NOMOR 9 TAHUN 1976
TENTANG : NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan;
b. bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan
tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama;
c. bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan
narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan
bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan
kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan
merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan
kehidupan negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial,
budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang
membangun;
d. bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan
narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan
serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan
penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika perlu ditetapkan Undang-undang tentang narkotika yang
baru, sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnantie
(Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang telah tidak sesuai lagi dengan
kemajuan teknologi dan perkembangan zaman;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2068);
3. Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1942);
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Nomor 2289);
5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kejaksaan (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor
254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2580);
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
8. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun
1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang
mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085)
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 jo No.
536) sebagaimana telah diubah dan ditambah.
a. bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan;
b. bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan
tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama;
c. bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan
narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan
bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan
kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan
merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan
kehidupan negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial,
budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang
membangun;
d. bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan
narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan
serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan
penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika perlu ditetapkan Undang-undang tentang narkotika yang
baru, sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnantie
(Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang telah tidak sesuai lagi dengan
kemajuan teknologi dan perkembangan zaman;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2068);
3. Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1942);
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Nomor 2289);
5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kejaksaan (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor
254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2580);
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
8. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun
1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang
mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085)
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 jo No.
536) sebagaimana telah diubah dan ditambah.
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1. Narkotika adalah :
a. bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka
13;
b. garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c. bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang
belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina
atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai
narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan
akibat ketergantungan yang menigikan seperti Morfina atau
Kokaina;
d. campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung
bahan yang tersebut dalam huruf a, b, dan c,
2. Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji,
buah dan jeraminya.
3. Opium Mentah adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkusan dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinanya.
4. Opium Masak adalah :
a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui
suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan,
pemanasan dan peragian, dengan atau tanpa penambahan bahanbahan
lain, dengan maksud merobahnya.menjadi suatu ekstrak
yang cocok untuk pemadatan;
b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau
bahan lain;
c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
5. Opium Obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan
sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam
bentuk lain, atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat
farmakope.
6. Morfina adalah alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia
C17H19NO3.
7. Tanaman Koka adalah tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae.
8. Daun Koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae, yang menghasilkan kokaina secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
9. Kokaina Mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka
yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan Kokaina.
10. Kokaina adalah Metil ester 1-bensoil ekgonina dengan rumus kimia
C17H21NO4,
11. Ekgonina adalah 1-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan ester
serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan
Kokaina.
12. Tanaman Ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis,
termasuk biji dan buahnya.
13. Damar Ganja adalah damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk
hasil pengolahannya, yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
14. Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia
beserta udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, instalasi di
landas kontinen, demikian juga kapal atau pesawat udara berbendera
Indonesia yang berada di Wilayah lain dan tempat-tempat yang menurut
ketentuan yang berlaku termasuk wilayah Indonesia.
15. Impor, adalah memasukkan narkotika ke dalam wilayah Indonesia,
termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal
berbendera Indonesia di luar negeri yang akan atau sedang menuju
Indonesia.
16. Ekspor adalah mengeluarkan obat-obatan yang mengandung narkotika
dari wilayah Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam
pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia yang akan atau sedang
meninggalkan Indonesia.
17. Sertifikat Impor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan mengenai, nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika
yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir,
jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut
hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
18. Sertifikat Ekspor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh atau atas
nama pemerintah negara pengekspor mengenai nama, jenis atau sifat dan
jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk diekspor, nama dan
alamat eksportir dan importir, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan lainlainnya.
19. Izin Impor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan
setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengimpor
narkotika.
20. Izin Ekspor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan
setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengekspor
obat-obatan yang mengandung narkotika.
21. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan
hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari Menteri
Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
22. Pabrik Farmasi adalah perusahaan nasional berbadan hukum yang
memproduksi, mengolah dan atau merakit narkotika serta memiliki izin
khusus dari Menteri Kesehatan.
23. Transito adalah pengangkutan narkotika melalui dan singgah di Indonesia,
dengan atau tanpa pindahnya sarana pengangkutan, antara 2 (dua) negara
lain.
24. Alat Angkutan adalah setiap alat yang dapat mengangkut narkotika baik di
darat, di air atau di udara.
