UU RI NO 15 TAHUN 2002

Posted by Unknown on Monday, November 20, 2017

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2002

TENTANG  :
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang
besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas
wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas
wilayah negara;
b. bahwa asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan
tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang
dikenal sebagai pencucian uang;
c. bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar
intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan
yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas
perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga;
d. bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi
juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara
lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional
melalui forum bilateral atau multilateral;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi.
2. Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap
orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas
pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana,
kustodian, wali amanat, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian,
pedagang valuta asing, dana pensiun,
dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang
menimbulkan hak atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih,
termasuk kegiatan pentransferan
dan/atau pemindahbukuan dana yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan
adalah transaksi yang menyimpang dari
profil dan karakteristik serta kebiasaan
pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan, termasuk transaksi
keuangan oleh nasabah yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas,
atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau
gambar;
b. peta, rancangan, foto,
atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka,
simbol, atau perforasi
yang memiliki makna
atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu
membaca atau
memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan yang selanjutnya disebut
PPATK adalah lembaga independen
yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan
yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara,
yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita, dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan kejahatan tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam
Penyedia Jasa Keuangan, baik atas
nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari
suatu Penyedia Jasa Keuangan ke
Penyedia Jasa Keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas
nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik perbuatan itu atas
namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik
atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak
pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan
mata uang atau surat berharga lainnya;
atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang
dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 4
(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh
pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama
korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan
baik terhadap pengurus dan/atau kuasa
pengurus maupun terhadap korporasi.
(2) Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus
korporasi dibatasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi.
(3) Korporasi tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
suatu tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan oleh pengurus yang
mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan
tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau
ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan.
(4) Hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di
sidang pengadilan dan dapat pula
memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan.
(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh
korporasi, maka panggilan untuk menghadap
dan penyerahan surat panggilan tersebut
disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
korporasi adalah pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana denda ditambah
1/3 (satu per tiga).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang
diikuti dengan likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau
menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan;
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa
Keuangan yang melaksanakan kewajiban
pelaporan transaksi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau
korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah
Negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang
dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja
tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai
berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke
dalam atau ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia dipidana dengan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim,
atau orang lain yang bersangkutan dengan
perkara tindak pidana pencucian uang yang
sedang diperiksa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah
kejahatan.
BAB IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib
menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk halhal
sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai dalam jumlah kumulatif
sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya
setara, baik dilakukan dalam satu kali
transaksi maupun beberapa kali
transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh
Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan
yang dilakukan secara tunai sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku
untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) meliputi transaksi antarbank, transaksi
dengan Pemerintah, transaksi dengan bank
sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi
lainnya atas permintaan Penyedia Jasa
Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat
dan menyimpan daftar transaksi yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata
cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh
Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank,
dikecualikan dari ketentuan rahasia bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
yang mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta
pegawainya tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana atas pelaksanaan
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke
dalam atau keluar wilayah Negara Republik
Indonesia berupa rupiah sejumlah
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
lebih, harus melaporkan kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib
menyampaikan laporan tentang informasi yang
diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib
memberitahukan kepada PPATK paling lambat
5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga harus memuat rincian mengenai
identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta
informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai berupa rupiah sejumlah
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
lebih, yang dibawa oleh setiap orang dari atau
ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Identitas Nasabah
Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan
usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib
memberikan identitasnya secara lengkap dan
akurat dengan mengisi formulir yang disediakan
oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan
dokumen pendukung yang diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan
pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri
sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan
bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa
Keuangan wajib meminta informasi mengenai
identitas dan dokumen pendukung dari pihak
lain tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang
berbentuk bank, identitas dan dokumen
pendukung yang diminta dari pengguna jasa
keuangan harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan
catatan dan dokumen mengenai identitas
pengguna jasa keuangan sampai dengan 5
(lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha
dengan pengguna jasa keuangan tersebut.
BAB V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang, dengan Undangundang
ini dibentuk PPATK.
(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka
perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan
dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang
wakil kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri
Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4
(empat) tahun dan dapat diangkat kembali
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan
tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil
kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga
puluh lima) dan setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas
pribadi yang baik;
e. memiliki salah satu keahlian dan
pengalaman di bidang perbankan,
lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, hukum, atau
akuntansi;
f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan
lain; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum
memangku jabatannya wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama dan
