tidak memproses dan tidak mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, DPR mengajukannya kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat yang berisi dugaan DPR itu. Jika putusan MK menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Ketentuan itu juga merupakan salah satu pe-laksanaan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara, khususnya antara DPR, MK, dan MPR sesuai dengan kedudukan dan wewenangnya yang berbeda.
Pasal 7 Ayat 4
(1) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan kuorum dan jumlah minimal dukungan anggota DPR itu dimaksudkan
agar pendapat DPR merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas anggota DPR.(1) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun jangka waktu yang disebut secara tegas dalam ketentuan Pasal 7B ayat (4) dimaksudkan untuk memberikan kepastian waktu sekaligus batas waktu (deadline) kepada MK. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindarkan berlarut-larutnya proses pember-hentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang akan dapat meningkatkan ketegangan situasi politik nasional.
Pasal 7 Ayat 5
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melaku-kan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketentuan itu menunjukkan diterapkannya paham negara hukum sehingga hanya
atas putusan MK, DPR dapat melanjutkan upaya pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya dengan cara menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR.(1) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melaku-kan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 7 Ayat 6
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyeleng-garakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(2) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Adanya ketentuan mengenai jangka waktu yang disebut secara tegas dalam
ketentuan Pasal 7B ayat (6) dimaksudkan untuk memberikan kepastian waktu
seka-ligus batas waktu kepada MPR untuk menyelenggarakan sidang guna membahas
usul pem-berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Ketentuan itu
menghindarkan berlarut-larutnya proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya yang dapat meningkatkan ketegangan situasi
politik nasional.(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyeleng-garakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(2) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketentuan kuorum sebanyak tiga perempat dari jumlah anggota MPR harus hadir dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR yang hadir dalam mengambil putusan terhadap usul DPR tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan putusan yang didukung suara terbanyak.
Rapat Paripurna MPR dapat memutuskan mem-berhentikan atau tidak diberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Proses itu merupakan bagian dari ketentuan hukum yang diatur dalam Un-dang-Undang Dasar.
Ketentuan Pasal 7 yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan melalui tahapan yang jelas dan tegas yang dilakukan tiga lembaga negara, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Walaupun dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan pemerintahan negara, sebagai manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum yang merusak sendi-sendi hidup bernegara dan mencederai hukum. Oleh sebab itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan tertentu yang disebutkan secara limitatif di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni melalui proses politik (dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian MPR) dan melalui proses hukum (dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR).
Perbuatan pelanggaran hukum yang secara limitatif dijadikan alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimuat dalam pasal 7 ayat (1) adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan muatan berbagai konstitusi di banyak negara, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan melalui proses dan keputusan politik (impeachment) atau melalui proses dan putusan hakim di pengadilan (forum previlegiatum). Pemberhentian melalui impeachment dimaksudkan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan dengan mekanisme dan syarat-syarat tertentu oleh lembaga perwakilan rakyat, sedangkan pemberhentian melalui forum previlegiatum dimaksudkan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui proses hukum dan putusan pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan dengan proses impeachment oleh MPR jika proses hukum (forum previlegiatum) telah ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi, yang sebelumnya harus didahului dengan pernyataan pendapat oleh DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya haruslah melalui tiga tahap. Pertama, pernyataan pendapat dari DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pendapat DPR tersebut terbukti benar. Ketiga, pemberhentian oleh MPR jika MPR berketetapan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden itu layak dijatuhi hukuman pemberhentian. Jadi, MPR tidak harus memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden meskipun putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tertentu menurut konstitusi.
Tahapan-tahapan tersebut membuktikan bahwa dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang masih dalam jabatannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berpijak pada paham negara demokrasi seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan berpijak pada paham negara hukum seperti diatur dalam pasal 1 ayat (3). Penerapan paham demokrasi dilakukan melalui pernyataan pendapat lebih dahulu oleh DPR dan pemberhentian oleh MPR, yang merupakan lembaga perwakilan dengan fungsi yang berbeda. Penerapan paham negara hukum dilakukan melalui forum previlegiatum, yakni dengan pemeriksaan, pengadilan, dan putusan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebelum MPR benar-benar memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di sinilah terletak perpaduan penerapan antara paham demokrasi dan paham negara hukum.
Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengenai larangan pembekuan dan/atau pembubaran DPR oleh Presiden
tercantum dalam Pasal 7 Ayat 7 dengan rumusan sebagai berikut.
Pasal 7 Ayat 7
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politis bahwa DPR
tidak dapat mem-berhentikan Presiden, kecuali mengikuti ketentuan Pasal 7A
(ketentuan ini diangkat dari Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945) dan Presiden juga tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan
itu juga dimaksudkan untuk melindungi keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga
negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat sekaligus mene-guhkan
kedudukan yang setara antara Presiden dan DPR yang sama-sama memperoleh
legitimasi langsung dari rakyat.Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan larangan pembekuan dan/atau pembubaran DPR, pada masa yang akan datang tidak boleh terjadi peristiwa pembekuan dan/atau pembubaran DPR oleh Presiden.





0 komentar:
Post a Comment