25. Nakhoda adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu
kapal atau kendaraan air lainnya.
26. Kapten Penerbang adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya
dari suatu pesawat udara.
27. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan alat pengangkutan di darat.
28. Dokter adalah dokter umum, dokter ahli, dokter gigi dan dokter hewan
yang berdasarkan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
menjalankan praktek pengobatan sesuai dengan bidang kedokterannya.
29. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis
akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika.
30. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu
narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat
menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya,
pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.
Pasal 2
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan :
i. alat-alat penyalahgunaan narkotika;
ii. bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan
narkotika;
sebagai barang dibawah pengawasan.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1. Narkotika adalah :
a. bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka
13;
b. garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c. bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang
belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina
atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai
narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan
akibat ketergantungan yang menigikan seperti Morfina atau
Kokaina;
d. campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung
bahan yang tersebut dalam huruf a, b, dan c,
2. Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji,
buah dan jeraminya.
3. Opium Mentah adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkusan dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinanya.
4. Opium Masak adalah :
a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui
suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan,
pemanasan dan peragian, dengan atau tanpa penambahan bahanbahan
lain, dengan maksud merobahnya.menjadi suatu ekstrak
yang cocok untuk pemadatan;
b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau
bahan lain;
c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
5. Opium Obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan
sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam
bentuk lain, atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat
farmakope.
6. Morfina adalah alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia
C17H19NO3.
7. Tanaman Koka adalah tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae.
8. Daun Koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae, yang menghasilkan kokaina secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
9. Kokaina Mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka
yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan Kokaina.
10. Kokaina adalah Metil ester 1-bensoil ekgonina dengan rumus kimia
C17H21NO4,
11. Ekgonina adalah 1-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan ester
serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan
Kokaina.
12. Tanaman Ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis,
termasuk biji dan buahnya.
13. Damar Ganja adalah damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk
hasil pengolahannya, yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
14. Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia
beserta udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, instalasi di
landas kontinen, demikian juga kapal atau pesawat udara berbendera
Indonesia yang berada di Wilayah lain dan tempat-tempat yang menurut
ketentuan yang berlaku termasuk wilayah Indonesia.
15. Impor, adalah memasukkan narkotika ke dalam wilayah Indonesia,
termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal
berbendera Indonesia di luar negeri yang akan atau sedang menuju
Indonesia.
16. Ekspor adalah mengeluarkan obat-obatan yang mengandung narkotika
dari wilayah Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam
pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia yang akan atau sedang
meninggalkan Indonesia.
17. Sertifikat Impor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan mengenai, nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika
yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir,
jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut
hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
18. Sertifikat Ekspor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh atau atas
nama pemerintah negara pengekspor mengenai nama, jenis atau sifat dan
jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk diekspor, nama dan
alamat eksportir dan importir, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan lainlainnya.
19. Izin Impor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan
setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengimpor
narkotika.
20. Izin Ekspor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan
setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengekspor
obat-obatan yang mengandung narkotika.
21. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan
hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari Menteri
Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
22. Pabrik Farmasi adalah perusahaan nasional berbadan hukum yang
memproduksi, mengolah dan atau merakit narkotika serta memiliki izin
khusus dari Menteri Kesehatan.
23. Transito adalah pengangkutan narkotika melalui dan singgah di Indonesia,
dengan atau tanpa pindahnya sarana pengangkutan, antara 2 (dua) negara
lain.
24. Alat Angkutan adalah setiap alat yang dapat mengangkut narkotika baik di
darat, di air atau di udara.
25. Nakhoda adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu
kapal atau kendaraan air lainnya.
26. Kapten Penerbang adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya
dari suatu pesawat udara.
27. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan alat pengangkutan di darat.
28. Dokter adalah dokter umum, dokter ahli, dokter gigi dan dokter hewan
yang berdasarkan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
menjalankan praktek pengobatan sesuai dengan bidang kedokterannya.
29. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis
akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika.
30. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu
narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat
menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya,
pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.
Pasal 2
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan :
i. alat-alat penyalahgunaan narkotika;
ii. bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan
narkotika;
sebagai barang dibawah pengawasan.
