UU RI NO 20 TAHUN 2001

Posted by Unknown on Sunday, November 19, 2017

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG  :
PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk
Undang-undang tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal
diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum
dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undangundang
ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah
dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundangundangan
ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau advokat yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada
waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan
bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf c, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kepada kas
umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau
kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara
yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara
negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal
baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku
bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang
dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima
laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
(1) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan penentuan status gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu)
pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat
(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi
Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang
berasal dari ayat (1) dan ayat (2)
dengan penyempurnaan pada ayat (2)
frasa yang berbunyi "keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya" diubah
menjadi "pembuktian tersebut
digunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi
keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai
berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian
tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang
berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) dengan penyempurnaan kata
"dapat" pada ayat (4) dihapus dan
penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada
ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) masing-masing berubah
menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A
adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana
atau perkara pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undangundang
ini, sehingga penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga)
pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C
yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan
salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undangundang
ini, wajib membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan
karena tindak pidana korupsi, harta benda
tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat
membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh
terdakwa pada saat membacakan
pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori
kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang
khusus untuk memeriksa pembuktian yang
diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum
dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan
harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana yang
diduga atau patut diduga juga berasal dari
tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni
Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1
(satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara
Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya
berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dengan ketentuan maksimum pidana penjara
yang menguntungkan bagi terdakwa
diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-undang ini dan Pasal 13 Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan
diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak
pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu)
pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini,
Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388,
Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,
dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan
Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660)
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 27
Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undangundang
Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 21
Nopember 2001
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPU
TRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII.
I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan,
terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat
khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak
pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum
untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik
dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka
pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan
demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara
yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan
perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang
berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti
lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak
terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung
sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi
dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan
perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi
dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau
patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai
maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak
pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan.
Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas
umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan
yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara"
tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12 A
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26 A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang
disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau
Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini
tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange),
surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik
terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang
berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri
sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut
undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38 A
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan
pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak
pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana
pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas
untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan
dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan
logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana
korupsi dalam kasus tersebut.
Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk
melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap
harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan
tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk
mewakili negara.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150

Previous
« Prev Post

Related Posts

November 19, 2017

0 komentar:

Post a Comment