kepercayaannya di hadapan Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk
menjadi kepala/wakil kepala PPATK langsung
atau tidak langsung dengan nama dan dalih
apapun tidak memberikan atau menjanjikan
untuk memberikan sesuatu kepada siapapun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji
atau pemberian dalam bentuk apapun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang
menurut peraturan perundang-undangan wajib
dirahasiakan".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
melaksanakan tugas dan kewenangan selaku
kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh rasa tanggung jawab".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku".
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK
berakhir, karena yang bersangkutan:
a. diberhentikan;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK
diberhentikan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara
Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya
sebagai warga Negara Republik
Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang
penyembuhannya memerlukan waktu
lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak
memungkinkan melaksanakan
tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak
pidana yang diancam dengan pidana
penjara yang lamanya 1 (satu) tahun
atau lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul
kepada Presiden agar kepala atau wakil kepala
PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala
bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan
tugas dan kewenangan PPATK.
(2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib
menolak setiap campur tangan dari pihak
manapun dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya.
(3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang
terkait, baik nasional maupun internasional.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK
mempunyai tugas sebagai berikut :
a. mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, mengevaluasi informasi
yang diperoleh oleh PPATK sesuai
dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar
pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara
pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan
kepada instansi yang berwenang
tentang informasi yang diperoleh oleh
PPATK sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi
kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukan
dalam Undang-undang ini atau dengan
peraturan perundang-undangan lain,
dan membantu dalam mendeteksi
perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi
keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada
Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan
mengenai hasil analisis transaksi
keuangan dan kegiatan lainnya secara
berkala 6 (enam) bulan sekali kepada
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap
Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK
mempunyai wewenang:
a. meminta dan menerima laporan dari
Penyedia Jasa Keuangan;
b. meminta informasi mengenai
perkembangan penyidikan atau
penuntutan terhadap tindak pidana
pencucian uang yang telah dilaporkan
kepada penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia
Jasa Keuangan mengenai kepatuhan
kewajiban sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini dan terhadap
pedoman pelaporan mengenai transaksi
keuangan;
d. memberikan pengecualian kewajiban
pelaporan mengenai transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK
terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan
lembaga yang melakukan pengawasan terhadap
Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan
Undang-undang lain yang berkaitan dengan
ketentuan tentang rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam
dan di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan
kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada salah satu wakil kepala
PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk
untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja
dan Anggaran Tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
melalui Sekretariat Negara.
BAB VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 31
Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas
dugaan telah ditemukan transaksi
mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja sejak ditemukan petunjuk tersebut,
PPATK wajib menyerahkan hasil analisis
kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk
melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima
perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat
perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan wajib
menyerahkan berita acara pelaksanaan
pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum,
atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja
terhitung sejak tanggal pelaksanaan
pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap
berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang
bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam
perkara tindak pidana pencucian uang, maka
penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang untuk meminta keterangan dari
Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan
oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik,
penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
ketentuan Undang-undang yang mengatur
tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi
keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara
jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau
terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal
permintaan diajukan oleh penuntut
umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa
perkara yang bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai
hasil pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap terdakwa, hakim memerintahkan
penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana
yang belum disita oleh penyidik atau penuntut
umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana.
Pasal 36
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga)
kali secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela
dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa
kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum
perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa
wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat yang dibacakan dalam sidang
sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian
yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir
sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
dalam papan pengumuman pengadilan yang
memutus dan sekurang-kurangnya dimuat
dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki
jangkauan peredaran secara nasional sekurangkurangnya
dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau
3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum
putusan hakim dijatuhkan dan terdapat buktibukti
yang meyakinkan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana
pencucian uang, maka hakim dapat
mengeluarkan penetapan bahwa Harta
Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas
untuk negara.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 7.
BAB VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau
hakim wajib merahasiakan identitas pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberikan hak kepada pelapor atau ahli
warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui
pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya
dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib
diberi perlindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
perlindungan khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum,
hakim, dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana pencucian uang yang
sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut
nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain
yang memungkinkan dapat terungkapnya
identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang
pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan
saksi, penuntut umum, dan orang lain yang
terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut,
mengenai larangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya,
termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
perlindungan khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik
secara perdata atau pidana atas pelaporan
dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan Pasal 42.
BAB VIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 44
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap orang atau korporasi yang
diketahui atau patut diduga telah melakukan
tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan
kerja sama regional dan internasional melalui
forum bilateral atau multilateral sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus
sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan
fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan setelah
kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian tugas
dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia
Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh
Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan
mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan setelah Undangundang
ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
Penjelasan

Related Posts

November 20, 2017

0 komentar:

Post a Comment