BAB II
NARKOTIKA UNTUK KEPENTINGAN PENGOBATAN
DAN ATAU TUJUAN ILMU PENGETAHUAN
Pasal 3
(1) Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan
ilmu pengetahuan.
(2) Menteri Kesehatan berwenang menetapkan narkotika tertentu yang sangat
berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau
tujuan ilmu pengetahuan.
Pasal 4
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan kepada
lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin
oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk
memiliki atau untuk persediaan, ataupun menguasai tanaman Papaver, Koka
dan Ganja.
(2) Lembaga yang menanam Papaver, Koka dan Ganja wajib membuat laporan
tentang luas tanaman, hasil tanaman dan sebagainya yang akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
(1) a. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotik untuk membeli,
meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan,
menguasai, menjual, menyalurkan. menyerahkan, mengirimkan dan
membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada dokter untuk membeli,
menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai,
menyalurkan, menyerahkan, mengirim, membawa atau mengangkut dan
menggunakan narkotika untuk kepentingan pengobatan.
(2) a. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pabrik farmasi tertentu
untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan,
menguasai, memproduksi, mengolah, merakit, menjual, menyalurkan,
menyerahkan, mengirim dan membawa atau mengangkut narkotika untuk
kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pedagang besar
farmasi tertentu untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan
untuk persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan,
mengirim dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan
pengobatan dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan
pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
c. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada rumah sakit untuk
membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan,
menguasai, menyerahkan, mengirim, membawa atau Mengangkut dan
menggunakan narkotika untuk kepentingan pengobatan;
d. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada lembaga ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan untuk membeli dari pedagang
besar farmasi, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan,
menguasai dan menggunakan narkotika untuk tujuan ilmu pengetahuan;
e. lzin khusus selain yang tersebut dalam pasal ini diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Pasal 6
(1) Apotik, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi dapat membeli narkotika dari
importir pedagang besar farmasi tersebut dalam Pasal 9.
(2) Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh apotik,
pabrik farmasi, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Yang dapat menyalurkan narkotika kepada pihak-pihak yang dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) hanyalah apotik.
(2) Apotik dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang
sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter.
Pasal 8
(1) Narkotika dapat dipergunakan untuk pengobatan penyakit hanya
berdasarkan resep dokter.
(2) Ketentuan-ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penderita
penyakit yang memerlukan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 9
Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, narkotika hanya
dapat diimpor ke Indonesia oleh satu importir pedagang besar farmasi setelah
memperoleh keputusan Menteri Kesehatan dan mendapat izin impor dari Menteri
Perdagangan.
Pasal 10
(1) Mengimpor narkotika yang dimaksud dalam Pasal 9 atau mentransito
narkotika harus disertai sertifikat impor yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan.
(2) Sertifikat impor dapat diberikan, setelah diterima permohonan tertulis yang
dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
(3) Kepada instansi Bea dan Cukai yang bersangkutan dan kepada Pemerintah
negara yang mengekspor diserahkan masing-masing satu eksemplar
tembusan sertifikat impor.
Pasal 11
Impor atau transito yang dimaksud dalam Pasal 10 harus disertai sertifikat ekspor
atau salinannya yang sah yang dikeluarkan oleh atau atas nama Pemerintah negara
yang mengekspor.
Pasal 12
(1) Setelah narkotika tiba dan diterima, importir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada Menteri Kesehatan.
(2) Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuknya memberikan catatan
sebagai tanda pengesahan di bagian belakang dari sertifikat ekspor atau
salinannya yang sah tentang nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat
narkotika yang benar-benar diimpor menurut kenyataan.
Pasal 13
(1) Setelah terlaksananya impor, maka sertifikat ekspor yang telah diberi catatan
seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), oleh Menteri Kesehatan dikirim
kepada Pemerintah negara yang mengekspor.
(2) Menteri Kesehatan memberitahukan kepada Pemerintah negara yang
mengekspor, apabila sertifikat impor telah daluwarsa dengan dilampiri
dokumen-dokumen yang bersangkutan.
Pasal 14
Ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
Impor Narkotika dan ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika dilakukan
melalui pelabuhan internasional atau melalui perlabuhan internasional atau melalui
pelabuhan lain dengan izin khusus dari Menteri Kesehatan.
Pasal 16
Narkotika yang ada pada apotik, pedagang besar farmasi, pabrik farmasi, rumah
sakit, persediaan para dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, harus disimpan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 17
Menteri Kesehatan berkewajiban tiap tahun takwim menyusun rencana kebutuhan
narkotika untuk tujuan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan.
Pasal 18
(1) Importir yang dimaksud dalam Pasal 9 berkewajiban untuk menyusun dan
mengirimkan laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai
pemasukan dan pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya,
dengan tembusan kepada Menteri Perdagangan.
(2) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, lembaga ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan yang dimaksud dalam Pasal 5,
berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan laporan bulanan kepada
Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika yang
ada dalam penguasaannya. ,
(3) Jika dianggap perlu, dokter dapat diwajibkan untuk menyusun dan
mengirimkan laporan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan
penggunaan narkotika yang ada dalam penguasaannya,
Pasal 19
Bentuk dan isi laporan dimaksud dalam Pasal 18 dibuat sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri-Kesehatan.
BAB III
PENGANGKUTAN NARKOTIKA
Pasal 20
(1) Pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nakhoda,
kapten penerbang atau pengemudi tentang jenis dan jumlah narkotika yang
akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun ditransito.
(2) Sebelum mengangkut narkotika para nakhoda, kapten penerbang atau
pengemudi wajib meminta dari pemilik atau pemuat narkotika-sertifikat
impor atau sertifikat ekspor.
Pasal 21
(1) Pengangkutan narkotika di dalam negeri melalui udara, air, atau darat, selain
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan, juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang
berlaku bagi pengangkutan melalui udara, air atau darat.
(2) Muatan narkotika harus disimpan pada kesempatan pertama di dalam peti
besi (kluis) atau tempat lain di dalam kapal dengan disegel bersama-sama
oleh nakhoda dan pemilik atau pemuatnya.
(3) Nakhoda membuat suatu berita acara tentang adanya muatan narkotika yang
diangkutnya
(4) Jika sebuah kapal mempunyai narkotika sebagai muatan dan atau sebagai
persediaan dalam apotik kapal, nakhoda berkewajiban untuk segera setelah
tiba di suatu pelabuhan melaporkan hal ini kepada dinas kesehatan setempat.
(5) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh
nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai.
(6) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak,
wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan
pada kesempatan pertama kapal singgah di pelabuhan segera melaporkan
dan menyerahkan persoalan tersebut kepada yang berwajib.
(7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan pengangkutan narkotika diatur
lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 22
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (7)
berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan di udara dan bagi
pengemudi untuk pengangkutan di darat.
PENGANGKUTAN NARKOTIKA
Pasal 20
(1) Pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nakhoda,
kapten penerbang atau pengemudi tentang jenis dan jumlah narkotika yang
akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun ditransito.
(2) Sebelum mengangkut narkotika para nakhoda, kapten penerbang atau
pengemudi wajib meminta dari pemilik atau pemuat narkotika-sertifikat
impor atau sertifikat ekspor.
Pasal 21
(1) Pengangkutan narkotika di dalam negeri melalui udara, air, atau darat, selain
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan, juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang
berlaku bagi pengangkutan melalui udara, air atau darat.
(2) Muatan narkotika harus disimpan pada kesempatan pertama di dalam peti
besi (kluis) atau tempat lain di dalam kapal dengan disegel bersama-sama
oleh nakhoda dan pemilik atau pemuatnya.
(3) Nakhoda membuat suatu berita acara tentang adanya muatan narkotika yang
diangkutnya
(4) Jika sebuah kapal mempunyai narkotika sebagai muatan dan atau sebagai
persediaan dalam apotik kapal, nakhoda berkewajiban untuk segera setelah
tiba di suatu pelabuhan melaporkan hal ini kepada dinas kesehatan setempat.
(5) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh
nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai.
(6) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak,
wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan
pada kesempatan pertama kapal singgah di pelabuhan segera melaporkan
dan menyerahkan persoalan tersebut kepada yang berwajib.
(7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan pengangkutan narkotika diatur
lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 22
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (7)
berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan di udara dan bagi
pengemudi untuk pengangkutan di darat.
BAB IV
PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 23
(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam
persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman
Koka atau tanaman Ganja.
(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
(3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk
persediaan atau menguasai narkotika.
(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransito narkotika.
(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.
(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau
memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.
Pasal 24
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan
dilarang.
PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 23
(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam
persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman
Koka atau tanaman Ganja.
(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
(3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk
persediaan atau menguasai narkotika.
(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransito narkotika.
(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.
(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau
memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.
Pasal 24
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan
dilarang.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN
DI DEPAN PENGADILAN
Pasal 25
(1) Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk
diajukan ke Pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap
tindak pidana yang menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuanketentuan
yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.
Pasal 26
Penyidik berhak untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos
dan alat-alat perhubungan lainnya, yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara-perkara yang menyangkut narkotika yang sedang dalam penyidikan.
Pasal 27
Narkotika yang didapati dalam penyidikan atau contohnya diperiksa di
laboratorium pemeriksaan yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 28
Di depan Pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang
sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pasal 29
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam kejahatan yang menyangkut
narkotika serta hasilnya dapat dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Perampasan narkotika dan alat yang digunakan serta hasilnya yang bukan
kepunyaan siterdakwa tidak dilakukan apabila hak-hak pihak ketiga yang
beriktikad baik akan terganggu.
(3) Jika dalam keputusan perampasan narkotika dan alat yang digunakan dalam
kejahatan termasuk milik pihak ketiga yang beriktikad baik, pemilik dapat
mengajukan kepada Pengadilan yang bersangkutan keberatan terhadap
perampasan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
pengumuman keputusan Hakim.
(4) Narkotika yang dinyatakan dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
menjadi milik negara, dan metal cara yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
dan Jaksa Agung digunakan untuk keperluan negara atau segera
dimusnahkan.
Pasal 30
Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan tertentu
dapat diberi wewenang penyidikan terbatas.
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN
DI DEPAN PENGADILAN
Pasal 25
(1) Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk
diajukan ke Pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap
tindak pidana yang menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuanketentuan
yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.
Pasal 26
Penyidik berhak untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos
dan alat-alat perhubungan lainnya, yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara-perkara yang menyangkut narkotika yang sedang dalam penyidikan.
Pasal 27
Narkotika yang didapati dalam penyidikan atau contohnya diperiksa di
laboratorium pemeriksaan yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 28
Di depan Pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang
sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pasal 29
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam kejahatan yang menyangkut
narkotika serta hasilnya dapat dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Perampasan narkotika dan alat yang digunakan serta hasilnya yang bukan
kepunyaan siterdakwa tidak dilakukan apabila hak-hak pihak ketiga yang
beriktikad baik akan terganggu.
(3) Jika dalam keputusan perampasan narkotika dan alat yang digunakan dalam
kejahatan termasuk milik pihak ketiga yang beriktikad baik, pemilik dapat
mengajukan kepada Pengadilan yang bersangkutan keberatan terhadap
perampasan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
pengumuman keputusan Hakim.
(4) Narkotika yang dinyatakan dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
menjadi milik negara, dan metal cara yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
dan Jaksa Agung digunakan untuk keperluan negara atau segera
dimusnahkan.
Pasal 30
Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan tertentu
dapat diberi wewenang penyidikan terbatas.
BAB VI
GANJARAN (PREMI)
Pasal 31
Kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang
menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
GANJARAN (PREMI)
Pasal 31
Kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang
menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA DAN USAHA PENANGGULANGANNYA
Pasal 32
(1) Orang tua atau Wali dari seorang pecandu narkotika yang belum cukup umur
wajib melaporkan pecandu tersebut kepada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan dan wajib membawanya ke rumah sakit atau kepada
dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang
diperlukan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri kepada
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Syarat-syarat untuk melaksanakan ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7)
dapat memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan
atas biaya sendiri.
Pasal 34
(1) Pengobatan dan perawatan pecandu narkotika serta rehabilitasi bekas
pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi.
(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang lembaga rehabilitasi yang
tersebut dalam ayat (1), termasuk pendirian cabang-cabangnya di tempattempat
yang diperlukan, ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dalam menyelenggarakan rehabilitasi diikut sertakan sebanyak mungkin
lembaga-lembaga dalam masyarakat yang berhubungan dengan masalah itu,
baik milik Pemerintah maupun swasta.
Pasal 35
Guna menanggulangi penyalahgunaan narkotika Pemerintah dapat mengadakan
kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain atau badan internasional
yang menangani masalah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
(2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggitingginya
Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan
tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi13
tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan
tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut
dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang
dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 37
Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1)
sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan pidana
penjara bagi tindak pidananya.
Pasal 38
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam
dengan pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat
(7) ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan selama-lamanya 20 (dua
puluh) tahun.
Pasal 39
(1) Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat
(7) dapat ditambah dengan sepertiga, jika terpidana ketika melakukan
kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau
sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.
(2) Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) diancam
dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.
Pasal 40
Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 41
Importir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya
1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah)'
Pasal 42
(1) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga
ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3) dan Pasal
19, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam
tanaman Papaver, Koka dan Garija yang tidak melaksanakan kewajiban
membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana dengan
pidana kuningan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).
Pasal 43
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan Pasal 22, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya
1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
Pasal 44
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasalpasal
40, 41, 42 dan 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan
hak seperti diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (1) ke 1
dan ke 6.
Pasal 45
Barang siapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).
Pasal 46
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Pasal 47
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam
pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam
Pasal 28 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.
Pasal 48
Barang siapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan tidak
melaporkan kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,
(satu juta rupiah).
Pasal 49
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak
pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab
dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 50
Semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut dalam Bab VIII Undangundang
ini adalah kejahatan, kecuali yang tersebut dalam Pasal 47 adalah
pelanggaran.
Pasal 51
(1) Terhadap warganegara asing yang melakukan tindak pidana yang
menyangkut narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Indonesia.
(2) Warganegara asing yang pernah melakukan tindak pidana yang menyangkut
narkotika, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, dilarang
memasuki wilayah Indonesia.
Pasal 52
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat
dicantumkan ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
16
Pasal 53
Untuk tindak pidana yang tidak diatur di dalam Undang-undang ini diperlakukan
ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan perundangundangan
yang berlaku.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
(2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggitingginya
Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan
tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi13
tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan
tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut
dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang
dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 37
Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1)
sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan pidana
penjara bagi tindak pidananya.
Pasal 38
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam
dengan pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat
(7) ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan selama-lamanya 20 (dua
puluh) tahun.
Pasal 39
(1) Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat
(7) dapat ditambah dengan sepertiga, jika terpidana ketika melakukan
kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau
sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.
(2) Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) diancam
dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.
Pasal 40
Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 41
Importir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya
1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah)'
Pasal 42
(1) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga
ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3) dan Pasal
19, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam
tanaman Papaver, Koka dan Garija yang tidak melaksanakan kewajiban
membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana dengan
pidana kuningan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).
Pasal 43
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan Pasal 22, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya
1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
Pasal 44
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasalpasal
40, 41, 42 dan 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan
hak seperti diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (1) ke 1
dan ke 6.
Pasal 45
Barang siapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).
Pasal 46
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Pasal 47
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam
pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam
Pasal 28 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.
Pasal 48
Barang siapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan tidak
melaporkan kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,
(satu juta rupiah).
Pasal 49
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak
pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab
dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 50
Semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut dalam Bab VIII Undangundang
ini adalah kejahatan, kecuali yang tersebut dalam Pasal 47 adalah
pelanggaran.
Pasal 51
(1) Terhadap warganegara asing yang melakukan tindak pidana yang
menyangkut narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Indonesia.
(2) Warganegara asing yang pernah melakukan tindak pidana yang menyangkut
narkotika, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, dilarang
memasuki wilayah Indonesia.
Pasal 52
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat
dicantumkan ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
16
Pasal 53
Untuk tindak pidana yang tidak diatur di dalam Undang-undang ini diperlakukan
ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan perundangundangan
yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Selama peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang narkotika
yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Selama peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang narkotika
yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
Sumber: LN 1976/37; TLN NO. 3086
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
Sumber: LN 1976/37; TLN NO. 3086
0 komentar:
Post a Comment